Wednesday, December 26, 2012

Tersesat di Bali


Saat malam turun, musik-musik keras mulai berdentuman di sepanjang jalan Legian. Bersamaan dengan itu, jiwa-jiwa yang tersesat mulai bermunculan; perempuan dan pria dengan tatapan yang kosong dan bahasa tubuh yang tidak lagi mengisyaratkan gairah hidup. Mereka seperti hantu gentayangan.

Seorang wanita berdiri di depan sebuah café remang yang berisik oleh musik diskotik. Rambutnya panjang, kulitnya legam. Dandanan tebal berusaha keras menutupi area di wajahnya yang sudah dimakan waktu. Aku taksir umurnya sudah hampir lima puluh, kalau tidak enam puluh. Ia mengenakan atasan blazer hitam ketat dan rok mini hitam. Ketika lewat di depannya tanpa sengaja aku menatap matanya, tapi tak ada siapa-siapa di sana. Hanya lorong kosong yang tak berujung. Mata yang tak bernyawa.

Ia berjoget tanpa gairah, mengikuti dentuman musik. Terlihat ia sedang menunggu seseorang untuk berkunjung ke cafe atau seseorang untuk membawanya pergi. Yang mana saja, mungkin ia tak lagi peduli.

Seorang pria tua Eropa berjalan sempoyongan. Bau alkohol meruak dari nafasnya ketika aku lewat di sampingnya. Ia jelas sedang mabuk, tapi ada yang lain pada ekspresinya. Sesuatu yang sedih pada lengkung bibirnya dan putus asa pada pijar redup matanya. Ia seperti tersesat.

Seorang wanita yang aku kira adalah istrinya berjalan beberapa langkah di belakangnya. Ekspresinya keras hingga membuat wajahnya tampak seperti patung batu yang dipahat. Mungkin ia marah atau malu pada tingkah suaminya. Seperti suaminya, ia juga tersesat, walau tidak mabuk.

Seorang wanita lagi. Yang ini jauh lebih muda dari wanita yang pertama. Mungkin tak jauh di atas dua puluh tahun. Parasnya manis, rambutnya tergerai panjang di belakang pundaknya. Ia duduk menghadap jalan di dalam sebuah bar. Kakinya yang nyaris telanjang disilangkan dengan anggun. Wajahnya beku tanpa ekspresi. Matanya menatap ke depan, tapi ia tidak melihat. Tampaknya pikirannya sedang berkelana jauh entah ke mana. Ia seperti tidak ingin berada di bar itu malam ini. Ia seperti tahanan.

Tepat di depan sebuah bar terdapat panggung kecil, sekitar 4x4m. Di atasnya seorang pria dengan penampilan serba putih dan metalik seperti robot dalam film The Wizard of Oz, menari-nari dengan berantakkan yang membuatnya seperti orang yang sedang tenggelam atau sedang menghalau lalat dari wajahnya.

Pria serba putih dan metalik itu tidak benar-benar bisa menari. Semua orang yang lewat tahu, dia sendiri juga tahu. Tapi tetap saja dilakoninya pekerjaan itu. Mungkin karena mudah dan bayarannya lumayan. Mungkin ia punya keluarga yang butuh makan dan adik-adik yang perlu sekolah. Atau mungkin ia hanya, malas.

Ternyata di balik hingar bingar kehidupan di Bali, ada sisi lain yang mengingatkan, kalau dalam hidup ini kita semua adalah pengembara. Sebagian kecil langsung sampai tujuan, Sebagian besar tersesat. Sebagian yang tersesat berjuang hingga berdarah-darah untuk menemukan satu jalan menuju “rumah”. Sebagian lagi memilih menunggu suatu saat nasib akan berubah, hingga akhirnya ketika mereka sadar hal itu tidak akan terjadi dengan sendirinya, mereka sudah terlanjur tersesat terlalu jauh.

Wednesday, December 12, 2012

Nature Almighty



Mendaki Gunung Papandayan menorehkan pengalaman menakjubkan sekaligus mengerikan. Hamparan luas gunung batu yang seolah tanpa ujung dikelilingi tebing-tebing raksasa dan sungai kecil serta asap belerang berwarna putih yang tak henti-hentinya mengepul ke langit lewat celah bekas keluarnya lahar, memberikan firasat kalau ada pada Gunung itu sesuatu yang hidup dan berkuasa, Alam.

Aku pergi dengan enam orang sahabat, empat pria dan tiga wanita (dua ibu hamil). Kami sekumpulan manusia kota mencoba mencari petualangan baru yang jauh dari hiruk-pikuk ibukota. Papandayan menjadi petualangan pertama.

Photo by Irwan Khill
Terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat, Gunung Papandayan merupakan satu dari sekian banyak gunung merapi yang masih aktif.

Kami sampai di kaki Gunung Papandayan pukul 11 siang. Pertama kali turun dari mobil sepoi sejuk dan ramah angin gunung langsung menyapa kami. Sebelum mulai mendaki kami melepas lelah 6 jam perjalanan dari Jakarta dengan menikmati makanan di warung-warung di sudut lapangan parkir. Setelah enam bungkus indomie, dua piring nasi goreng, tiga bungkus kacang, dan beberapa potong pisang, akhirnya pendakianpun dimulai.

Awalnya Jalur pendakian cukup lebar untuk jalan satu mobil. Namun lama semakin jauh kita melangkah jalan di depan semakin menyempit dan menanjak.
Konturnya berbatu dan berkerikil. Pemakaian sendal jepit karet sangat tidak dianjurkan. 

Photo by Benz Wijaya
 Mendaki gunung Papandayan membuatku merasa seperti sedang menapaki punggung sebuah makhluk raksasa yang sedang tertidur. Deretan tebing di sekelilingnya membuatku merasa ada yang sedang mengawasi. Langkah demi langkah aku ambil dengan hati-hati, karena bebatuan dan kerikil bisa membuatku tersandung atau terpleset. Di samping tempatku menapak, jurang mengaga sedalam tak kurang dari 100 meter.

Selama pendakian yang terdengar hanya suara bising alam. Siulan angin yang berhembus, gemericik sungai yang mengalir, gemeretak batu yang terinjak. Sebuah simfoni alam yang megah dan ajaib.

Udara dingin bertiup sejuk membuai tubuh dan jiwa lelah yang aku bawa dari kota yang tak pernah tidur. Tarik napas yang dalam, biarkan udara segar mengalir ke dalam paru-parumu.

Sampai pertengahan jalan, kaki yang terbiasa berjalan di dataran beraspal atau terbiasa menginjak kopling dan gas, mulai terasa kagok. Namun kemegahan Gunung Papandayan dan misteri yang menunggu di puncaknya membuatku memaksa kedua kaki ini untuk terus melangkah, tapi perduli selelah apapun.

Photo by Benz Wijaya
Ada sesuatu di puncak setiap gunung yang dengan misterius memikat hati, tak terkecuali Gunung Papandayan.

Setelah satu setengah jam perjalanan, akhirnya kami sampai setengah perjalanan menuju puncak. Mengingat ada dua ibu hamil, kami memutuskan tidak naik lebih jauh lagi. Jadi kami hanya sampai sejauh, mungkin… pinggang gunung.


Namun jangan kamu remehkan walau hanya sejauh itu. Coba lempar pandangan ke sekeliling, maka kamu akan menemukan kebesaran alam. Jauh di sisi kanan tempatku berdiri, terdapat hamparan kawah tempat asap putih belerang mengepul ke atas seolah mencipta awan. Angin menerpa wajah degan lembut dan sejuk, aku merasa jiwaku terlepas dan ikut terbang bersamanya. Mataku dimanjakan oleh pemandangan kawah, tebing-tebing besar, dan langit biru berawan yang indah.

Tak tahu lagi harus berbuat apa dan berkata apa, aku terduduk dalam diam di atas sebuah batu sambil menikmati semua itu. Berbagai perasaan berpusar resah di dalam dada, tapi ada dua perasaan yang mendominasi, Takut dan Kagum.

Photo by Irwan Khill
Aku takut karena sadar aku hanya sebagian kecil dari alam yang begitu besar.  Dari ceruk-ceruk gunung yang mengeluarkan asap putih dan tebing-tebing yang besar, alam terlihat penuh dengan gairah hidup. Alam bisa terus hidup tanpa kita, tapi kita tidak bisa hidup tanpa alam. Semua kesombongan dan kebanggaan yang selama ini membesar di diriku, jadi setitik debu lalu tertiup angin. Kepalaku merunduk, hatiku tunduk.

Aku kagum, sebagai seorang anak kota yang biasanya hanya menjelajah hutan beton, kalau ternyata Tanah Ibu Pertiwi ini begitu cantik dan megah. Liburan tak melulu harus pergi keluar negeri. Di sini, di negeri kelahiran kita, di rumah kita sendiri, masih ada tempat yang bisa membuat kita terperangah.

Bagiku, perjalanan ini lebih dari sebuah wisata tapi juga meditasi untuk menambal apa yang terkoyak di dalam


Suatu hari nanti aku akan kembali ke gunung ini dan mendaki sampai ke puncaknya untuk melihat hamparan bunga edelweiss, juga sejuknya embun pagi sambil menanti matahari terbit dari puncak Gunung Papandayan.


Wednesday, November 14, 2012

Masokis


Pada suatu ketika seorang teman yang juga bos (Sekarang mantan bos), pernah menasehati, “Siksa otak loe Win, sampai kering.” Tapi selaraskan dengan hati karena otak yang disiksa tidak dengan cinta akan melawan untuk merdeka, dan di saat itu lah kamu akan menjadi gila. ya! Menyiksa bisa dengan cinta, seperti seorang bapak yang membiarkan anaknya jatuh agar ia tahu bagaimana bisa bangkit.
Aku menjadi sedikit masokis karenanya, nasihat mantan bosku itu. Sakit kepala yang biasa kita rasakan setelah seharian berpikir, memberikan rasa puas yang meretas batas antara muak dan bangga. Kedua rasa itu mencair lalu larut menjadi sebuah zat serupa candu. Candu untuk terus melangkah, untuk terus memacu diri, untuk terus percaya walau sepertinya tak mungkin, untuk terus hidup walau kehidupan menjejalkan berbagai alasan untuk berhenti hidup.

Friday, November 9, 2012

Dengarkan lah

-->
Dengarkan lah
Setan memaki
Semua kata yang berduri
Telan semua dengan serakah

Dengarkan lah
Iblis berbisik
Semua kata yang syirik
Simpan semua walau gerah

Dengarkan lah
Semua syair neraka
Setiap bait gila
Lantunkan meski dalam nada yang lemah

Dengarkan lah
Kita tak pernah tahu
Tak akan pernah tahu
Tersirat di sana
Kata-kata penyembuh jiwa
Yang tak kau dapatkan dari menyembah terang

Karena sejatinya
Terang yang paling terang
Adalah terang yang keluar dari gelap
Gelap yang paling gelap
Adalah gelap yang bersembunyi di dalam terang.

Dengarkan lah

Tuesday, October 30, 2012

Hanya Lelah

Tadi malam tanpa maksud, aku berkunjung ke sebuah toko buku di sebuah mall kecil di kuningan. Di salah satu raknya aku menemukan sebuah novel yang sudah lama aku inginkan. lalu aku teringat tak punya uang cash. Spontan bayangan harus mencari mesin ATM yang entah ada di sudut mana dan setelah itu harus kembali ke toko buku ini membuatku meletakkan kembali buku itu di rak, berbalik dan melangkah pergi. Buku itu tinggal satu-satunya, tapi aku terlalu lelah.

Aku pulang naik bus “derita” berwarna abu-abu dari halte di tengah jalan Kuningan dan Setia Budi. Ini pertama kalinya aku pulang ke rumah dari halte itu. Untuk itu aku bertanya arah ke petugas. Ramah aku bertanya, dijawab dengan acuh. Mungkin ia buta. Aku di depannya, tapi ia menjawab sambil menengok ke sebelah kanannya. Dadaku panas, amarah terusik seperti ular yang terinjak, kata-kata setajam silet sudah berdesakkan minta keluar dari dalam tenggorokkan. Tapi itu yang biasanya akan terjadi. Malam ini aku terlalu lelah untuk tersinggung. Setidaknya oleh hal seremeh itu.

Bus “derita” penuh sesak. Aku berdiri memandang ke jalanan dari balik jendela bus. Sebuah mobil melintas. Di dalamnya seorang cowok sedang serius menyetir sedangkan cewek di sampingnya sedang autis dengan HP-nya. Sekilas aku berpikir enaknya kalau punya mobil sendiri gak harus berhempitan seperti kambing kurban yang sedang diangkut. Lalu tiba-tiba laju si mobil tersendat. Jalan macet di depannya. Dari dalam bus “derita” aku melewati antrian mobil yang mengular sampai ke ujung. Niat untuk beli mobil langsung kandas, aku terlalu lelah untuk punya jadi tua di jalan.

Ada berbagai jenis manusia di dalam bus “derita”. Tapi seorang cowok yang sedang berdiri di bagian belakang mengusik pemandanganku. Kepalanya botak… hm.. egh… aku menengok untuk melihat pakaiannya, ia pakai jaket kulit warna hitam. Egh… warna resletingnya putih bukan ya? Sekali lagi aku nengok. Bukan putih tapi silver. Dia sedang menjinjing tas. Tapi tas apa ya? Aku melihat lagi ke arahnya. Shit! Tote bag. Aku sampai menengok ke arah tasnya beberapa kali antara tak percaya dan jijik. Aku masih belum bisa menerima melihat cowok yang memakai tas itu. Ia seperti sedang membawakan tas pacarnya. Sekali lagi aku melihat ke arahnya, dan dia sepertinya sadar kalau aku sedang mengawasinya. Sial, nanti dia kira aku naksir lagi. Namun sekali lagi, aku terlalu lelah untuk peduli.

Orang-orang masuk dan keluar bus, semuanya tampak lelah dan muak, entah pada apa. Di depanku seorang cewek langsung tertidur begitu ia mendapat tempat duduk, di sebelahku seorang pria tertidur pulas, mulut mangap dan kepala mendongak seperti sedang menanti sesuatu jatuh dari atas. Kesibukkan menghisap nyawa dari diri kita masing-masing dan menjadikan kita zombie. Aku juga lelah seperti kebanyakan orang di bus “derita” ini, tapi aku tidak tertidur. Aku lelah, tapi bukan lelah seperti mereka.

Dari halte busway aku naik ojek. Seharusnya aku bisa jalan sedikit untuk naik angkot, tapi niatku layu dan tenagaku kering kerontang seperti jemuran yang lupa diangkat. Jadi aku tak peduli, ojek pertama di depanku langsung aku sambar.

Sesampainya di rumah, aku membayar ongkos Rp 7000,- rupiah. Tarif standar yang sebelumnya sudah aku dan supir ojek sepakati bersama. Well, setidaknya begitu kesimpulanku. Dia cuma diam waktu aku tawar. Diam itu emas, tapi diam juga bisa berarti setuju. Ketika sampai di depan rumahku dan aku menyodorkan ongkos, si supir ojek lagi-lagi diam. Lalu dua detik kemudian ia menyambar uang di tanganku dengan gerakan lambat, seolah-olah gesturnya berkata, “pelit amat sih”. Tingkah si tukang ojek seperti merangkum semua kekesalanku selama perjalanan pulang. Aku ingin meledak, tapi lelah menelan emosi seperti monster gemuk yang lambat. Lelah yang asing sekaligus akrab. Aku pun mengalah dan melangkah lunglai masuk ke dalam rumah.

Lelah ini tak punya nama. Bukan lelah fisik atau lelah jiwa, dan juga bukan lelah bekerja atau lelah bertengkar. Lelah ini tak berdefinisi, ia murni hanya rasa.

Sunday, October 28, 2012

Penuh Manusia Tapi Tanpa Kemanusiaan


Kemana perginya kemanusiaan di kota ini? Kota yang menjadi bagian sebuah bangsa besar, yang konon sangat dikenal dengan keramahan dan ketulusan hatinya, dengan semangat membantu orang lain dan dengan senyum yang hangat. Kalau dulu memang pernah seindah itu, sekarang negara ini sudah bukan seperti itu. Negara ini sudah berevolusi menjadi monster pemarah yang berdarah dingin. Kota ini buktinya.

Suasana jalan yang carut marut dan kurangnya peradaban dalam sistem transportasi maupun kebersihan membuat Jakarta menjadi lebih seperti tempat sampah besar daripada kota megapolitan.

Pembangunan memang terjadi di beberapa tempat, tapi sebagian besar adalah pembangunan yang bersifat konsumtif seperti mall. Entah sudah ada berapa banyak pusat belanja kecil dan besar di kota ini. Bagaimana dengan pembangunan sarana lain? Jalur hijau terpangkas sedikit demi sedikit untuk kepentingan perusahaan atau bahkan untuk membangun transportasi umum yang gagal, Transjakarta.

Jalur pejalan kaki yang hanya sedikit dijajah oleh penjaja makanan atau warung-warung rokok, bahkan kadang untuk tempat parkir. Transportasi umum seperti kereta dan bus sudah seperti kendaraan untuk mengangkut kita ke neraka. Belum lagi masalah polusi dan sampah yang setiap tahunnya memberikan sumbang sih besar pada jumlah jenis penyakit dan angka kematian.

Terletak dekat dengan garis khatulistiwa membuat Jakarta sebagai salah satu kota dengan iklim tropis yang ekstrim. Pada musim kemarau, hawa panas dan udara lembab membangkitkan milyaran pasukan nyamuk berbirahi tinggi (karena nyamuk mengisap darah bukan untuk makan tapi beranak). Hal ini salah satunya disebabkan oleh kotornya kali dan got di Jakarta.

Udara panas juga mempengaruhi suhu hati manusia-manusia Jakarta. Aku sering berpikir, kalau sebetulnya, kota ini diisi dengan orang-orang yang marah. Tidak seharipun pernah kita luput untuk mengeluh, menghujat, atau memaki keadaan di kota terkutuk ini. Belum lagi angka tawuran warga dan pelajar yang terus bertambah.

Di kota ini tak aneh bila kita mendengar seseorang dibunuh karena ia menyerempet motor, padahal yang diserempet tidak jatuh apalagi terluka sama sekali.

Hidup di kota ini kita tidak bisa lepas dari rasa stress. Bahkan saat kita masih di dalam rumah, suara sepeda motor yang lewat dengan bunyi knalpot seperti teriakan setan, sudah berhasil menggores kesabaran kita. Lalu saat kita keluar rumah, suasana lalu lintas dan polusi kembali melukai kesabaran kita.

Semua itu ditamah ulah para wakil rakyat yang selalu membelah macet dengan menyingkarkan rakyatnya menggunakan bunyi sirene dan otoritas para orang-orang yang disebut pembela rakyat.

Setelah kalah sikut dengan para tirani, sesama rakyat biasapun juga saling sikut-sikutan. Orang yang berusaha melakukan hal benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Bila kita berhenti tertib di belakang garis putih sebuah lampu lalu lintas, orang di belakang akan memaki lewat klakson kendaraan bila tidak dengan mulut mereka. Itu kenapa di kota ini, orang yang berusaha untuk menjadi benar adalah alien.

Kalau keadaannya seperti ini, apa pantas kota ini disebut sebagai kota manusia? Rasanya lebih pantas ia menyandang sebutan kandang binatang.

Sebagian orang berusaha untuk menjadi benar, tapi jumlahnya terlalu sedikit. Dan mereka hanya rakyat biasa yang sering terjepit di antara mereka yang ada di atas dan mereka yang ada di bawah.

Sampai kapan kah kotaku ini bisa menjadi beradab? Ada begitu banyak manusia di kota ini, di republik ini, tapi hanya ada begitu sedikit kemanusiaan.

Wednesday, October 3, 2012

sedikit sok tahu, mungkin


Aku mungkin tidak tahu apa-apa soal perkawinan. Menikah saja belum, tapi ijinkan aku mengeluarkan sedikit resah yang menggumpal di dada.

Semua berawal dari hari minggu sore di sebuah café kopi bernuansa hijau dan coklat. Seperti biasanya, setiap hari libur tempat itu selalu sesak pengunjung yang duduk untuk menikmati kopi sambil bekerja atau bergosip dengan teman.

Setelah menunggu hampir 15 menit, aku berhasil mendapat tempat di sudut ruangan. Di sisi kanan seberangku duduk begitu dekat, seolah-olah kita saling kenal, seorang wanita berambut panjang dan berkaca mata yang aku tafsir umurnya belum empat puluh tahun. Ia tersenyum dan mempersilahkan  dengan ramah ketika aku bertanya apakah bangku itu kosong.

Entah karena kita duduk terlalu dekat atau si wanita memang ramah, atau mungkin keduanya, ia memulai pembicaraan. Aku tidak terlalu ingat awal obrolan kita, tapi aku ingat ia bertanya apakah aku sudah menikah. Belum sempat aku menjawab, ia lantas menanyakan umurku. Begitu mendengar jawabanku, ia tampak sedikit terkejut. Padahal aku belum setua reaksinya. “Tapi sudah punya pacar kan?” logat Surabaya terdengar kental setiap kali ia bicara. Sudah, jawabku. Lalu hening mengambang, seolah-olah dia sedang meresapi jawabanku.

“Kelamaan. Kelamaan. Kelamaan.” Ia mengulang-ngulang kata itu seperti bicara dengan mahkluk imajiner di depannya karena ia tidak menatapku tapi memandang lurus. Ia memalingkan kepalanya ke arahku dan mengatakan kalau ia menikah di umur 20 tahun.

Aku tersenyum mendengar jawabannya, tapi ada resah yang menyesakkan rongga dadaku. Dua puluh tahun? Apa yang sudah kita tahu tentang hidup dan mungkin jati diri sendiri saja belum sepenuhnya ditemukan.

Tak lama kemudian seorang pria, yang aku duga suami si wanita, datang dan bergabung dengan kami. Begitu si pria mendaratkan pantatnya di bangku kayu warna coklat muda, si wanita langsung melempar informasi singkat padat dan menohok kepadanya. “Ini loh, udah punya pacar tapi belum menikah”, ia menunjukku dengan tatapannya dan memojokkan aku dengan nada bicaranya. Lalu ia menyebut umurku seolah-olah aku sudah berumur 50 tahun.

Reaksi si pria juga tidak kalah “lebay”. Ia terperanjat hingga tubuhnya mundur seperti ada yang mendorong dadanya. Lalu kata-kata pertama yang meluncur dari mulutnya sama dengan istrinya, “Kelamaan, kelamaan.” Ia menggeleng-geleng lalu mengambil gelas kopi di depannya, dan setelah meneguk isinya ia mengulang sekali lagi, “Kelamaan”. "Saya menikah umur 20". Lagi-lagi aku tersenyum pahit, sesak yang sama kembali terasa di dada.

Si pria memang suami si wanita. Mereka berdua menikah pada umur 20 tahun. Sekarang anak pertama mereka sudah kuliah, dan yang satu lagi baru akan masuk SMP.

“Pacarku masih mau sekolah ke US.” Jawabku ringan. Si wanita terkejut sambil mengulangi kata-kataku seolah tak percaya apa yang ia dengar. Sambil memincingkan mata dan bicara suara setengah berbisik seperti akan menyampaikan sebuah konspirasi besar, si wanita bilang kalau menurut pendapatnya aku jangan mengijinkan pacarku untuk pergi ke US. Saat aku tanya alasannya jawabannya yang tersurat adalah Amerika itu negara bebas. Sedangkan jawaban yang tersirat di dalam ekspresi dan nada bicaranya adalah bagaimana bila pacarmu suka dengan orang lain bagaimana?

Lidahku terasa getir. Bukan aku tak pernah memikirkan kemungkinan itu dan bukannya aku tidak pernah takut kalau sampai hal itu benar-benar terjadi. Tapi siapa aku hingga punya hak untuk membendung impian orang lain atas dasar ketakutanku. Meski ia pacarku sendiri. Mimpi adalah energi hidup paling murni dan dahysat. Membunuh mimpi seseorang sama dengan mencabut nyawanya.

Kalau memang kita berjodoh untuk bersama sampai tua, maka tak ada jarak atau makhluk apapun yang mampu menghalangi. Bila tidak berjodoh, gara-gara seekor kecoa saja hubungan bisa bubar jalan. Jadi tak ada alasan buatku untuk terlalu khawatir.

Hidup itu adalah perjalanan menuju sebuah tujuan. Kalau tujuanmu adalah menikah, mungkin penting bagi kamu untuk menikah secepatnya. Lagipula siapa juga yang tak mau impiannya bisa cepat terwujud. Tapi kalau kau punya rencana lain untuk hidupmu, sebuah impian untuk menjadi seorang penulis misalnya, atau seorang penari, atau seorang pebisnis, maka usia berapapun kamu nanti menikah, muda atau tua, bukan suatu masalah besar. Yang terpenting adalah menemukan seseorang yang bisa mengerti dan mendukung impianmu.

Percayalah, orang yang punya banyak karya adalah orang paling seksi dan menarik yang akan pernah kamu jumpai. Dan aku tidak percaya orang-orang seperti itu akan mati kesepian, kecuali memang ia yang memilih seperti itu.

Sunday, July 1, 2012

Bye-bye


Tak ada keterpaksaan yang lebih menyakitkan daripada terpaksa meninggalkan sesuatu yang masih kita cintai. Namun kadang kenyataan berkehendak, dan kita sebagai aktornya hanya bisa nurut. Begitulah perasaanku meninggalkan kantor yang sudah setahun lebih aku huni.

Aku masih ingat pertama kali aku interview di kantor ini. terlambat satu setengah jam karena hujan dan macet parah. Lalu salah naik lift dan sampai ke karaoke plus-plus (satu lift dengan pelayannya pula). Lalu bertemu dengan dua orang bos di sebuah ruang meeting yang remang.

Banyak yang bilang, anak agency multinational, sombong. Apalagi sama orang yang cuma berpengalaman di agency local. Tapi kedua orang yang meng-interview gua, benar-benar memutarbalikkan gossip itu. Mereka begitu ramah dan santai, hingga nantinya ketika aku resmi bekerja untuk mereka, hati yang baik itu tidak berubah.

Kantor ini tidak terisi dengan cubicles yang tertutup, tapi hanya sekat yang terbuka. Bahkan satu-satunya orang yang punya ruangan sendiri hanyalah bos tertinggi kreatif (executive creative director). Yang lain berbagi ruangan yang sama, menghirup udara yang sama, dan berbagi sapaan hangat yang sama.

Hampir semua orang suka tertawa dan berbagi tawa. Bahkan beberapa orang saling membantu walau kita berbeda tim. Celetukan di ujung ruangan, bisa menular ke ujung yang lain. Hingga akhirnya seluruh ruangan yang besar itu tertawa bersama, walau yang tertular tidak tahu kehebohan apa yang terjadi di sana.

Begitu juga dengan makanan. Satu orang bawa makanan, semua orang dari seluruh penjuru ruangan datang mengerubuti. Persis semut merubungi gula. Dan tak pernah ada yang marah makanannya diambil oleh orang dari tim lain.

Berbagi senyum, tawa, kekecewaan, kemarahan, makanan, keseruan, ide, dan passion. Berbagi. Itu lah satu kebiasaan yang membedakan kantor ini dengan kantor multinational yang lain. Kadang aku merasa kalau kami bukanlah rekan kerja, tapi sebuah keluarga besar.

Agency global rasa local. Begitu saja hatiku tertambat di tempat ini.

Aku tak ingin pergi. Begitu jujurku di depan ketiga petinggi yang memegang nasibku di perusahaan itu. Walau tawaran datang dengan iming-iming yang menyilaukan mata. Berikan aku di bawah apa yang ditawarkan perusahaan itu. Pintaku dengan yakin. Mereka akan memikirkannya terlebih dahulu. Okay. Aku menjawab penuh harap.

Satu minggu. Dua minggu. Sampai minggu ketiga hampir tuntas, tidak juga ada kabar. Statusku gantung, seperti habis nembak cewek, tapi gak ditolak, gak diterima juga. Akhirnya aku memutuskan untuk pindah kelain hati. Aku tanda tangan kontrak dengan perusahaan baru.

Kepergianku kali ini terasa jauh lebih berat daripada yang sudah-sudah. Butuh waktu yang panjang, usaha yang tidak mudah, dan keberuntungan yang besar sampai aku bisa bekerja di perusahaan ini.

Tidak tanggung-tanggung, lima tahun melanglang buana di agency rakyat. Babak belur dengan system yang berantakkan. Akhirnya aku berhasil naik kasta ke agency para dewa. Kumpulan orang-orang berotak kreatif sangar, diatur dengan system yang tertata rapi.

Semua anak kreatif iklan pasti bermimpi untuk bekerja di salah satu advertising agency multinational. Selain baik buat belajar, juga baik buat kantong, gengsi, dan tentunya CV. Namun sekarang, begitu mimpi jutaan umat kreatif di Indonesia menjadi milikku, aku lepaskan begitu saja. Hati pernah memaki bego, dan masih sampai sekarang, walau hanya berbisik.

Orang bilang waktu melesat cepat ketika kita bahagia. Dua puluh empat lantai di atas permukaan tanah, di dalam ruangan besar ini, setahun tiga bulan terasa sekilat. Dan sekarang aku sudah berpijak kembali ke tanah, di sebuah tempat baru, siap berkarya. apa yang sudah tidak hanya akan menjadi seepisode cerita hidup tapi juga inspirasi. Siapa tahu hidup memberi kejutan dan kita bisa bersama lagi.

Bye and I'll never forget.

Friday, June 15, 2012

Tentang anak kecil, seekor anjing dan sedikit buaya

 
Kadang orang suka lupa kalau anjing bukan manusia dan anak kecil bukan orang dewasa
Saya punya seekor anjing terrier berbulu emas. Sekilas lihat ia seperti golden retriever namun dengan skala tubuh yang jauh lebih kecil. Tingginya setengah betis orang dewasa. Anjing ini, yang kami beri nama Leo, seperti anjing-anjing lain pada umumnya, suka poop dan pipis sembarangan. Dan percayalah, kami sudah mengajarinya beratus kali mulai dengan memukul pantatnya, membentaknya seperti kompeni membentak tahanannya, sampai menasihatinya baik-baik dengan mata menatap mata seolah-olah bicara dengan manusia. Namun tetap saja, sesekali ia tetap mengencingi kaki meja kayu, tembok belakang rumah, atau lemari kaca.

Kekeraskepalaannya itu tidak berhenti hanya di situ. Setiap ada orang yang hendak masuk ke dalam kamar tidur, Leo, dengan jurus ninjanya, sering sekali menyelinap ke dalam demi mencari udara sejuk AC. Walau tak jarang kita sendiri yang mengijinkannya ikut masuk ke kamar. Hingga pada suatu malam, ketika sedang asyik tidur selonjoran di kolong kamar kakakku, ia diusir keluar dengan paksa. Naluri spontan seekor binatang ketika diserang adalah bertahan. Tapi karena ia tidak berani menggigit, ia hanya bisa menyalak galak. Alhasil keponakanku terbangun lantas menangis sejadi-jadinya karena kaget.

Penjahatnya sudah jelas adalah Leo. Kakakku langsung membentak dan memukul pantatnya. Sebagai seorang ayah yang baik, walau ayah dari seekor anjing, aku langsung keluar kamar dan berusaha melindungi Leo. Seperti seorang ibu yang berusaha kelihatan bertanggung jawab, ia membela anaknya. Tak lama suaminya datang dan ikut-ikutan ingin menyalahkan Leo. Spontan aku membalas serangan mereka dengan pertanyaan retoris yang menampar-nampar, “Siapa yang kasih Leo masuk ke kamar? Kenapa juga ngusirnya pakai ditendang-tendang, kenapa gak di gendong? Lupa ya kalau Leo itu cuma seekor anjing yang gak mungkin dikasih tahu langsung nurut gitu aja. Kosa kata bahasa manusianya cuma sebatas: makan, jalan-jalan, minum, ada siapa tuh, sini, yuk, sit down, shake hand, dan namanya sendiri, Leo.” Lucu, kita yang manusia yang dianugrahi akal dan pikiran mengharapkan anjing untuk mengerti kita, bukan sebaliknya.

Apa bedanya dengan orang-orang yang membunuh seekor buaya yang telah memakan seorang anak desa. Kenapa yang salah si buaya? Bukan kah itu murni hanya insting alam? Apakah seekor buaya bisa berpikir, oh itu anak manusia bukan kambing, jadi jangan dimakan. Kenapa bukan orang tuanya, yang lalai mengurus si anak yang dibelah perutnya? Manusia memang suka menghindar dari kesalahan menggunakan jari telunjuknya. Lebih mudah daripada mengaku salah.

Jadi kalau anjing kita menggonggongi seseorang sampai orang itu ketakutan, siapa yang salah? Kalau anjing Anda sesekali pipis sembarangan, siapa yang salah? Kalau lain kali anjing Anda tidur di dalam kamar dan menolak untuk keluar, siapa yang salah?

Ada orang yang punya kebiasaan menggesek-gesekkan kakinya ke kasur sebelum tidur, ada juga yang kebiasaannya kalau lagi mikir gak bisa berhenti bergerak, tapi ada juga yang kebiasaanya menyalahkan orang lain. Begitu terbiasanya seseorang menudingkan jarinya ke orang lain, lama kelamaan menjadi reflek. Logika dilumpuhkan insting memegang kendali. Siapa yang lebih binatang, anjing atau kita?

Tapi bisa saja ada orang yang menyalahkan si anak. Dia pasti bandel dan susah dibilangin. Sudah sepuluh kali dikasih tahu tidak boleh main ke dekat sungai, tapi terus saja ia kembali ke sana. Untuk Anda yang berpikir seperti itu, saya cuma akan bilang, NAMANYA JUGA ANAK-ANAK! Mereka bukan orang dewasa yang sudah bisa berpikir jauh. Di dunia mereka yang ada hanyalah rasa penasaran dan bermain.

Kita harus menjadi seperti kaset rusak, mengulangi refain yang sama, jangankan sepuluh kali, tapi mungkin bisa ratusan kali. Capek? Semua orang juga harus mengalami proses itu. Anak bukan mie instant yang tinggal cemplung, dua menit kemudian matang. Anak itu seperti sebuah novel. Ditulis dengan hati dan logika. Lalu dibaca lagi, ditulis lagi. Dengarkan pendapat orang, ambil yang benar, lalu tulis lagi. Sampai akhirnya terjahitlah sebuah cerita yang bisa menginspirasikan orang banyak. Mengurus anak memang gak semudah dan senikmat proses pembuatannya. But I believe, if we raise children with compassion, dedication and love, then it’s gonna be one magical journey.

Thursday, June 7, 2012

Saatnya kebiasaan punya alasan

Betapa miris bagaimana manusia sering menyia-nyiakan kemampuan otak mereka dengan melakukan sesuatu atas nama kebiasaan.

Pada suatu siang di kantor, seorang teman datang ke meja saya untuk meminta tisu. Saya sama sekali tidak masalah, bahkan ketika ia tidak meminta ijin. Masalahnya adalah bagaimana ia mencabut tiga lembar tisu tanpa dengan enteng hanya untuk melap mulutnya sehabis makan. Gerah melihatnya, langsung saja saya “tembak”, “eh boros banget sih pake tisu. Berapa pohon tuh yang udah loe bunuh cuma buat ngelap mulut loe.” Apakah ia merasa bersalah? Mungkin sedikit. Tapi saat itu ia hanya senyum-senyum sambil bilang kalau itu, kebiasaan.

Jadi hanya dengan alasan kebiasaan, lantas semua jadi bisa dibenarkan? Semua jadi bisa dimaafkan? Padahal menurut data yang saya dapatkan dari Om Google, satu kantong tisu berisi 20 lembar, membunuh satu batang pohon. Bayangkan berarti kalau dia makan tiga kali sehari, plus dua kali jajan, itu sama dengan 15 lembar tisu atau hampir satu pohon. Coba dikalikan 30 hari atau 365 hari. Rasanya dia sudah menjadi si pembantai pohon.

Pohon itu hidup, walau ia tidak bersuara dan tidak bergerak dengan signifikan. Dan setiap makhluk yang hidup bisa merasakan sakit dan sedih.

Kadang kita suka pilu melihat foto atau video tentang orang yang menebang pohon tanpa perasaan. Seolah kita bisa merasakan sakitnya setiap hantaman kampak atau potongan gergaji mesin. Tapi dengan memakai tisu tanpa berpikir terlebih dahulu, apa bedanya kita dengan para pembalak liar itu kecuali lokasi, mereka di hutan, kita di kota.

Padahal yang kita butuhkan hanya sedikit lebih banyak menggunakan otak. Berpikir dulu sebelum melakukan kebiasaan boros menggunakan tisu. Bayangkan juga populasi pohon di hutan yang semakin jarang, lalu bayangkan apa imbasnya kepada dunia, kepada kita. Bayangkan asap knalpot bajaj atau bus umum, atau asap pabrik, lalu tarik napas dalam-dalam.

Di jalan kita sering sekali menemukan contoh lain dari kebiasaan yang salah. Yaitu kebiasaan memberikan uang ke pengemis. Bila dilihat sekilas, memang rasanya kebiasaan itu merupakan hal yang mulia. Namun apakah kita pernah berpikir, dengan membiasakan memberi uang ke pengemis justru akan membuat mereka malas. Buat apa capek bekerja bila hanya dengan mengadahkan tangan sudah bisa dapat uang. Karena itu jumlah pengemis semakin meroket.

Kebiasaan menyalahkan orang lain juga salah satu yang paling gawat. Menyalahkan orang yang korupsi, padahal kita juga tidak pernah melakukan apa-apa untuk memperbaiki negeri ini atau menyalahkan wanita yang memakai rok pendek atas ketidakmampuan diri sendiri mengontrol birahi.

Satu contoh lagi adalah kebiasaan kita mendidik anak.

Saya memang belum menikah dan punya anak, tapi setiap hari saya menyaksikan bagaimana anak kakak saya dibesarkan oleh neneknya, ibu saya dan juga orang tuanya, kakak dan kakak ipar saya.

Bagaiaman cara kita membesarkan anak kita secara tidak langsung dipengaruhi dengan bagaimana dulu kita dibesarkan orang tua kita. Masalahnya adalah jaman terus berubah untuk itu banyak cara dan pemikiran yang dulu rasanya benar, sekarang menjadi salah sama sekali.

Kebiasaan menakut-nakuti anak agar ia tidak macet makan, atau kebiasaan memukul dan menyalahkan lantai ketika si kecil terjatuh, atau kebiasaan membandingkan si kecil dengan orang lain. Semua ini adalah kebiasaan yang patut kita telaah lagi validitasnya di jaman sekarang.

Kebiasaan menjadi sesuatu yang, invisible bagi diri kita sendiri. Biasanya kita tidak sadar kalau kita melakukan hal yang salah. Di saat seperti ini lah kita butuh orang lain. Butuh teman yang berani mengatakan kalau kebiasaan kita salah. Jadi jangan tersinggung bila ada yang mengkritik, tapi jangan juga kita telan bulat-bulat. Gunakan otak yang maha canggih di dalam kepala kita untuk mencerna masukkan itu.

Melakukan sesuatu atas nama kebiasaan sama dengan malas mikir. Kalau bisa disamakan, “kebiasaan” mungkin bisa disebut insting. Jadi bila kita terus menuruti kebiasaan, apa bedanya kita dengan seekor kera yang punya kebiasaan buang kulit pisang sembarang setelah menandaskan isinya.

Lain kali, kalau kita ingin melakukan suatu “kebiasaan”, berhenti sejenak, pikir dulu alasannya, benar atau tidak, masih valid di jaman sekarang atau sudah usang. Setelah sadar benar dengan alasannya, baru jalani kebiasaan itu.

“Akh kebanyakan mikir loe!” mungkin orang akan komentar seperti itu, tapi melihat bagaimana sekarang kita hidup dengan rasa peduli yang semakin menipis, rasanya justru kita sudah jarang sekali serius berpikir.

Tuesday, June 5, 2012

Live the question


I wonder where life will lead me if I stop searching for the answer and start living the question. Listen to my heart and take the hardest decision based on it. Take every chance the life has offered. Happiness they say, is a sum of a million failures and tireless efforts to pull yourself together.

"Don’t search for the answers, which could not be given to you now, because you would not be able to live them. And the point is to live everything. Live the questions now. Perhaps then, someday far in the future, you will gradually, without even noticing it, live your way into the answer."
- Rainer Maria Rilke-

Thursday, May 17, 2012

mengisi lembar putih


Lembar putih ini aku buka dan tutup beberapa kali. Aku menatapnya dan berusaha berpikir, menulis beberapa kata, lalu menghapusnya, menulis satu kata lalu menghapusnya lagi. Terus begitu sampai akhirnya lembaran itu tetap kosong, seperti isi kepalaku. 

Aku harus pergi, entah ke tempat di mana tak ada seorang pun aku kenal. Pergi sendiri untuk mencari diriku sendiri. Agar aku bisa mengisi lembar putih di kepalaku.

Thinking how not to think too much


I think too much. I think that’s how I became a sensitive person. I think if I stop thinking too much, somehow my life would be easier, lighter. But where should I start, I wonder.

Should I begin with not thinking too much when I’m going to make a decision. But how could I know that I will take the right path? Or I’m not supposed to know it before I gone through it. You can always predict what will happen, can’t you? Of course it’s not going to be 100% right. Hello, I think that’s why it called prediction. Am I doing it again? Thinking too much. Urgghh!!! What should I do?

Should I stop questioning my ability, my heart, and myself? Yeah, I think that is a good start. Remembering what Gandhi once said, that if you want to change the world, starts from yourself. But, how in the world should I stop doubting myself?

Should I stop thinking about what other people think about me? Should I be oblivious about other people feeling? Should I build my own nest and live there, away from everyone.

Think! C’mon think how can I be a happier person. I’m a dark person and I tend to push away all the people around me. People who actually, care and nice to me.

Think!!! Think!! Think! Think? I think that’s the problem. Stop thinking and take action. Go out there, get my hand dirty and my T-shirt full of sweats. Yap! That’s it. That’s the freakin answer, I think.

Saturday, May 5, 2012

Habis "ngobrol”, jangan malas keringatan


Berdoalah. Maka kamu akan bisa melihat petunjukNya. Karena semua itu sebenarnya sudah ada di sekitar kita. Petunjuk buruk dan petunjuk baik. Tinggal jodoh mana yang akan datang kepadamu.

Doa adalah cara kita “ngobrol” denganNya. Seperti ketika mencurahkan perasaan kepada seorang sahabat, atau guru, atau seorang majikan yang baik. Sehingga ia tahu petunjuk mana yang harus ia siapkan untukmu. Bila kau diam saja, bukan berarti Dia tidak tahu, tapi Dia akan berpikir kalau kamu bisa menyelesaikan masalahmu sendiri.

Dia punya seluruh manusia di bumi ini dan entah makhluk apalagi di seluruh alam semesta, yang harus ia pikirkan. Kalau kamu sendiri saja tidak perduli dengan dirimu, buat apa Dia perduli. Jadi berdoalah.

Hanya saja, jangan kamu selalu berdoa untuk dirimu sendiri. Tak ada orang yang suka mendengarkan seseorang yang terus menerus bicara tentang dirinya sendiri. Begitu juga Dia. Berikan ruang, bukan sepetak, tapi seluas lapangan sepak bola untuk mendoakan orang lain. Barulah ambil sepetak di tepi lapangan untuk dirimu sendiri.

Berdoalah dan sertai dengan berusaha. Kalau hanya mengatupkan tangan dan memohon, lalu duduk nonton TV atau nongkrong-nongkong manis, sambil berharap keajaiban datang sendiri seperti seekor anak kucing nyasar, sama saja dengan mimpi siang bolong, omong kosong, gigi ompong, otak melompong. Lebih baik main odong-odong.

Berdoa dan berusaha tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Mereka seperti sepasang kaki. Limpung bilang salah satunya tidak digunakan.

Berdoalah, karena hal itu akan membuatmu lebih peka akan petunjukNya. Lalu singsingkan lengan bajumu, angkat pantatmu, berjuanglah untuk mimpimu dan mimpi orang banyak.

Selamat “ngobrol” dan jangan malas keringatan.

Wednesday, May 2, 2012

Memilih


Hidup terbentuk dari jutaan partikel DNA yang benama pilihan. Seperti ketika malam itu kita memilih bercinta tanpa kondom. Dan saat kita memillih, ketika si kecil masih di dalam janinmu, untuk mempertemukannya dengan dunia, bukan dengan akhirat. Ketika kita memilih untuk lari dari rumah dan tinggal di kos-kosan kecil di pinggir rel kereta api tanpa AC dan banyak nyamuk. Lalu berhenti kuliah. Tidak menyerah dan kembali ke rumah orang tua. Dan ketika pada suatu malam yang gerah, saat si kecil akhirnya tertidur setelah menangis hampir sepanjang malam, dan aku juga kalap terlelap, kamu meletakkan sebuah surat di atas bantalmu, di sebelah kepalaku, lalu diam-diam pergi. Dan ketika kamu memilih untuk tidak menjelaskan lebih selain pesan pendek di sobekkan kertas putih polos,

“Maafkan aku. Tolong jaga anak kita.”

Love
Sofie

Tapi aku tak marah. Karena lagi-lagi, hidup itu pilihan dan aku menghargai pilihanmu. Walau aku merasa kamu egois, tapi setiap orang punya alasan. Mungkin kau pergi karena takut tidak bisa menjadi ibu yang baik. Jadi kamu melakukan ini demi si kecil. Kalau begitu pilihanmu bisa jadi benar, walau aku merasa lari bukan lah jawaban.

Ataukah kamu pergi karena aku tidak cukup untukmu. Maafkan aku, tapi aku sudah berusaha. Hanya saja hidup belum mengijinkanku untuk memberimu lebih daripada separuh nafasku. Kita tak bisa hidup hanya dengan cinta, begitu bentakmu pada salah satu dari ribuan pertengkaran kita. Dan kini kamu pergi. Begitu saja. Seperti angin yang berlalu. Kamu benar, karena kamu tidak tahu kalau Taj Mahal dibangun dengan cinta.

Apakah kamu berpikir bisa begitu saja terhapus dari hidup kami? Si kecil semakin sering menangis rindu pada tetek ibunya. Aku masih suka terbangun dengan dada sesak di tengah malam ketika melihat ranjang tempatmu biasa terlelap kini kosong. Kadang aku terjaga sampai pagi sambil berharap kalau kamu hanya pergi ke WC atau ambil minum dan akan segera kembali tidur di sebelahku. Kamu boleh pergi ke ujung dunia, tapi kamu akan selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kami.

Pada suatu sore, saat senja pertama di musim hujan. Di bawah langit yang sedang bergemuruh dan di antara angin yang sedang berhembus sejuk, aku menatap mata coklatmu pertama kalinya. Detik itu aku memilih untuk mencintaimu, selamanya. Sepuluh tahun berlalu, aku masih memegang erat pilihan itu tanpa sedikit pun niat untuk melepasnya.

Andai suatu hari nanti kamu bisa membaca catatan pendek ini, aku ingin kamu tahu kalau si kecil punya mata coklat seindah milikmu. Pada dirinya lah aku menemukan kembali kamu.

Aku bisa benci atau marah padamu. Tapi tidak. Aku memilih untuk mengingatmu sebagai seorang wanita yang aku kagumi. Aku memilih untuk tidak menceritakan hal-hal buruk tentang kamu ketika nanti si kecil sudah cukup besar untuk bertanya tentang ibunya. Aku memilih untuk terus berdoa agar kamu bisa menemukan kebahagiaan yang tidak bisa kamu temukan bersamaku. Aku memilih untuk tidak menyimpan dendam walau banyak orang mencap aku bodoh. Tapi aku bukan kebanyakan orang.

Seorang penulis Inggris pernah menulis, “Obat sakit cinta adalah lebih mencintai”. Aku memilih untuk percaya padanya. Aku memilih untuk lebih mencintaimu, dimanapun kamu berada, apapun yang sedang kamu lakukan sekarang, dengan siapa kamu melewati malammu. Aku merasa bebas ketika aku memilih untuk tidak membencimu.

Saturday, April 21, 2012

Doa


Setelah sekian lama tak menunjukkan batang hidung, malam ini aku datang ke hadapanmu membawa sejuta masalah. Tapi bagaimanapun aku tetap berharap Engkau mau mendengar doaku.

Aku mengerti kalau Engkau pasti sibuk mengurusi begitu banyak doa orang. Bahkan mungkin dengan masalah-masalah yang jauh lebih berat dari yang sedang aku hadapi. Jadi aku tak akan menyita terlalu banyak waktumu dengan berbusa-busa menjabarkan masalahku satu persatu malam ini (Aku yakin Engkau pun juga sudah tahu). Walau orang bilang kalau Tuhan tak pernah tidur.

Jalan di depanku bercabang, kemana aku harus melangkah? Tak perlu Engkau jawab sekarang, urus dulu orang-orang lain dengan masalah yang lebih berat. Namun nanti di sela-sela itu, bila  ada sedikit waktu luang, ketika Engkau sedang istirahat, mungkin semacam makan siang atau saat sedang merenggangkan tubuh, tolong luangkan sedikit waktuMu untukku. Umatmu yang bandel ini.

Aku tak butuh keajaiban. Aku hanya butuh mengambil keputusan yang tepat. Aku tak butuh jawaban pasti, aku hanya butuh pertanda. Kalau keinginanku ini terlalu berat, kabulkan satu permintaanku ini.

Berikan aku keberanian. Berikan lebih banyak besi untuk nyaliku. Sehingga seandainya aku mengambil keputusan yang salah, masih ada kekuatan di diri untuk tidak menyerah. Untuk bangkit dan mencoba lagi. Untuk yakin kalau suatu hari nanti, di dalam kehidupan ini, aku pasti bisa sampai. Untuk yakin kalau Engkau akan selalu ada untukku, untuk tidak menentukan nasibku, tapi untuk membuatku berani menuliskan nasibku sendiri.

Begitu saja. Semoga doa dari murid yang bandel ini tidak membuatMu sakit kepala seperti aku. Karena kepada siapa lagi Engkau akan mengadu.

Selamat malam, selamat membuat keajaiban di hidup manusia. Oh ya satu lagi, berikan juga keberanian untuk orang-orang yang sedang menghadapi pilihan-pilihan dalam hidup mereka.

Friday, February 17, 2012

Pesawat lepas landas, dan ceritapun dimulai

Mesin pesawat berderu kencang mendorong pesawat untuk berlari secepat kilat di lintasan terbang. Tak lama kemudian hidung pesawat mulai terangkat. Tubuhku terdorong ke belakang, lekat ke sandaran kursi. Pesawat bergetar seakan sedang bersusah payah untuk melawan kekuatan grafitasi. Lalu perlahan, dari balik jendela pesawat, semua yang di darat menjadi miniatur dan jutaan kunang-kunang.

Penerbangan menuju Surabaya ini memakan waktu satu jam lima belas menit. Itu sama saja dengan tujuh puluh lima menit berada 30.000 kaki di atas permukaan tanah. Berbagai potongan imajinasi tentang pesawat yang jatuh atau sayap yang patah atau turbin yang terbakar langsung muncul di kepalaku. Panik merangkak lewat kerongkongan. Aku berdoa.

Pramugari memperagakan prosedur keselamatan bila terjadi kecelakaan. Saat ia sedang memperagakan bagaimana mengenakan baju pelampung, aku malah membayangkan ia mengajarkan bagaimana kita melucuti pakaiannya. Apakah aku normal? Aku berdoa. Bukan untuk bertobat, tapi agar imajinasiku bisa terwujud suatu hari nanti. :p

Aku duduk di kursi tengah, diapit seorang wanita berjilbab yang ramah dan seorang bapak yang tampak seperti pegawai pemerintahan. Bapak di sebelahku ini adalah tipe orang yang suka menertawakan kesusahan orang lain. Buktinya, tadi sebelum pesawat lepas landas, ia menertawakan seorang pria yang kesusahan memasukkan tasnya ke kabin atas. Dia menengok ke arahku dengan maksud mengajakku ikut tertawa, tapi dengan tambengnya aku mengacuhkannya sambil memasang muka ketus. Akhirnya ia diam sendiri menikmati leluconnya yang aku bikin pahit.

Aku membuka buku kumpulan cerpen Anthony doerr dan membaca cerita tentang seorang anak kecil yang harus pindah ke Lithuania setelah kedua orang tuanya meninggal karena kanker. Kisah itu membawaku puluhan ribu kilometer ke negara bekas jajahan Uni Soviet dan German itu. mengikuti kisah demi kisah.

Aku kembali dari imajinasiku dan duduk di pesawat lagi ketika pramugari menyodorkan kotak snack berwarna merah darah. Isinya tak lebih dari sebuah roti dan kue murahan serta segelas air mineral. Aku lahap roti yang hambar rasanya itu tak sampai habis. Aku singkirkan sisanya lalu segera kembali ke buku. Beberapa detik kemudian aku kembali berada di Lithuania.

Pesawat terguncang. Kami sedang melewati gumpalan awan. Panik menggelayut di dalam dada. Aku teringat maskapai yang pernah jatuh lalu hilang di tengah laut. Aku membayangkan pesawat ini jatuh, mungkin rasanya seperti naik roller coaster ketika sedang meluncur turun, hanya saja yang ini tidak akan pernah naik lagi. Aku menahan napas. Mencoba mengusir pikiran buruk dari kepalaku. Aku berdoa.

Aku mengecek sabuk pengaman yang melingkar di pinggangku dan aku lihat kepala sabuknya yang tampak kusam dan baret-baret, seolah-olah diambil dari reruntuhan pesawat yang pernah jatuh. Aku berdoa lagi.
 
Dasar lebay. Hanya awan kecil dan sedikit guncangan saja. Sekarang pesawat sudah normal kembali. Aku perhatikan kedua orang di sebelahku sedang tertidur pulas (tidak seperti aku yang panik).
Entah berapa jauh lagi sampai Bandar udara Juanda. Aku mengintip keluar jendela, gelap total. Aku bahkan tidak tahu apakah pesawat ini benar-benar sedang bergerak atau tidak. Aku membayangkan kalau sebenarnya kami sedang berada di sebuah simulator pesawat terbang. Sebenarnya kami berada di sebuah ruangan dengan dinding kaca yang di baliknya, sekelompok ilmuwan sedang berdiri dan melihat kami untuk meneliti reaksi orang di dalam pesawat.

Pesawat kembali berguncang. Aku kembali panic. Walau tidak separah tadi.

Aku berusaha mendengarkan suara di dalam pesawat. Dua orang wanita sedang ngobrol dengan seru beberapa bangku di belakangku. Selebihnya tak ada. mungkin semua orang tidur. Atau mungkin juga punya ketakutan yang sama denganku sampai mereka tak sanggup bicara.

Dingin menusuk di dalam pesawat. Tak ada selimut untuk penumpang. Aku menggigil seraya dingin merayapi bagian tubuhku yang telanjang. Hidung bobrok ini sudah mampat semenjak pertama terkena dingin. Aku hanya bisa bernapas sedikit-sedikit. Penciuman lumpuh hampir 80 persen. Tiba-tiba, aku mencium bau durian. Walau hidung mampat, semua orang juga bisa mengenali bau menusuk itu. Siapa sih yang makan durian di pesawat. Aku mengumpat dalam hati. Tak lama bau durian itu pergi. Tenang kembali.

Dalam tenang pesawat bergumam lembut. Pramugari bolak-balik seperti model di catwalk. Kenapa sih pramugari tampangnya judes. Kadang tidak cantik tapi ketus iya.

Ketika sedang berpikir tak jelas arah, bau durian yang tadi kembali tercium. Aku mengendus-ngendus seperti anjing sambil celingak-celinguk mencari sumber bau itu. Entah ada apa dengan gerakkan itu yang membuat penciumanku sedikit lebih baik, karena di momen itu aku sadar kalau itu bukan bau durian melainkan bau KENTUT! Seseorang sedang sakit perut dan belum boker untuk waktu yang lama. seseorang yang mungkin baru saja makan durian dan BANGKAI TIKUS. Sialnya aku terlanjur menghirup baunya dalam-dalam. Sekarang aku menahan napas. Tapi terlambat karena aku bisa merasakan bau itu sedang meracuni di paru-paruku.

Cewek berjilbab di sebelahku terlalu baik dan beriman untuk punya bau kentut sebusuk itu. kalau gitu kemungkinan terakhir adalah bapak di sebelahku. Keparat! Aku menahan napas dan berdoa. Semoga bapak di sebelahku ini kena wasir.

Pesawat mengurangi kecepatannya. Aku tahu dari deru mesin yang melemah. Jutaan kunang-kunang kota sudah bisa kembali terlihat dari balik jendela kecil di dinding pesawat. Surabaya tinggal selangkah lagi.

Kapten pesawat mengumumkan kalau kita akan segera mendarat di Bandar udara Juanda dengan bahasa Indonesia lalu bahasa inggris yang canggung. Tak lama pesawat turun. Semua rumah dan pohon yang tadinya tampak kecil sekarang kembali ke ukurannya semula. Tekanan di dalam kabin bertambah. Urat leherku tertarik. Sakit minta ampun seperti mau putus. Aku berdoa. Pesawat mendekati landasan. Roda belakang menyentuh landasan, diikuti roda depan. Pendaratan yang sempurna! Hatiku pun mendarat ke tempat yang empuk. Legah bukan main. 

Pesawat merapat, penumpang cepat berdiri. Lelah terlalu lama di pesawat. Aku mengambil tas dari kabin atas lalu melangkah keluar dari pesawat. Aku selamat tiba di Surabaya. Aku berdoa. Bersyukur. Sekarang, mari kita nikmati Surabaya.
"Another departure, another adventure awaits."

Wednesday, February 15, 2012

Manusia penyiksa hidung

Kisah ini mungkin bukan pengalaman hidup gua yang paling buruk, tapi pastinya yang paling BAU. Selamat menikmati dan gua sarankan, tutup hidung selagi membaca.

Malam tadi, setelah selesai rapat, gua dan ketiga teman memutuskan untuk mencari makan. Mengisi kembali energi yang tadi terbuang untuk memeras otak. Tepat di saat kita akan berangkat, kami bertemu dengan seorang teman (pria) yang kebetulan juga sedang kelaparan. Alhasil, kami mengajaknya. Dan ini ternyata menjadi momen pembuktian kalau kebaikan hati tidak selalu berbanding lurus dengan berkah yang baik.

Tepat ketika si teman ini masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku sebelah gua, bau tidak sedap langsung masuk menusuk ke dalam hidung. Baunya ya Tuhan, perpaduan sempurna dari asin keringat dengan bau matahari dan bau celana jeans yang lembab. Sepertinya tak ada kata dalam Bahasa Indonesia yang bisa menggambarkan betapa kejam baunya. Dalam sekejap alarm hidung gua langsung meraung-raung tanda bahaya. Namun apa daya. Tidak mungkin kan gua suruh si teman ini keluar.

Akhirnya gua mencoba satu-satunya cara, yaitu berusaha sekuat tenaga menahan napas dan hanya menariknya sedikit-sedikit bila dada sudah sesak. Tapi gua kan bukan onta yang bisa menyimpan udara di dalam punduknya. Eh tunggu, onta kan menyimpan air. Akkh loe ngerti kan maksud gua.
Namun drama bau tidak sedap ini belum sampai klimaksnya. Teman gua ini adalah seseorang yang suka sekali ngobrol dan bercanda. sedangkan gua, adalah orang yang sungkan. Jadi bila ada orang yang melucu, segaring apapun, gua pasti berusaha untuk tertawa. Seperti yang saudara-saudara sekalian pastinya sadar, kalau orang bicara secara tidak langsung ia juga mengeluarkan udara mulut. Sedangkan bila orang tertawa, dia pasti akan lebih dulu menarik udara masuk ke paru-paruya. Di sinilah puncak segala macam bau menemukan kesempurnaannya. 

Pada satu momen, teman gua ini melontarkan sebuah lelucon sambil menghadapkan wajahnya ke arah wajahku. Saudara-saudaraku, andai hanya lelucon yang terlempar dari mulutnya tidak ditambah hawa jigong, pasti gua akan tertawa terbahak-bahak. Bau mulutnya dibonceng hembusan angin AC mobil seperti tentara Belanda kembali ke Indonesia dibonceng tentara NICA, mampir ke dalam hidung gua untuk menjajah. Aromanya yang “sedap” berhasil membawa bau busuk ke level yang lebih tinggi. Seolah-olah orang ini baru saja makan bangkai seekor tikus yang baru saja makan bangkai tikus lain yang baru saja makan bangkai kecoa yang baru saja makan bangkai bakteri dari got. Rasanya tidak perduli sekuat apa gua berusaha menahan napas, baunya tetap saja tercium. Kepala gua langsung pusing dan perut gua mulas. Rasanya kalau di saat itu gua kentut, baunya bakal minder.

Secara tidak sadar gua jadi menyetir mobil sedikit ngebut. Begitu sampai di tempat tujuan, gua langsung menghirup wangi aroma malam yang baru saja dirumpahi hujan. Segarnya, amboi bukan kepalang.

Setelah menetralkan bau mengerikan tadi, gua langsung mendekati salah satu teman semobil yang duduk di belakang. Gua minta dia untuk duduk di depan menggantikan si pria itu nanti waktu pulang. Dengan kejamnya, teman gua ini hanya tertawa meledek lalu dengan teganya bilang, “untung dia gak duduk di belakang.” Lalu melengos pergi.

Akhh kejam. Itu tandanya dia menolak permintaan gua. Akibatnya sepanjang makan, syaraf penciuman gua stress membayangkan perjalanan pulang. Gua gak sanggung melewati penderitaan yang sama sekali lagi. Apalagi kita makan di restoran out-door dalam malam panas yang lembab. Langsung gua membayangkan bagaimana keringat mengalir dari sejuta pori-pori di tubuhnya bersama dengan uap tubuh. Lalu keduanya akan menyerap ke pakaiannya yang entah sudah berapa lama tidak dicuci. 

Hilang napsu makan gua.

Setelah satu jam makan, tiba saatnya pulang. Pasrah hanya satu-satunya pilihan yang gua punya. Sedangkan teman (baca: pengkhianat) yang tadi menolak permintaan gua, hanya bisa tersenyum iseng dan berlagak bego.

Anehnya! Di dalam mobil bau itu tidak tercium. Hanya tercium sisa-sisa aroma khas mobil baru. Apa jangan-jangan indra penciuman gua sangat trauma sampai jadi kebal? Apapun alasannya, gua bersyukur kalau selama perjalanan pulang gua gak harus tersiksa lagi. Dan kita semua selamat sampai di rumah masing-masing.

Entah hikmah apa yang bisa gua ambil dari teman gua sang penyiksa hidung itu, tapi yang pasti gua berterima kasih sudah mengalami kejadian yang tidak menyedapkan tadi. Karena kadang memang dari sana hidup kita jadi punya warna-warni yang unik.

Sunday, January 1, 2012

Old habit to start a New Year

It was fifth teen minutes to 2012. But the dark sky was already bombarded with non-stop fireworks that sounded like a gun war. I was sitting on my knees on wooden floor inside a Buddhist temple. The place was filled with more than 1000 people. Let alone sitting comfortably, I was hardly move my feet. Soon enough, pain was crawling in both of my lags. I was forced to use every inch left of the empty space around me to stretch and free the blood circulations. This torturing situation plus the struggle to keep my eyes open despite the long and monotone pray was definitely excruciating.

For as long as I could remember, I’ve spent the last second of every year in my life, praying in the temple. Sometimes I wonder what it would be like to spend New Year doing something else, something less painful and more fun like being in the city. I imagined myself in the ocean of people, where together we’re counting down the last 10 seconds of a year and then let ourselves amazed by how fireworks work their magic to lighten up the dark sky.

It could be nice or completely the opposite. But tell you the truth that thought only goes as far as my imagination. I don’t really wanna do it, and even if I have to, there’s should be a really damn good reason.

Because to me, what I’m doing in the beginning of a year is like creating the basic story of a novel or a short fiction. When you got it wrong, it would be wrong all the way to the end. So I pledge my New Year resolutions and hopes within a pray. I pray for a great year not just for myself, but also for the whole nation and the rest of the world.

Have a blast New Year people!