Wednesday, December 1, 2010

Manusia tidak pernah sendiri, ia hanya...

Manusia tidak pernah sendiri. Begitulah pemikiran yang aku simpulkan selama berada di kafe ini. Memang, banyak pengunjung kafe ini yang duduk sendiri dan tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Tapi apa itu berarti mereka sendiri? Siapa tahu mereka punya sesuatu untuk menemani.


Seorang perempuan bertubuh gempal berkemeja merah muda dan bercelana panjang yang duduk di sudut kafe ini, adalah salah satu contohnya. Ia memang duduk sendiri, tapi sedari tadi tangannya sibuk menekan BB atau memotong kue avocado chocolate-nya, dan sesekali mengaduk kopi di gelasnya. Walau ia tampak sedang sendiri, sebenarnya ia punya tiga teman. BB, kue, dan kopinya.


Seorang lain lagi, pria asing yang duduk tak jauh dariku, sedang duduk sendiri. tak ada kopi atau kue di mejanya. Pria bule ini tampak sedang menunggu seseorang. Gerak geriknya resah, sebentar-sebentar ia mengangkat kepalanya, melihat sekeliling, matanya mencari-cari seseorang yang dikenalnya. Lalu ia tertunduk mengecek BB-nya. tak lama kemudian kembali celingak-celinguk. Pria ini tampaknya sedang menanti seseorang yang tak juga datang, atau mungkin tak akan pernah datang. Tapi dia tidak sendiri, ia punya rasa rindu atau rasa kesal karena yang ditunggu tidak juga datang. Apapun itu, setidaknya ia punya sesuatu untuk menemani.


Satu lagi adalah seorang cewek, seorang pembantu rumah tangga yang dititipkan sang majikan di kafe ini hanya dengan segelas kopi untuk membunuh waktu. Ia tampak sungguh bosan. Sedari tadi hanya bengong memperhatikan orang datang dan pergi dari kafe ini. memperhatikan para barista bercanda dan tertawa, sambil berkhayal, mungkin enak menjadi seperti mereka. lebih enak daripada jadi pembantu rumah tangga yang ditinggal sendiri oleh majikannya. Melihat cowok-cowok pengunjung kafe yang ganteng dan rapi, mungkin ia juga berkhayal bagaimana jadinya kalau salah satu dari mereka menjadi suaminya. Akan ia bawa pulang ke kampung untuk membuat iri semua gadis kampung atau yang tidak lagi gadis. Bisa juga untuk mengantarkan ayahnya pergi ke sawah dengan mobil mewah mereka, sehingga ayah tidak kepanasan lagi atau capek jalan jauh.


Lalu berkelibatan perempuan-perempuan pengunjung kafe itu, yang semua cantik,wangi dan tampak pintar. Maka beralih lah imajinasi pembantu rumah tangga itu kepada mereka. Ia bayangkan menjadi wanita dengan seragam kantor yang membuatnya tampak penting. Mungkin ia juga akan punya pembantu yang diajaknya ke mall dan ditinggal sendiri di sebuah kafe metropolitan. Begitu juga wanita dengan jeans dan tattoo di punggung yang membuatnya begitu modern, seorang wanita dengan rok mini dan backless t-shirt yang terlihat begitu seksi dan mempesona. Semua wanita-wanita itu ia perankan dengan imajinasinya. Pembantu rumah tangga ini tidak sendiri, ia punya imajinasi untuk menemani.


Ketiga orang itu tidak sendiri. Imajinasi mereka menemani, gadget mereka selalu setia, rasa rindu juga ikut mengisi kosong. Hanya itu yang mereka punya sebagai teman. Manusia memang tidak pernah sendiri, ia hanya kesepian.

Thursday, November 11, 2010

Matahari di Bunga Rampai

Restoran itu dulunya rumah Belanda. Jejak penjajahan yang tak mempan digerogot waktu. Bunga Rampai namanya. dari depan fisiknya begitu kokoh. Empat tiang penopang atap beranda berdiri pongah seperti kolonialisme itu sendiri. Gentingnya coklat terbuat dari tanah liat. Sedangkan dindingnya seputih warna susu. Di dalam restoran ini, cerita tentang seorang wanita, yang bila masih hidup, sudah setua rumah ini, sedang dibahas oleh wanita-wanita modern jaman sekarang. Tentu bersama penulisnya, Remy Sylado.

“Namaku Matahari”, adalah novel yang menjadi sorotan pada Eve Book Club bulan ini. Berkisah tentang agen ganda perempuan bernama Matahari yang menyamar menjadi penari telanjang sekaligus pelacur profesional. Buku ini bukan seperti cerita agen rahasia biasa. Ada pesan di balik cerita ini, tentang perlawanan terhadap kemunafikan, tentang kekuatan perempuan terhadap penindasan, dan lebih dalam lagi tentang kebangsaan yang tidak lebih penting daripada kemanusiaan.

Hari Kamis sore, 11 november 2010, tepat jam empat, para pembaca setia Eve Magazine sekaligus “kutu buku” eve book club memenuhi ruangan tengah restoran Bunga Rampai. Di depan mereka duduk Remy Sylado dengan dandanan khasnya yang nyentrik. Potongan rambut ala James Brown, hanya saja berwarna putih, kemeja elvis warna putih, celana cut bray putih dan sepatu kulit putih. Ia memakai dua jam tangan putih, masing-masing di setiap tangan dan empat cincin batu putih sebesar jempol. Semua yang menempel pada tubuhnya, serba putih.

Sesi dibuka dengan pembahasan tentang asal mula novel ini dibuat. Menurut Remy Sylado penelitian dasar untuk buku ini hanya makan waktu tiga bulan. Ia pergi ke berbagai daerah dan Negara di dunia, seperti, Madrid dan Roma. Ia mengunjungi tempat di mana Matahari pernah singgah. Seperti sebuah hotel di turki yang sampai sekarang masih mempromosikan Matahari pernah tinggal di sana sebagai salah satu daya tarik.

Melalui tokoh Matahari, Remy Sylado ingin bicara tentang pemikiran modern, bahwa wanita dan pria adalah setara. Salah satu celetukannya yang mengundang tawa adalah, “kalau dalam rumah tangga wanita adalah mitra pria, kenapa wanita harus ada di belakang ketika seharusnya sejajar berdampingan.”

Selain itu, Matahari juga bicara pentingnya melihat seseorang tidak hanya dari apa profesi atau dari kebangsaannya, tapi lebih karena ia manusia yang patut dihargai. Itu terlihat dari kata-katanya pada novel,

Aku pelacur tulen
Tapi aku penari sejati
Dan aku Belanda berdarah Indonesia

Pada sesi tanya jawab, tak disangka, sambutan dari peserta yang kebanyakan ibu rumah tangga, benar-benar kritis. Mulai dari yang merasa terwakili oleh pemikiran modern Matahari. Sampai yang terinspirasi oleh keberanian Matahari yang melawan penindasan lelaki.

Bahkan ada seorang peserta yang merasa bangga kepada Matahari, bahwa di jaman yang dulu sangat patriarki, ada seorang wanita yang begitu berani melawan arus. Di jaman semodern sekarang pun, tidak banyak wanita yang berani melakukan hal itu.

Tidak hanya berbagi soal novelnya, Remy Sylado juga menceritakan masa kecil yang ikut membentuk dirinya menjadi seperti sekarang. Remy kecil sudah begitu dekat dengan buku ketika sebagian besar masa kecilnya dihabiskan dengan membaca beribu buku di perpustakaan seminari dekat tempat tinggalnya. Melalui bimbingan sang Romo pun ia belajar bahasa Yunani dan Ibrani.

Para wanita-wanita eve book club ini begitu terpukau mendengar Remy Sylado bicara, terlihat dari air muka mereka yang bercahaya.

Satu fakta menarik tentang Remy Sylado adalah namanya ini bukan nama asli. Nama samaran ini diambilnya dari nada do, re, mi, si, la, do salah satu lagu milik band legendaris asal Inggris, The beatles.

Saya merasa beruntung bisa hadir sore itu di antara ibu-ibu eve book club, mendengarkan Remy Sylado berbagi tentang novelnya dan sedikit tentang kehidupannya. Eve book club kali ini berlangsung ringan tapi tetap berisi.

Salut untuk Eve Magazine yang menyelenggarakan event ini rutin setiap bulan. Acara dua jam ini juga menepiskan prasangka saya tentang ibu rumah tangga yang hanya tahu mengurus keluarga dan bergosip. Ternyata tidak. Ternyata mereka pintar, kritis, dan bergairah.

Mungkin, kalau Matahari bisa berada di sini sekarang, mungkin ia akan bangga kepada wanita-wanita eve ini, seperti mereka bangga kepadanya.

Monday, November 1, 2010

love is in between

“Ken, kan udah sejuta kali gua bilang, jangan percaya sama yang namanya laki-laki! Mereka semua ibarat air yang tak beriak.” Ujar Tata lembut mengayomi Niken, sahabatnya yang sedang menangis.

“Walau laki-laki kelihatannya bisa dipercaya, tapi mereka akan menenggelamkan elo ken. Jadi perempuan jangan tolol! Jangan bisanya nerimo. Kalau diinjak lelaki, tendang burungnya. Biar hancur lebur prasasti nafsu binatang pria yang besar-kecilnya selalu menjadi lebih penting daripada ukuran otak mereka.”

Niken masih terus menangis.

“Nangisin apa sih? Laki-laki gak pantes dapat air mata kita. Air mata perempuan itu murni dari hati, suci. Ngerti gak sih loe? Mereka cuma pantas dapat yang murahan. Jangan pernah kasih air mata.”

“tapi Ray beda Ta. Gua percaya sama dia” Sambil terisak Niken menyakinkan Tata.

“Kalau dia emang bisa dipercaya, kenapa dia tidur sama “pelacur” itu? serbu Tata gregetan.

“Ray Cuma khilaf Ta.”

“Niken, orang khilaf tuh sekali. Tapi kalau berkali-kali sama orang yang beda-beda, itu namanya sengaja.”

“Dia bilang cewek itu ngejebak dia. Ray dibikin mabok Ta.”

“Terus loe percaya begitu aja sama Ray? terus semua wanita itu ngejebak Ray untuk tidur sama mereka. Emang Ray siapa ken? Ganteng aja pas-pasan. Kenapa sih elo selalu telan bulat-bulat semua yang keluar dari mulut busuknya?” ledak Tata heran.

“Dia bilang, dia sayang banget sama aku Ta… dan…”

“So what?!” Tata memotong gak tak percaya.

“...dan gua juga sayang banget sama dia.” Niken melanjutkan.

“Loe tuh emang bego Ken! Bego karena terlalu gampang percaya cinta.”

Dan mereka berdua pun terdiam. Ada keheningan ganjil yang mengambang di antara mereka.

“kalau gitu buat apa loe duduk di depan gua nangisin Ray?” Tata melanjutkan kini dengan nada yang sedikit mengalah.

Niken hanya menunduk memainkan es di dalam gelasnya seakan-akan mencari jawaban di sana.

“Ken, jatuh cinta itu boleh, tapi please pakai otak.”

“Itu kenapa Danny ninggalin elo Ta.” Jawab Niken masih menunduk.

“hah? Kok loe bawa-bawa Danny? Gak ada hubungannya.” Sergah tata bingung dan marah.

“Ada Ta. Ada banget hubungannya.” Jawab Niken.

“Apa? Huh? coba kasih tahu gua!”

“Ta loe selalu bilang kalau Danny ninggalin elo karena dia nyeleweng sama perempuan yang loe panggil pelacur itu. Tapi kenyataanya gak sesimpel itu Ta.”

“maksud loe? Gak ngerti gua?”

“Loe gak akan bisa ngerti Ta. Sampai suatu saat loe bisa mencintai seseorang gak cuma dengan otak tapi juga hati loe.”

Tata tampak semakin marah dan bingung atas penghakiman Niken, “apasih ken maksud loe? Ngomong gak usah muter-muter.”

“Ta, Danny jatuh cinta sama perempuan lain karena perempuan itu bisa mencintai dia gak cuma pakai logika. Perempuan itu bisa ngerti Danny apa adanya. Perempuan itu bisa menyemangati Danny dengan lembut, bukan dengan bentak-bentak seperti loe Ta. Masalah loe Cuma satu, loe selalu mencoba merasionalkan cinta. Gak bisa Ta. Cinta bukan matematika, dia gak bisa dihitung dan gak ada rumusnya.”

“PRANG!” Tata membanting gelas ke lantai.

“eh jangan sok tahu ya.” Lalu tata berdiri menyambar tasnya dan pergi keluar dari apartment Niken.

Sejak malam itu persahabatan mereka tak lagi sehangat dulu, walau dalam hati, mereka sadar ucapan masing-masing ada benarnya.

Friday, October 22, 2010

Mari berjoget

Malam seakan berdendang ketika earphone-ku mulai bernyanyi. Irama dansa. Ranting-ranting pohon pun ikut berjoget bersama angin. "Kiri-kanan. Mengangguk-menggeleng."

Ayo hentakan tanganmu, bebaskan jiwamu! Ikuti ketukannya.

Jangan pedulikan orang-orang mengira kita gila. Tirulah sebuah pelastik hitam yang tak bisa berhenti berputar dan melompat riang di tengah jalan. Ia begitu bahagia, pantas hidupnya sampai ratusan tahun.

Lampu jalanan pun ikut bagian, berkedap-kedip bagai lampu disco. "Remang-terang. Remang-terang." Mendramatisir suasana malam hura-hura ini.

Jalanan panjang tak mau kalah, ia goyangkan pinggulnya dengan genit, kelok ke kanan, kelok ke kiri. Menggoda diriku agar mau membelai tubuhnya sampai ke ujung.

Lihatlah orang-orang yang berlalu lalang di pinggir jalan, lelah tanpa ekspresi. Mungkin keceriaan mereka telah lebam dihajar kerasnya hidup. Ingin rasanya aku pinjamkan earphone agar mereka bisa ikut bergoyang. Tapi sayang, aku belum siap kehilangan irama. Aku juga sedang diliput lara. Tapi aku sedang tidak ingin bicara. Lebih baik aku berjoget. Biar pinggulku yang bicara, dan hatiku akan tertawa.


Sunday, October 10, 2010

The joy of seeing the bright side

Pernahkah kamu berpikir untuk mencari sisi terang dari setiap kesialan yang menimpa? Buat apa?

Semua orang pasti pernah bangun di pagi yang begitu cerah dan hangat, setelah tidur nyenyak dan mimpi indah semalaman. Bahkan ketika masih di kasur sudah terasa semangat menghadapi hari, yang meletup-letup seperti jagung dalam panggangan. Dalam hati kecil kita pun merapal janji dan harapan, “Hari ini tidak akan ada yang bisa merusak moodku”.

Begitulah aku memulai pagi hari ini.

Namun, tak lama kemudian, sebuah sms meluncur masuk. Sebuah kabar busuk isinya. Jam tangan yang aku beli sebulan lalu, belum juga bisa dikirim. Padahal permintaanku sangat sederhana, yaitu menukar warna coklat menjadi hitam. Tapi sudah lebih dari lima kali aku dibohongi.

Membaca sms itu aku seperti ditampar. Darah langsung merangkak naik sampai ke ubun-ubun. Isi perut terombang-ambing seperti perahu dalam badai. Dalam seketika, pagi yang cerah menjadi pagi berdarah.

Hanya saja, aku tidak akan membiarkan sebuah kabar buruk menghancurkan hari yang indah ini. Jadi, aku tetap berusaha menimang-nimang mood agar jangan sampai “menangis”.

Begitu aku sudah berada di atas motor menuju kantor, sinar matahari yang menyengat kejam bagai kesetanan, membuat aku terpanggang. Ditambah sebuah motor yang menyalip memaksa aku untuk rem mendadak. “Kampret!”, makiku, walau hanya diri sendiri yang mendengar.

Perlahan aku mengambil nafas dalam-dalam untuk kembali meninabobokan murka yang sudah setengah bangun.

Baru sedikit merasa tenang, jalan di depan disesaki beribu mobil. Ada kecelakaan yang melahirkan macet bukan kepalang. Spontan aku melirik jam tangan, “Akkh telaat!”, hati memekik stress.

Setelah itu, berbagai masalah lain hadir di sepanjang jalan, seperti, mata kelilipan debu, kehujanan, bensin tiris, kebelet buang air kecil, dan mendapat teror telepon dari kantor karena terlambat.

Begitu akhirnya aku sampai kantor, seseorang langsung bertanya kenapa mukaku kusut. Langsung semua kesialan yang aku alami tumpah ruah dari mulut, seperti waduk yang jebol.

Lelah, kesal, tegang, punggung pegal, mata sakit, dan pakaian lembab, telah membunuh semangat pagi yang tadi begitu panas membara. Setelah itu sisa hari aku habiskan dengan mood sejelek aye-aye, sejenis tikus yang konon katanya nomor 2 dalam daftar 10 binatang paling jelek di dunia. (Bagaimana rupanya? Yaa… yang pasti jelek banget.)

Hari ini hari yang indah dilanjuti dengan kekesalan sepanjang hari.

Aku pun berpikir, apa karena memang sedang sial, atau aku saja yang hanya melihat semua dari sisi negatif? Kenapa tidak berpikir, "Masih untung sampai kantor dengan selamat".

Padahal aku pernah mengalami hari yang berkali-kali lipat lebih naas dari hari ini, tapi moodku tidak sejelek hari ini. Yaitu ketika aku nyaris mati dikejar polisi.

Malam itu, kira-kira hampir dua tahun yang lalu, hujan baru saja berkunjung. Jejaknya masih tertinggal di pinggir-pinggir jalan dalam bentuk pulau-pulau air. Udara dingin menusuk-nusuk kulitku yang sedang duduk tanpa jaket di atas motor dibonceng temanku, seorang cowok yang bermimpi menjadi pembalap motor.

Malam sudah terlalu larut bagi bemo untuk berkeliaran, sehingga aku terpaksa menumpang sampai ke tempat yang masih ramai bus umum.

Ketika motor sedang santai melaju ke arah grogol lewat jalan Borobudur-Jelambar, tiba-tiba dari kanan seorang polisi bersepeda motor mengayunkan tangan ke arah kami. Pastinya bukan lambaian selamat jalan, tapi ia meminta kami untuk menepi. Temanku tidak memasang plat nomor belakang.

Apa yang temanku lakukan malah sebaliknya. Insting pembalapnya langsung terbakar seperti kompor yang diputar tuasnya. Tanpa ba bi bu, ia langsung tancap gas, kabur.
Spontan aku meremas keras besi pegangan di belakang. Motor melesat bak anak panah yang terlontar dari busur, lalu mengambil tikungan dan berputar arah.

Tidak perlu pintar menebak, si polisi sudah pasti mengejar. Melalui gang-gang sempit dengan selokannya yang menganga lebar seperti mulut buaya lapar, dan polisi-tidur setinggi gunung, aku dibonceng temanku ngebut seolah jalanan di depan kita lebar dan mulus seperti sirkuit sepang.

Berkali-kali perempatan dilaluinya tanpa tedeng aling-aling. Berkali-kali juga aku membayangkan sebuah truk besar melindas kami.

“Gua pasti mati nih. haduh, tapi gua gak mau mati!” hatiku bergejolak cemas. Temanku melepas helm dan menyerahkan kepadaku. Andai muat, sudah kudobel helmku dengan helm temanku itu.

Beberapa kali aku menengok ke belakang, dan si polisi masih saja membuntuti seperti seekor Macan mengejar dua ekor kelinci. Tidak begitu dekat, tapi cukup untuk menerkam begitu kita lengah.

Aku sudah tidak bisa melakukan apa-apa selain merapal doa, semoga, entah bagaimana, aku bisa selamat. Karena temanku semakin menggila, diburu rasa takut dan dipacu adrenalin pembalap wannabe.

Hingga akhirnya doaku terkabul dalam bentuk jalan buntu dan basah. “Aduh. Jatoh nih”, tiba-tiba temanku berkata. Dan… BRUG! Jatuh lah kita berdua ke atas aspal basah. Motor menghantam tiang listrik, temanku menghantam motor. Sedangkan aku, entah oleh keajaiban apa, hanya jatuh di pantat dan merosot di atas aspal basah seperti di perosotan. Tanpa luka sedikit pun. Satu-satunya memar hanya ketika nanti tanganku dipukul tongkat hitam pak polisi.

Setelah itu kejadian berlangsung cepat, temanku dipukuli pak polisi, kami berulang-ulang diancam ancaman beraroma rasis, hingga akhirnya orang tua temanku datang menyelesaikan semuanya dan kami pun bisa pulang ke rumah masing-masing membawa cerita dan trauma.

Sulit digambarkan kengerian malam itu, ketika maksud menumpang, menjadi momen mengancam nyawa.

Tapi aku mencoba melihat sisi terang dari drama tikus dan kucing malam itu; untung aku tidak terjatuh ke dalam selokan di gang-gang sempit Jelambar, untung tidak ada orang yang tertabrak, untuk tak ada mobil yang menabrak kami, untung ketemu jalan buntu yang aspalnya basah (kalau kering mungkin kita babak belur), untung kami tidak dihakimi massa, untung aku masih hidup, untung aku mengalami hal itu jadi sekarang punya bahan untuk tulisan.

Dengan menerima apa yang terjadi, perasaan menjadi lebih enteng. Hidup itu keras bung, jangan kita bikin jadi tambah keras.

Cukup momen saat itu saja yang hancur, tapi di sisa hari sampai sekarang, kejadian malam mengancam nyawa itu, malah menjadi sebuah cerita lucu yang tidak terlupakan. Bahkan diam-diam aku beterimakasih telah mengalaminya.

Aku rasa memang itulah, the joy of seeing the bright side, membuat hidup yang keras ini, menjadi sedikit lebih ringan.

Friday, September 3, 2010

Playing hero with zero intention

Kadang gua suka berpikir, apa jadinya hidup tanpa musik. Pasti penuh depresi dan kebosanan total. Gua memang pecinta musik, walau gak bisa main musik, tapi musik seperti sahabat yang gak perlu dikuasai namun selalu siap untuk membuat elo merasa lebih baik. Setiap kali putus asa, kecewa, bahagia, atau gagal segagalnya, melody is my remedy. Hanya saja, dalam cinta selalu saja ada duri dalam daging. Dan duri itu bagi gua adalah, musik metal.

Semenjak gua bekerja di kantor ini gak pernah dalam satu haripun, musik metal absent mengguncang kejiwaan gua. Rasanya gua bisa jadi gila setiap saat. Heran, apa sih enaknya musik yang begitu offensive dan brutal. Isinya cuma maki-maki kadang diiringi dengan melody yang flat. Rasanya seperti mendengarkan omelan orang tua atau teriakan orang demo. Bikin migran.

Tapi tiga hari yang lalu, gua melakukan sebuah kompromi besar. Long story short, beberapa minggu belakangan ini karena dibebani kerjaan yang berat, computer tempat lagu metal berkoar-koar jadi bisu. Langkah melegahkan itu karena memutar playlist memberatkan gerak computer. Jadi lemot lah bahasa gampangnya.

Keadaan ini merupakan kemenangan kaum minoritas (secara gua Cuma seorang) melawan kaum FundaMetalist! Semangat gua langsung membumbung ringan dan tinggi seperti asap dari segelas kopi hangat. Mood gua berbunga warna-warni karena gua bisa memutar lagu dari playlist gua. Tapi sayangnya hal itu berbanding terbalik dengan para FundaMetalist. mood hancur berantakan.

“Kehilangan mood = semangat kerja kurang = gampang ngantuk = tidak produktif = kerja jadi lebih lambat = pulang lebih malam.”

Kira-kira begitu runutan imbas dari sebuah mood yang rusak.

So, in order to save the day, gua berpikir untuk memutar lagu-lagu metal via komputer gua. Jadi dengan lagak seorang yang besar hati, gua minta file dan beberapa menit kemudian, berkumandanglah makian-makian itu.

Ketika lagu pertama sedang diputar, dalam hati gua berpikir, “ akh selama hati sedang bahagia, keinjek tokai pun bisa buat kita tertawa”. Optimis mentok atau naif pol? Di lagu ke empat gua tahu jawabannya.

Seperti ada vacuum cleaner yang penyedot kebahagiaan, di lagu keempat, tiba-tiba gua merasa depresi. sedikit demi sedikit tapi terasa penat di kepala. Rasanya pengen banting computer, injek-injek, siram bensin, bakar, just so I can have my solitude back.

Akhirnya di lagu ke enam, gua nyerah. Sumpah jantung gua rasanya mau meledak dan kepala gua rasanya sumpek. Dalam beberapa klik langsung gua kembali ke lagu-lagu yang lebih tenang dan groovy.

Gua sadar, ternyata kerelaan memutar lagi metal bukan sekedar untuk menghibur teman-teman gua, tapi lebih karena supaya gua bisa pulang lebih cepat.

Pelajaran dari kejadian ini adalah, “kadang kita memang harus berkorban untuk kebaikan orang lain, tapi, entah bagaimana, kita harus bisa senang menjalankannya. Kalau gak bisa, itu namanya, sok jadi pahlawan.”

Darn! I’m so done with metal music… and playing hero!

Saturday, August 14, 2010

mencari jalan

Seekor serangga kecil terjebak di kamarku.


Berterbangan ia ke sana ke mari. Sekali menabrak lemari, sekali menabrak pintu, sekali jatuh ke lantai, dan sekali hinggap di kakiku.


Sayapnya putih dan bentuknya pipih. Ia seperti peri kecil bandel yang begitu penasaran ada apa di luar dunianya, hingga ia nekat pergi hingga lupa diri dan tersesat.


“Akhh… serangga itu seperti kebanyakan dari kita, sedang mencari jalan untuk bisa bebas dan terbang lepas”, dalam hati aku berujar. “Habis ini akan kubukakan pintu untuknya agar ia bisa miliki kembali kebebasannya. Betapa beruntungnya serangga itu”, syukurku, “ia tersesat di kamarku”.

Friday, August 6, 2010

Kisah hujan

aku jatuh cinta pada hujan
sejak pertama kali bulir-bulir airnya memelukku
semenjak itu pori-poriku mencandu sejuknya
Merindu harum tanahnya

Siang itu terik, tapi hujan runtuh dari langit
Orang-orang panik berhamburan
Begitu juga kamu yang langsung mengernyit
Lalu lari seperti dikejar setan

Sampai di tempat teduh kamu mengaduh
Kesal melihatku malah termangu
Menengadah ke langit yang semakin gaduh
Menyambut tetes demi tetes dengan syahdu

Kamu pun mulai memanggil sambil terus mengigil
Kata-katamu berselancar di atas angin yang bertiup resah
Dari bibir mungil yang selalu membuatku salah tingkah

Aku tersenyum melihat kamu khawatir
Berusaha merekam setiap detik raut wajahmu
Karena aku tahu kamu tak akan selamanya hadir
Seperti hujan

Waktu berlalu seperti kereta yang melaju
Tapi aku seperti menanti di stasiun yang sama
Hujan turun, walau siang terik
Kata orang, hujan di kala terik berarti hujan orang mati

Aku berdiri termangu menatap langit yang semakin gaduh
Menikmati setiap tetes dengan syahdu
karena pori-poriku mencandu sejuknya
Merindu harum tanahnya

walau tak ada lagi kamu yang memanggil

Monday, June 28, 2010

Don’t be someone that spends the rest of life
regretting what hasn’t and what hadn’t.

Sunday, June 20, 2010

suara bising yang gak bikin pusing

Tiada yang lebih menyenangkan daripada menikmati hari libur dengan santai bersama keluarga, walau tidur harus terganggu.

Hari minggu dua minggu yang lalu rasanya adalah hari paling santai dalam beberapa bulan ini. Walau di kepala berbagai masalah berdesingan seperti rentetan peluru dan pecahan martir, tapi gua merasa berada di dalam ruang dengan kaca anti peluru. It gives me some sort of feeling that, somehow everything is gonna be alright. Begitulah efek sebuah hari yang begitu hangat.

Tadi pagi gongongan Leo menampar-nampar kesadaran sampai gua terpaksa sadar dari tidur, ditambah suara obrolan orang-orang rumah yang menguap dari bawah lalu menyelinap masuk ke kamar lewat sela-sela jendela dan mendengung di telinga gua. (Selalu seperti ini setiap libur.)

Walau tidur nyenyak jadi terganggu, gua gak kepikiran untuk turun ke bawah sambil marah menyuruh mereka untuk diam. Mungkin gua emang sedikit masokis, karena gua justru menikmati kebisingan itu.

Suara-suara itu seperti punya daya magis untuk menarik gua bangun dari kasur yang nyaman, walau masih super ngantuk, untuk ke bawah dan ikut sumbang suara dalam obrolan renyah minggu pagi.

Bobot pembicaraannya juga gak pernah terlalu penting, seperti membahas ketololan Leo atau hal-hal sepele lain, tapi suara-suara itu seolah mengingatkan gua kalau masih ada orang-orang yang sedang menunggu gua bangun dan akan menerima gua apa adanya walau tampang masih jelek beler dan rambut masih awut-wutan.

Apa yang masih bisa gua berikan untuk keluarga, akan gua berikan sepenuh hati. Itu termasuk jam tidur gua yang cuma bisa sedikit lebih panjang waktu libur.

Wednesday, June 2, 2010

Kepada malam



Kepada malam yang begitu angkuh
Beri aku gemintangmu
Atau sepotong bulan yang tersenyum
Buat aku yakin, dalam gelap masih ada harapan

Monday, May 17, 2010

Bandung, buat pemula

Sore turun dengan anggun dalam gaun jingga keemasan yang dirajutnya dari benang-benang spectrum cahaya. Selendangnya yang panjang dan megah menyelimuti seluruh kota menjadikan Bandung tampak sephia. Belum pernah saya melihat sore seindah sekaligus seasing ini.

Ini adalah ketiga kalinya dalam seminggu saya dan atasan pergi ke Bandung. Tapi setiap kali, saya masih saja merasa penasaran dengan kota ini. Ada sesuatu yang asing tapi menarik dari Bandung.

Jam lima sore saya tiba di bandung. Jalanan sibuk dan padat dengan mobil-mobil dan orang-orang pulang kantor. Di sana sini terdengar orang-orang berbicara dengan logat khas Sunda yang jenaka (memberi tekanan di setiap akhir kata). Bagi saya Bandung adalah kota yang menarik. Berbeda dengan anggapan atasan saya, baginya Bandung hanyalah kota kecil yang sudah sesumpek Jakarta.

Kalau dilihat dari beberapa segi, Bandung memang mirip Jakarta. Salah satunya adalah macet. Suasana lalu lintas yang padat dan mobil-mobil tersendat yang menjadi “makanan” kita sehari-hari di Jakarta, bisa kita cicipi di beberapa tempat di Bandung. Walau tidak serumit Jakarta. Kedua adalah banyaknya anak-anak jalanan dan gelandangan yang berkeliaran di lampu merah, sampai tidur di trotoar. Ketiga, suasana beberapa tempat yang mirip dengan Jakarta.

Namun bukan berarti Bandung tidak memiliki identitas. Julukan sebagai kota seni yang disandang Bandung bukan hal yang percuma. Seni arsitektur peninggalan jaman Belanda bisa kita lihat hampir di semua sudut Bandung. Walau hanya berjarak dua jam dari Jakarta, di sekeliling bangunan-bangunan tua khas Belanda ini saya merasa berada seratus tahun jauhnya dari Jakarta.



Salah satunya di Jalan Braga. Jalan satu arah yang diapit deretan restoran dan pertokoan ini menyimpan bukti sejarah penjajahan Belanda hampir di setiap sudut bangunannya. Waktu seolah berhenti pada bangunan-bangunan itu. Seperti pada sebuah toko kue yang bernuansa art deco dengan cat putih yang kusam di sana sini. Bahkan lantainya masih keramik berwarna merah marun.

Ada juga sebuah toko buku sederhana yang jendela kayunya seperti yang bisa kita temui di museum Fatahailah (Jakarta). Atau toko lain yang bentuk arsitektur bangunannya adalah replika stasiun kota, Beos, di Jakarta. Bagian atas gedungnya menonjol melengkung dan berwarna putih.



Selain membuat saya merasa hidup di masa lalu, Jalan Braga juga membuat saya merasa berada di sebuah galeri seni besar. Deretan lukisan-lukisan karya tangan-tangan seniman jalanan Bandung tergantung di tepi jalan seperti layaknya sebuah pameran lukisan. Mulai dari sketsa wajah, sampai pemandangan para petani yang sedang memanen di sawah yang menguning. Memang belum “secanggih” karya pelukis-pelukis kebanggan Bandung, tapi setidaknya cukup memanjakan mata dan menggelitik rasa.



Hal kecil lain yang saya suka dari Jalan Braga adalah jalanannya bukan aspal, melainkan rangkaian batu.

Sayangnya, bila jam pulang kantor, Jalan Braga bisa menjadi sangat macet dengan pengendara sepeda motor yang suka naik ke atas trotoar, mengganggu para pejalan kaki. “hah… kayak Jakarta aja.” keluh saya dalam hati. Lantas apa dong yang membuat saya terpincut dengan kota Kembang ini?



Setelah saya renungkan beberapa saat, Adalah rasa asing yang membuat kota ini begitu menarik. Mungkin karena saya jarang pergi ke Bandung. I love being a stranger. I couldn’t help the excitement of “what’s next”.

Jadi lain kali bila ada orang yang mengatakan Bandung itu membosankan, coba Tanya dulu, mungkin dia pulang-pergi Jakarta-Bandung, seperti Sudirman-Thamrin. Telalu sering sampai bosan. Sedangkan bagi kita yang masih asing dengan kota Bandung, perjalanan bisa menjadi kejutan yang tak ada habis-habisnya.

Thursday, May 13, 2010

When stop means go, when wrong feels right

In a city where rules are made to be broken, trying to live a law-abiding life can sometimes leave one feeling alienated. When we try to do the right thing while everyone else is doing the opposite, we can feel like we are the ones who “just don’t get it”.

Living in a big city like Jakarta, it is common for wrongs to feel right. The absurd paradox penetrates almost every aspect of our lives, skewing our perception of social morality and logic.

Crossroads are a good example. When constrained by a red light, it is often considered legitimate, even expected, to proceed if vehicles coming from the other directions are few and far between. This is, the theory goes, the perfect time to get out in front and make up lost time. But we don’t do that — because it is not right. After all, the red light is there not to inconvenience us, but to save our lives.

But, when the cars and motorcycles behind and around us start honking their horns and trying to navigate around us, we begin to feel edgy. Should we follow them or not? The earsplitting horns and engines reviving begin to chip away at our self belief.

We know it’s not right, but maybe it’s not so bad if everyone else does it. So, in the end, we give in and go with the flow.

People tend to search for the easiest path to reach their goal and avoid confrontation, even if it means breaking the rules.

This is one of the reasons why “under the table bribes” is the preferred method of payment here, and why our streets are in grid lock for 14 hours a day.

We often justify these actions by arguing that many people do the same thing.

How many times have we heard someone said, “Hey, everyone else is doing it, so why aren’t we? If there is an easier way, why bother doing it the hard way?”

Such reasoning compels us to ignore the voice of our conscience and think only of our happiness.
Another common sin is littering.

I often see my friends throwing their cigarette butts into the gutter or on the street, as if it were all a giant trash bin.

When I tell them to desist, they give me a weary smile and one of them inevitably says, “Relax, It’s just a cigarette butt. Others throw away far worse things.” The others nod in agreement.

Suddenly I feel I am being obnoxious, — a mother who tells her children not to go out in the rain without an umbrella. Maybe my friends are right — this city is a mess — why bother?

But yesterday, when I was on my way home from the office at 4 in the morning, feeling exhausted, suffering back pain and craving my bed, I witnessed a motorcycle in front of me run a red light and I too eyed a chance to shorten my trip home. However, just as I was making my way over the white line, I saw that one of the motorcycles had been stopped by a police officer.

“Looking for extra money, huh?” I sneered at the cop from afar. I was judging the cop without realizing that I was the guilty one because I had run a red light.

We often complain that Jakarta is so unorganized. And then, inevitably as soon as we have begun complaining we begin to blame. We blame the central government, we blame the city administration, we blame others, but never do we blame ourselves. We forget that we are all in this together.

The big question facing so many of us is — when we are caught in the trap of “wrong feels right”, should we go with the flow or against it?

If we choose to go with the flow that means that no matter what happens to the city, no matter how bad it becomes, we must stand it — we can’t complain.

But if we choose to go against the flow— to do the right thing - we may despair at the actions of others, but if we don’t start with ourselves, we will never start at all.

Jakarta Post| Tue, 05/11/2010 10:15 AM | City

Saturday, May 8, 2010

Short interval

Mengamati tenangnya suasana kafe ini ditemani melodi romantis Rod Stewart yang melantun mengawang-ngawang dari dalam earphone, hati pun menjadi sedikit sejuk. Wangi kopi yang dipanggang melayang lembut merasuki jiwa, membuai sukma. Ini saat di mana kita bisa menikmati wajah asli kafe ini.

Ini pengobatan jiwa namanya.

Namun beberapa saat kemudian...

jarum pendek nyaris menunjuk angka delapan. Jam makan malam sudah berakhir. Orang-orang mulai berdatangan. Seorang anak kecil cempreng merengek minta dibelikan kue-kue yang bertengger di balik etalase. Suaranya menarikku dari lamunan.

seorang wanita cantik bertubuh aduhai berhenti di depanku mengusik perhatian, tapi bukan hatiku.

Suasana tenang kafe ini mulai tercemari. Polusi-polusi suara mulai berdatangan bersama pengunjung.

seorang anak kecil berbaju merah dan berambut tentara mampir di sampingku mengintip isi laptopku sambil bersuara seperti orang memanggil burung. "keeert... keeeer!"

Suara mesin menggiling biji-biji kopi mulai mengudara.

Sekelompok ABG tertawa-tawa nyaring dari sofa sebelah.

Orang-orang berkelibatan di mataku.

hm... kayaknya sekarang sudah tiba giliran aku yang makan malam.

Monday, April 26, 2010

Si Penjual Strawberry




Malam datang lebih cepat sore itu ketika hujan mengguyur Kota Bandung. Semua orang berlarian mencari atap menghindari hujan. Tapi tidak bagi anak-anak jalanan yang berkeliaran di lampu merah. Mereka semakin giat menadahkan tangan pada mobil-mobil yang berhenti. Mungkin mereka sadar, hujan adalah panggung drama paling sempurna untuk berperan iba.

Ketika mobilku berhenti, seorang anak jalanan muncul di samping jendela mobil. Ia terlihat kedinginan, rambutnya lepek, bajunya basah, ekspresinya seakan mengatakan ‘tuan-selamatkan-aku-dari-kejamnya-hidup’, tapi yang mengejutkan ia tidak menadahkan tangan kosong, tapi ada sekotak besar strawberry di sana. Wah hebat juga anak ini, di saat yang lain hanya mau minta-minta, dia berjualan. Sayangnya gua tetap gak bisa beli, atau lebih tepatnya gak mampu. Karena uang di dompet tinggal 25.000.

Berbeda dengan berberapa anak jalanan yang muncul di jendela mobil bosku dengan tangan kosong menadah. “Dasar pemalas. Kalau yang jualan strawberry aja gua gak beli, apalagi yang Cuma jualan rasa kasihan.” tapi tiba-tiba bosku menurunkan kaca mobilnya dan membagi-bagi uang receh.

Reflek aku menengok ke arah anak di sebelah ku yang masih berdiri memegang strawberry dengan wajah penuh iri (bisa saja ini hanya dipikiranku). Lalu aku melihat lagi ke arah anak-anak jalanan di jendela mobil bosku yang mendapatkan uang dengan mudahnya. Lalu kembali lagi ke anak penjual strawberry, begitu terus beberapa kali.

Tiba-tiba sebuah ketakutan mengembang di dada. Bagaimana kalau anak strawberry ini berpikir, “akh ternyata lebih enak minta-minta daripada jualan”. Ingin rasanya gua buka kaca dan bilang ke dia, “dik, kamu hebat karena kamu mau berusaha, gak Cuma berharap belas kasihan. Kamu jangan nyerah yah walau belum ada yang beli strawberry kamu. Sebetulnya saya mau beli, tapi duit saya pas-pasan”

Tapi kan gak mungkin.

Waktu gua tinggal beberapa detik lagi nih, karena sebentar lagi lampu merah akan berubah hijau dan mobil akan melaju meninggalkan si anak penjual strawberry yang (mungkin) akan membuang strawberry di tangannya dengan emosi ke jalan dan langsung mengemis.

Akhirnya...

Out of panic, gua memutuskan menggunakan uang 25 000 terakhir untuk membeli strawberry yang sebetulnya, banyak di Jakarta. Harapan gua cuma, semoga si anak penjual strawberry itu akan merasa berjualan memang lebih baik daripada minta-minta. Buktinya dia dapat hasil lebih besar dari anak-anak lain yang cuma bisa minta-minta.

Semoga dia tidak menghabiskan uangnya tanpa menyisihkan untuk modal jualan lagi.

Sunday, March 21, 2010

the preasure taker



His team is one goal up, but they one man down. It was Thomas Varmelan who committed the sin.

Fifteen minutes left on the clock, but a lot can happen in those quarters of hour, especially when you are limping. He knows it. The rival team knows it. But now, he is the one behind the gun. Right before the eleven meters white spot he stands. One bullet. One chance only. Can he kill it, or will he give the enemy a chance to avenge? His team destiny lies on his foot. The pressure is on. This is the ultimate answer to the question… Is he worth the ban of the captain?

Gently he puts the ball on the white spot. Sweats come running through his face, yet he is showing no weariness. For you who think scoring from penalty spot is an easy matter, think again. This young man, this 22th year old Spanish, the golden boy from Catalan, has the weight of the whole team and the whole fans on his shoulder. The fierce of confidence slashing through his eyes as he pulls a deep breathe and run toward the ball. At this moment the atmosphere in the stadium becomes suddenly quiet. The cheering have stop as everyone holding their breath.

But a moment later, the emirates stadium exploded with cheers. The keeper has completely missed judged way of the ball, as Cecs Fabregas struck it into the middle-left of the goalpost.

2-0. it’s pretty much a game over. The young boy has done it again. He wasn’t just scoring the penalty; he was also set his team spirit on fire.

There are so many great players in the world. But only few who can really take the pressure of eleven meters spot.

Thursday, March 11, 2010

emergency bike to home

Okay. Welcome to another episode of “my life is a mix of bad luck and stupidity”.

Masih ingat frase yang bilang. “Be careful of what you wish for”? Ternyata frase itu benar-benar mengandung kutukan. Pasalnya kemarin malam gua berpikir, gua harus olah raga. Mengingat dalam dua malam berturut-turut gua makan berat di atas jam 12.

Apalagi perut gua makin hari semakin doer. Jadi sambil meremas-remas perut buncit (yang lagi makan jangan ngebayangin:p), malam itu gua berjanji akan melakukan tindakan nyata, kondusif dan efektif, demi menyelamatkan kehormatan yang nyaris gak gua punya.

Masalahnya, gak harus secepat besok pagi dong janji gua jadi kenyataan. Lo kira gua nganggur apa pagi-pagi olah raga (alesaaaan... :p). Apalagi ini bukan olah raga “beneran”, tapi, hm, you may call it,hm... accidentally excercise.

Kenapa begitu...

Karena ketika gua baru keluar rumah naik motor, kok tiba-tiba gua merasa ban belakang lari-lari. Mengsong kiri, mengsong kanan. Seperti orang habis skot jam 100 kali terus langsung lari sprint.

Ternyata benar, ban gua kempes pes pes pes. Alhasil gua terpaksa turun dan dorong motor sampai tempat tambal ban terdekat. Masalahnya yang terdekat, letaknya masih jauh. Dan kebetulan hari itu gua lagi bawa laptop. Jadi sambil gendong laptop, dorong motor. Sempurna sudah olah raga pertama gua hari itu.

Ketika akhirnya sampai ke tukang tambal ban, keringat sudah banjir, nafas ngos-ngosan, dan perut buncit gua megap-megap seperti ikan kehabisan nafas. Pake antri segala lagi, kenapa sih nih tukang ban laku bener? Dasar serakah! (mulai emosi gak jelas karena kurang oksigen).

Selagi ngantri, gua bermaksud mengabari kantor kalau gua pasti telat karena insiden naas ini. Tapi, jeng... jeng... jeng... handphone gua low batt. Dan hari itu gua lagi nunggu telepon penting lagi. Akhhh... masa gua harus dorong motor gua kembali ke rumah untuk ambil charger. Terus dorong balik lagi buat nambel.

Di tengah keputusasaan yang mendera-dera, gua melihat sesosok pria berbaju biru lagi nongkrong di pos hansip. Siapa dia? Dia adalah...HANSIP lah! Siapa lagi yang berhak ada di pos hansip?

Langsung aja gua deketin tuh hansip yang gak pernah ngira hidup damainya bakal diganggu sama cowok keringatan dari antah berantah.

Gue: permisi pak...
Hansip: iya.
Gua: saya lagi tambal ban di situ, tapi saya mau balik ke rumah ambil barang. Nitip motor saya ya pak.

Dengan ramahnya si hansip meng-iyakan. Tapi... gua belom selesai sip. Masih ada satu permohonan lagi.

Gue: pak, (cengengesan) hehehe, saya boleh pinjem sepeda ga? (cengegesan lagi) hehehe.

Sekilas si hansip melirik sepedanya seakan melirik belahan jiwanya. Soul mate-nya. Sepertinya dia gak rela gua dengan perut buncit membebani sepedanya. Tapi sekali lagi, dengan ramahnya, dia meng-iyakan.

Wooots! Langsung dengan sigap gua lompat ke atas sepeda. Pas gua mau ambil goesan pertama si hansip memberikan petuah,

Hansip: jangan cepet-cepet ya dek. Nanti rantenya putus.

Yaaaaaaaah! Baru aja gua mau ngebut 100 kilometer / jam :p. Tapi kalau dilihat sih, keadaan sepeda itu memang sedikit mengenaskan. Injakan pedal yang sebelah kiri sudah patah dan keluar suara rintihan pedih sepeda kurang minyak, “ngit. Ngiiit. Ngit” setiap menggoes.

Sepanjang perjalanan ke rumah, terus terngiang nasihat si hansip, “jangan cepet-cepet ya dek. Nanti rantenya putus. jangan cepet-cepet ya dek. jangan cepet-cepet ya dek. jangan cepet-cepet ya dek. Nanti rantainya putus” alhasil, gua berusaha menggoes sepeda itu pelan-pelan. Dan ternyata itu lebih capai daripada naik sepeda kecepatan normal.

lama-lama, mengendarai sepeda itu gua seperti digendong di punggung seorang kakek berumur 70 tahun yang kurus dan mengidap osteoporosis akut. Gua jadi gak lagi terlalu khawatir rantai sepeda putus. Gua lebih takut sepeda itu ambruk. Patah hancur berantakan. Sepanjang perjalanan ke rumah hati jadi was-was. Ini sih bukan sekedar olah raga fisik, tapi juga mental.

Belum lagi, joknya yang keras, dan dudukannya yang tinggi, membuat bagian kelaki-lakian gua tertekan berat badan gua sendiri. Setiap goes kaki kiri, berat badan menekan bagian kiri, begitu juga sebaliknya. Ouuuch…

Gua juga merasa orang-orang menatap gua dengan aneh. Bukannya GR, tapi kalau gua jadi mereka, gua pasti juga akan menatap aneh. Karena gua naik sepeda dengan pakaian rapih sambil gendong laptop. Ditambah gua mengendarai dengan amat sangat pelan dan sedikit oleng sana oleng sini. Seperti orang yang baru belajar naik sepeda.

Akhirnya dengan susah payah gua sampai ke rumah, dan syukur sepedanya masih utuh. Langsung gua lari masuk ke dalam rumah dan ambil charger. Setelah itu, gua harus naik sepeda lagi kembali ke tempat tambal ban, mengalami semua pengalaman memalukan sekaligus melelahkan, sekali lagi.

Setelah akhirnya sampai di kantor, gua merasa lelah bukan buatan. Tapi karena gua selalu berusaha berpikir positif, gua menganggap yaa… setidaknya hari ini gua berhasil buang kalori. Tiba-tiba gua merasa lebih sehat.

Lalu dengan penuh harap, gua buka buka baju bagian perut, dan… ternyataaaaa… perut gua masih tetap buncit tuh. Gak kempes sedikit pun. Wew!

Lewat accidentally exercise hari ini gua belajar, hidup itu perjuangan, seorang hansip bisa punya hubungan spesial dengan sepedanya, dan dorong motor plus naik sepeda dalam satu pagi gak akan membuat perut buncit jadi six pack.

Sekian. Terima kasih.

Friday, January 29, 2010

in a place with time

In the midst of books, on a bamboo chair, here I am, sitting alone staring at my Lenovo not sure what I should do. The air con is breezing icy breath severe through my skin leaving pain in my bones.

Mr. Curiosity playing through my earphone, the slicing cadence makes me weaker and weaker.

Hey Mr. Curiosity
Is it true what they've been saying about you
Are you killing me?
You took care of the cat already
And for those who think it's heavy
Is it the truth
Or is it only gossip
Call it mystery or anything
Just as long as you'd call me
I sent the message on did you get it when I left it
See this catastrophic event
It wasn't meant to mean no harm
But to think there's nothing wrong is a problem


I take a sip of a hot milk tea, writers tea they called it, to keep me warm, to rest my unrest anxiety. But it went cold even before the glass reach my lips. Time consumes, first was my dreams and now is the heat of my drink. And it will never stop, no matter how hard you fight, how smart you hide.

Not even magic can stop time’s beastly appetite. Not even magic. Let alone myself.

Time goes tik tok tik tok
While my life goes boom boom boom KABOOM!

Sunday, January 3, 2010

Euforia Negeri Sakura


Lima hari pulang dari jepang, aku masih saja dimabuk euforia negeri sakura itu. Begitu banyak pesona yang melekat di hati dari setiap sudut kota, dari gaya berpakaian orang-orangnya, dialek dan bahasanya, dan cuaca desember yang sejuk. Semua menjadikannya sulit untuk dilupakan.

Banyak orang bilang, tinggal di Jepang bikin mati muda. Stress. Jalan bersama orang Jepang saja capek, karena langkah mereka sangat cepat seakan mereka selalu terlambat. Tapi itu mungkin salah satu faktor kenapa Jepang bisa sangat maju, karena mereka menghargai setiap detik.

Jepang pada bulan Desember adalah kamar yang tak pernah dimatikan Ac-nya. Hawa dingin dengan sepoi angin sejuk yang menusuk dan udara segar minim polusi, begitulah kira-kira. Bagi saya yang setiap hari didera hawa panas dan lembab, musim dingin adalah hal yang misterius sekaligus menyegarkan.

Apalagi ditambah semarak menjelang natal dan tahun baru, semua menjadi semakin sempurna.



Tujuan pertamaku adalah Fujinomiya. Sebuah kota kecil di kaki gunung Fuji, untuk urusan ziarah ke kuil pusat Buddha Niciren Daisyonin, di komplek kuil Taisekiji. Seperti halnya Candi Borobudur, kuil ini telah berumur ratusan tahun. Kompleknya yang luas dengan jenis bangunan khas Jepang di masa feodal dulu, membuatku merasa kembali ke masa lalu. A journey trough time, begitu saya menyebutnya.

Setelah empat hari berziarah, akhirnya saya turun gunung dan langsung masuk ke gemerlap suasana metropolitan Jepang.



Karena waktu yang singkat, saya hanya bisa berkunjung ke dua distrik, yaitu Harajuku dan Shinjuku, sedangkan sisanya dihabiskan bersenang-senang di Disney Sea.

Untuk perjalanan pertama saya memulai dari Harajuku.

Perjalanan dari satu distrik ke distrik lain, bisa dilalui menggunakan yamanote line, atau kereta dalam kota yang rutenya berputar. Bila Anda berencana untuk mengunjungi lebih dari satu distrik, lebih mudah dan murah menggunakan one day ticket seharga 750 yen atau ± Rp 75.000,-.

Keluar dari stasiun Harajuku malam sudah menangkupkan selimut bintang-bintangnya. Padahal waktu itu baru jam lima sore. Angin musim dingin yang bertiup cukup kencang tidak mengkhawatirkan, malah rasanya seperti menerbangkan mood ke tingkat ekstasi.

Harajuku yang saya kira dengan yang saya lihat ternyata berbeda sama sekali. Jalanan penuh gemerlap signage dan ribuan lampu cabai pada pohon-pohon di sepanjang jalan memberikan kelas tersendiri. Deretan toko-toko merk dunia sampai lokal bersinar-sinar terang dan menggoda. Seorang yang bukan shopaholic pun pastinya bisa lepas kendali jika berada di sana. Apalagi dengan iming-iming sale natal dan tahun baru.

Tempat pertama yang kami kunjungi adalah sebuah toko baju dan sepatu yang terletak di bawah jalanan. Lucunya, toko itu men-display baju-baju jualannya di samping jalanan agak jauh dari pengawasan. Tapi tidak ada satu pun baju yang hilang. Coba bayangkan apa yang akan terjadi kalau cara menjajakan ini kita praktekkan di tanah air. Itu jugalah salah satu pesona Negeri Matahari Terbit, tingkat kejahatannya sangat rendah. Hanya saja hal ini sudah agak tercemar oleh para pendatang.

Hal lain yang membuat saya terkesima, adalah banyaknya vending machine di sepanjang jalan. Konon menurut yang saya baca, penggunaan listrik untuk mesin penjaja tanpa kasir ini di seluruh Jepang, lebih besar ketimbang penggunaan listrik di seluruh negara Srilanka.

Setelah beberapa kali keluar masuk toko, perut mulai minta giliran diperhatikan. Maka mampir lah kami di sebuah restoran ramen kecil yang berada di ruko lantai dua. Walau kecil, tapi restoran itu ramai minta ampun. Hanya dengan sekitar 10 pilihan menu, kami dibuat bingung, karena tidak mengerti membaca menu dan pelayan yang ditanya tidak mengerti bahasa inggris. Ajaibnya ramen yang kami pesan, semuanya sukses, alias nikmat. Tapi bagi bukan pemakan pork, sayangnya Anda tidak bisa makan di sini.

Satu hal yang perlu diketahui bila berada di Jepang adalah, penduduknya, sebagian besar tidak bisa berbahasa inggris. Tapi untungnya mereka bisa satu bahasa universal, bahasa tubuh.

Setelah perut full tank, kami menuju ke sebuah gang yang panjang dan disesaki beratus jenis toko dan kios. Kalau Anda pernah ke pasar baru, mungkin seperti itulah kelihatannya, hanya saja lebih sempit dan lebih meriah. Berbagai macam toko ada di sini, mulai dari toko asesoris gothic, toko baju biasa, toko pakain dalam wanita, toko sepatu, dan bermacam-macam restoran.



Berbelanja di sini merupakan tempat ideal, karena harganya lebih murah dan jenis barangnya sangat beragam. Ada yang Jepang banget, yang kebarat-baratan, dan ada yang made in China.

Sayang saya tidak datang pada hari Minggu, kabarnya anak-anak muda Jepang yang berkostum dan berdandan ala Gothic atau Manga, akan berkumpul.

Petualangan pun berlanjut ke Shinjuku... (to be continue...)