Thursday, November 19, 2009

selimut kabut



Mungkin aku hanya panik, karena ketika di hadapan selembar kertas kosong, tiba-tiba otakku jadi ikut kosong. Seperti ada kabut tebal yang menyelimuti pikiranku. Aku jadi tidak lagi mengenal diriku sendiri. Siapa aku tanpa kata-kataku. Siapa aku?

Sunday, November 15, 2009

Don’t let society defines who you are. Just let it be a mirror for you to define yourself.

It’s your life. It’s your call.

Wednesday, November 11, 2009

There’s a strong connection, between not believing yourself and not being able to do the task

Sunday, November 8, 2009

this is it


“Life is hard. We need to find meaning, something to believe in. and this is it.”


Sepenggal kalimat itu adalah testimonial dari salah satu penari latar MJ untuk konsernya yang tak akan pernah terwujud. Seminggu sebelum konser yang terakhir dalam karirnya, The King of Pop harus meninggalkan keluarga dan fansnya untuk selamanya. Tapi ia pergi tidak hanya meninggalkan duka, tapi juga cerita tentang kesungguhan yang menjadi harapan.


Siang kemarin, gua dan Faye nonton “This it”. Walau sebetulnya film ini pilihan kedua kami (setelah “9”) tapi setelah selesai nonton, film itu langsung meninggalkan kesan nomor satu di hati gua. Sepanjang film, gua gak bisa tahan untuk gak goyang dan gak ikutan nyanyi. Rasanya tubuh dan mulut gua bereaksi otomatis begitu musik dan suara MJ masuk ke telinga. Sepertinya tubuh gua menterjemahkan setiap nada, lirik dan gerak sebagai bujukan untuk ikut menari. Like a magician hypnotizing his audience, MJ every move is a complete magic.


Hal lain yang berhasil menyentuh gua adalah totalitas sang Raja Pop. Umurnya yang sudah mencapai 50 tahun, dan rehat yang cukup lama semenjak penampilannya yang terakhir, tidak menghalangi pria yang terkenal dengan gaya moonwalk-nya ini, untuk berlatih mati-matian menjelang konsernya. Setiap detil gerak dan musiknya dia perhatikan. Dia bernyanyi dan menari sepenuh hati, seakan latihan bukan latihan melainkan penampilan yang sesungguhnya. “Push the boundaries. It’s Michael is all about”, kira-kira begitu seingat gua, kalimat yang terlontar dari mulut wardrobe director-nya (kalau gak salah jabatannya).


Banyak banget quotes dan adegan menarik di film ini. Rasanya dengan menonton “This is it”, gua seperti berada di tengah-tengah suasana latihannya. Seakan-akan gua berada di London, duduk di bangku samping di hall tempat konser rencananya akan diadakan dan menyaksikan semua. Merasakan semua.


Tragis bila kita mengingat bagaimana sebelum meninggal, MJ sering didera gossip-gosip miring. Bahkan tak jarang ia menjadi bahan lelucon di berbagai acara. Mungkin gossip-gosip itu ada benarnya, mungkin juga tidak. Tapi satu hal yang pasti, ada banyak orang yang lebih buruk dari dia di dunia ini, tapi hanya ada sedikit orang seistimewa dia. Dan ia adalah sang legenda, yang melalui karya-karyanya, akan terus hidup di hati para penggemarnya.


Film ini juga membangkitkan sebuah perenunan tentang betapa singkatnya waktu untuk dihabiskan dengan takut menjadi diri sendiri dan terlalu mendengarkan apa yang orang lain ngomong soal kita. Betapa sering kita menunda apa yang kita mau, hingga akhirnya semua tinggal menjadi ”gua-sebetulnya-bisa-gak-ya?”, yang akan mendengung selamanya di kepala. Jangan takut menjadi sesuatu yang kita yakini, ”That’s why we have practice”, begitu MJ selalu bilang ketika dia atau rekan kerjanya melakukan kesalahan. Hidup sebagai kita hanya sekali. Kalau gak saat ini kapan lagi. This is it!

Wednesday, November 4, 2009

my bad unconsious wish wilted my "daun muda"

Its funny how losing one thing you don’t really fancy, can turn your world upside-down.

The 10 finalists of Daun Muda award have been announced. Guess what. My bad unconscious wish for not entering to the final round has come true (one of my friends told me). To my surprise, I feel something cracked inside. Is it my hope or my pride? I’m not sure. Maybe both. “I don’t really want it anyway.” I keep conveying myself over and over. However, as I skim through the name list, somewhere inside me, foolishly hoping to find my name and my partner’s name among the finalists.


And when I couldn’t find it, I felt even more despair.


Somehow I feel like a big bad loser. I feel like it was entirely my fault. I’m the one who wasn’t doing it right. I belittle the competition. I have disappointed my partner. I feel like a murderer for killing his hope. I’m sure everything would turn out totally different if he, my partner, had not picked me as a teammate. I’m sorry.


People say losing is a common thing. Somewhere along the road, you will have to meet with it face to face. Like it or not. But still I can’t bare the guilt of losing. Losing makes me feel like an outsider.


I will get myself back on the run. I know I will. But first thing first, I'll have to make sure to where my passion belongs. So i can hush my bad unconscious wish away.


Once in awhile we make a mistake that we won't laugh at it.

Tuesday, November 3, 2009

mencoba gak takut, malah tambah takut

Dulu sekali, seorang teman pernah bilang sama gua, "Jangan takut sama takut, karena ia ada kita jadi lebih hati-hati". Tanpa sadar, kata-kata itu masuk ke dalam diri gua, bahkan masuk terlalu dalam hingga membentuk karakter gua menjadi "terlalu hati-hati". So, that's made me more as a keeper than a doer.

Segala macam perasaan gua kayak marah, ingin, dan gak ingin, jadi sering terpendam. Parahnya gua selalu berhasil menyakinkan diri kalau memendam perasaan bukan hal yang salah, bahkan gua merasa bukan memendam, tapi cuma sekedar lebih berhati-hati.

Imbasnya, gua jadi susah jujur, dan kacaunya lagi, gua sudah sampai ke tahap dimana gua gak tahu kalau gua lagi membohongi diri sendiri.

Setelah sekian lama gua mempraktekkan kebiasaan ini, sadar-gak sadar, gua merasa susah untuk bisa happy. Bersama dengan berlalunya waktu, kebiasaan memendam perasaan memupuki sisi gelap di diri gua, dan menjadikannya besar dan mantap. Tanpa sadar, hampir seluruh hidup gua nyaris diambil alih oleh sisi gelap ini (kenapa gua berasa lagi nulis fiktif untuk cerita super hero?).

Tapi hidup itu memang tukang jitak nomor satu.

Dalam beberapa bulan belakangan, lewat serangkain kejadian yang sukses membuat gua jungkir balik, hidup menjitak kepala gua, keras. TAK! Gua dihadapi dengan kantor baru yang isinya orang-orang penuh ambisi dan passion yang menggebu-gebu. Gua suka terkesima bagaima cepatnya mereka menentukan sesuatu, dan bukan dengan asal-asalan. Tapi penuh perhitungan. Mereka gak punya waktu untuk bersikap terlalu berhati-hati. Cukup hati-hati saja.

Suatu hari di kantor itu, tiba-tiba terngiang lagi nasihat teman gua. Maybe I was being too literal. Mungkin gua terlalu bulat menelan kata-kata temen gua itu. Mungkin maksudnya, ketika kita dihadapi dengan sebuah pilihan baru, pasti takut menjadi salah satu perasaan yang muncul duluan. Tapi yang seharusnya lebih kita dengarkan adalah perasaan mau atau gak mau. Karena bila kita benar-benar menginginkan sesuatu, pasti akan ada jalan untuk bisa sampai ke sana.

Kadang rasa takut itu bisa menjadi indikator keinginan kita. Kalau takutnya lebih besar dari maunya, mungkin sebenarnya, kita gak benar-benar mau.

Satu hal lain yang gua sadari adalah, semakin gua mencoba untuk gak takut sama rasa takut, gua malah jadi semakin takut.

Jadi jalan yang terbaik buat gua adalah mencoba untuk lebih rasional dan jujur sama diri sendiri, mau atau gak mau. Dan menjadikan takut hanya sebagai sentilan di kala gua lagi malas.

tentang kegigihan, fokus, nyeri dan memar habis main basket

Hidup itu seperti olah raga. Sebut saja basket. olah raga yang baru aja gua lakonin tadi malam. Kadang kita menang, kadang kita kalah. Tapi bukan hasilnya yang mau gua bagi lewat tulisan ini, melainkan kegigihan, fokus, nyeri dan memarnya.


Udah cukup lama gua absen dari dunia perbasketan (gaya looh!). Tapi tadi malam, dengan perut buncit dan otot-otot yang sudah agak kendur, gua main basket, seolah-olah gua main basket setiap hari. Gas pooool! Lari sana lari sini, lompat sana lompat sini. Seandainya punya tangan mungkin paru-paru gua udah nampar gua bolak balik karena mengeksploitasi gak tahu batas. Tapi entah kenapa, tetep aja tuh gua paksain walau kadang gua harus berhenti untuk mengejar nafas. Mungkin karena gua tahu, menyerah berarti kalah. Jadi gua akan paksain sampai sedikit lewat garis batas kemampuan gua. Lagian buat apa kita punya batas kalau gak untuk dilanggar :D. Dari momen ini gua belajar soal kegigihan.


Akibatnya, muncul masalah ke dua, yaitu… fokus melayang. Kepala terasa berat, sedikit muter, karena asupan oksigen di kepala kurang. Alhasil, lemparan gua gak masuk-masuk, lihat temen kayak lawan, lawan kayak temen (salah oper deh). Karena ke-eror-an gua, lawan jadi dapat kesempatan untuk nambah skor dan teman-teman satu tim gua hanya bisa menunduk kecewa, mau negur gua gak enak, tapi kayaknya ketololan gua bakal membuahkan kekalahan. Lihat muka-muka kecewa itu, perasaan bersalah tumbuh subur di dada gua (Shit. Makin sesak nih!), dan gua langsung bertekad, kalau gua harus bisa lebih konsentrasi, demi teman-teman satu tim (sedaaaap!). Langsung aja gua bentak otak gua untuk berkerja lebih keras walau dengan honor oksigen seadanya. Untung otak gua cukup pengertian, jadi gua bisa mengurangi erorisme gua. Dari momen ini gua belajar, mikirin orang bisa membantu kita untuk lebih fokus.


Nah! Pas gua lagi istirahat, dengan tubuh yang udah payah dan basah oleh keringat, gua duduk terkulai seperti daun layu. Terus gua minum air sebanyak banyaknya dengan rakus, seolah-olah gua bisa minum sampai mengeringkan sebuah sungai. Setelah beberapa saat, capek pelan-pelan pergi, dan datanglah… nyeri otot atau keram. Waktu gua mau berdiri, otot paha kanan gua kayak dicubit. Ngiluuuu… terus punggung kaki kanan gua ikutan sakit ditambah jari-jari kaki yang ketusuk kuku kaki yang lupa digunting. Damn! Lengkap sudah nyeri di badan gua. Habis gelap datang lah badai. Tiba-tiba sebuah pencerahan muncul, sakit ini pasti karena seluruh otot kendur di badan gua lagi belajar untuk menjadi kencang. Kalau otot gua sukses jadi kencang, gua juga kan yang kelihatan macho (ahahahahueek…). Dari momen ini gua belajar, kalau gak sakit, ya gak belajar.


Ketiga poin di atas menyisakan beberapa oleh-oleh untuk di bawa pulang dan dinikmati di rumah. Memar. Sumpah, badan gua serasa habis diinjak-injak 100 orang. Yang buat gua menderita, memarnya seolah-olah ada di dalam kulit. Eh, ada satu yang di luar. Di punggung tangan kanan ada memar merah seperti tanda lahir sebesar kacang kedelai. Anehnya, gua mulai menikmati memar itu dan menganggapnya seperti pengingat; kalau tadi, gua gak nyerah dan berjuang sampe habis. Dari momen ini gua belajar, kalau kadang kita butuh sesuatu untuk mengingatkan, sudah sampai sejauh mana kita berusaha.


Selesai sudah pengalaman yang gua dapat dari setelah sekian lama gak main basket. Seperti udah gua bilang di atas, hidup itu seperti olah raga. tepatnya, seperti udah lama gak olah raga terus dipaksa abis-abisan. No pain no gain.


Tapi bagaimana pun olah raga itu bikin addict. Seperti hidup.