Mendaki Gunung Papandayan menorehkan pengalaman menakjubkan
sekaligus mengerikan. Hamparan luas gunung batu yang seolah tanpa ujung
dikelilingi tebing-tebing raksasa dan sungai kecil serta asap belerang berwarna
putih yang tak henti-hentinya mengepul ke langit lewat celah bekas keluarnya
lahar, memberikan firasat kalau ada pada Gunung itu sesuatu yang hidup dan
berkuasa, Alam.
Aku pergi dengan enam orang sahabat, empat pria dan tiga
wanita (dua ibu hamil). Kami sekumpulan manusia kota mencoba mencari petualangan
baru yang jauh dari hiruk-pikuk ibukota. Papandayan menjadi petualangan pertama.
Photo by Irwan Khill |
Terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat, Gunung Papandayan
merupakan satu dari sekian banyak gunung merapi yang masih aktif.
Kami sampai di kaki Gunung Papandayan pukul 11 siang.
Pertama kali turun dari mobil sepoi sejuk dan ramah angin gunung langsung menyapa
kami. Sebelum mulai mendaki kami melepas lelah 6 jam perjalanan dari Jakarta
dengan menikmati makanan di warung-warung di sudut lapangan parkir. Setelah
enam bungkus indomie, dua piring nasi goreng, tiga bungkus kacang, dan beberapa
potong pisang, akhirnya pendakianpun dimulai.
Awalnya Jalur pendakian cukup lebar untuk jalan satu mobil. Namun
lama semakin jauh kita melangkah jalan di depan semakin menyempit dan menanjak.
Konturnya berbatu dan berkerikil. Pemakaian sendal jepit
karet sangat tidak dianjurkan.
Photo by Benz Wijaya |
Mendaki gunung Papandayan membuatku merasa seperti sedang menapaki
punggung sebuah makhluk raksasa yang sedang tertidur. Deretan tebing di
sekelilingnya membuatku merasa ada yang sedang mengawasi. Langkah demi langkah
aku ambil dengan hati-hati, karena bebatuan dan kerikil bisa membuatku
tersandung atau terpleset. Di samping tempatku menapak, jurang mengaga sedalam
tak kurang dari 100 meter.
Selama pendakian yang terdengar hanya suara bising alam.
Siulan angin yang berhembus, gemericik sungai yang mengalir, gemeretak batu
yang terinjak. Sebuah simfoni alam yang megah dan ajaib.
Udara dingin bertiup sejuk membuai tubuh dan jiwa lelah yang
aku bawa dari kota yang tak pernah tidur. Tarik napas yang dalam, biarkan udara
segar mengalir ke dalam paru-parumu.
Sampai pertengahan jalan, kaki yang terbiasa berjalan di
dataran beraspal atau terbiasa menginjak kopling dan gas, mulai terasa kagok.
Namun kemegahan Gunung Papandayan dan misteri yang menunggu di puncaknya
membuatku memaksa kedua kaki ini untuk terus melangkah, tapi perduli selelah
apapun.
Photo by Benz Wijaya |
Ada sesuatu di puncak setiap gunung yang dengan misterius
memikat hati, tak terkecuali Gunung Papandayan.
Setelah satu setengah jam perjalanan, akhirnya kami sampai
setengah perjalanan menuju puncak. Mengingat ada dua ibu hamil, kami memutuskan
tidak naik lebih jauh lagi. Jadi kami hanya sampai sejauh, mungkin… pinggang
gunung.
Namun jangan kamu remehkan walau hanya sejauh itu. Coba lempar
pandangan ke sekeliling, maka kamu akan menemukan kebesaran alam. Jauh di sisi kanan tempatku berdiri, terdapat hamparan kawah
tempat asap putih belerang mengepul ke atas seolah mencipta awan. Angin menerpa
wajah degan lembut dan sejuk, aku merasa jiwaku terlepas dan ikut terbang
bersamanya. Mataku dimanjakan oleh pemandangan kawah, tebing-tebing besar, dan
langit biru berawan yang indah.
Tak tahu lagi harus berbuat apa dan berkata apa, aku
terduduk dalam diam di atas sebuah batu sambil menikmati semua itu. Berbagai
perasaan berpusar resah di dalam dada, tapi ada dua perasaan yang mendominasi,
Takut dan Kagum.
Photo by Irwan Khill |
Aku takut karena sadar aku hanya sebagian kecil dari alam
yang begitu besar. Dari
ceruk-ceruk gunung yang mengeluarkan asap putih dan tebing-tebing yang besar, alam
terlihat penuh dengan gairah hidup. Alam bisa terus hidup tanpa kita, tapi kita
tidak bisa hidup tanpa alam. Semua kesombongan dan kebanggaan yang selama ini
membesar di diriku, jadi setitik debu lalu tertiup angin. Kepalaku merunduk,
hatiku tunduk.
Aku kagum, sebagai seorang anak kota yang biasanya hanya
menjelajah hutan beton, kalau ternyata Tanah Ibu Pertiwi ini begitu cantik dan
megah. Liburan tak melulu harus pergi keluar negeri. Di sini, di negeri
kelahiran kita, di rumah kita sendiri, masih ada tempat yang bisa membuat kita
terperangah.
Bagiku, perjalanan ini lebih dari sebuah wisata tapi juga
meditasi untuk menambal apa yang terkoyak di dalam
Suatu hari nanti aku akan kembali ke gunung ini dan mendaki
sampai ke puncaknya untuk melihat hamparan bunga edelweiss, juga sejuknya embun
pagi sambil menanti matahari terbit dari puncak Gunung Papandayan.
No comments:
Post a Comment