Betapa miris bagaimana manusia sering menyia-nyiakan
kemampuan otak mereka dengan melakukan sesuatu atas nama kebiasaan.
Pada suatu siang di kantor, seorang teman datang ke meja
saya untuk meminta tisu. Saya sama sekali tidak masalah, bahkan ketika ia tidak
meminta ijin. Masalahnya adalah bagaimana ia mencabut tiga lembar tisu tanpa
dengan enteng hanya untuk melap mulutnya sehabis makan. Gerah melihatnya,
langsung saja saya “tembak”, “eh boros banget sih pake tisu. Berapa pohon tuh
yang udah loe bunuh cuma buat ngelap mulut loe.” Apakah ia merasa bersalah?
Mungkin sedikit. Tapi saat itu ia hanya senyum-senyum sambil bilang kalau itu,
kebiasaan.
Jadi hanya dengan alasan kebiasaan, lantas semua jadi bisa
dibenarkan? Semua jadi bisa dimaafkan? Padahal menurut data yang saya dapatkan
dari Om Google, satu kantong tisu berisi 20 lembar, membunuh satu batang pohon.
Bayangkan berarti kalau dia makan tiga kali sehari, plus dua kali jajan, itu
sama dengan 15 lembar tisu atau hampir satu pohon. Coba dikalikan 30 hari atau
365 hari. Rasanya dia sudah menjadi si pembantai pohon.
Pohon itu hidup, walau ia tidak bersuara dan tidak bergerak
dengan signifikan. Dan setiap makhluk yang hidup bisa merasakan sakit dan
sedih.
Kadang kita suka pilu melihat foto atau video tentang orang
yang menebang pohon tanpa perasaan. Seolah kita bisa merasakan sakitnya setiap
hantaman kampak atau potongan gergaji mesin. Tapi dengan memakai tisu tanpa
berpikir terlebih dahulu, apa bedanya kita dengan para pembalak liar itu
kecuali lokasi, mereka di hutan, kita di kota.
Padahal yang kita butuhkan hanya sedikit lebih banyak
menggunakan otak. Berpikir dulu sebelum melakukan kebiasaan boros menggunakan
tisu. Bayangkan juga populasi pohon di hutan yang semakin jarang, lalu
bayangkan apa imbasnya kepada dunia, kepada kita. Bayangkan asap knalpot bajaj
atau bus umum, atau asap pabrik, lalu tarik napas dalam-dalam.
Di jalan kita sering sekali menemukan contoh lain dari
kebiasaan yang salah. Yaitu kebiasaan memberikan uang ke pengemis. Bila dilihat
sekilas, memang rasanya kebiasaan itu merupakan hal yang mulia. Namun apakah
kita pernah berpikir, dengan membiasakan memberi uang ke pengemis justru akan
membuat mereka malas. Buat apa capek bekerja bila hanya dengan mengadahkan
tangan sudah bisa dapat uang. Karena itu jumlah pengemis semakin meroket.
Kebiasaan menyalahkan orang lain juga salah satu yang paling
gawat. Menyalahkan orang yang korupsi, padahal kita juga tidak pernah melakukan
apa-apa untuk memperbaiki negeri ini atau menyalahkan wanita yang memakai rok
pendek atas ketidakmampuan diri sendiri mengontrol birahi.
Satu contoh lagi adalah kebiasaan kita mendidik anak.
Saya memang belum menikah dan punya anak, tapi setiap hari
saya menyaksikan bagaimana anak kakak saya dibesarkan oleh neneknya, ibu saya
dan juga orang tuanya, kakak dan kakak ipar saya.
Bagaiaman cara kita membesarkan anak kita secara tidak
langsung dipengaruhi dengan bagaimana dulu kita dibesarkan orang tua kita.
Masalahnya adalah jaman terus berubah untuk itu banyak cara dan pemikiran yang
dulu rasanya benar, sekarang menjadi salah sama sekali.
Kebiasaan menakut-nakuti anak agar ia tidak macet makan,
atau kebiasaan memukul dan menyalahkan lantai ketika si kecil terjatuh, atau
kebiasaan membandingkan si kecil dengan orang lain. Semua ini adalah kebiasaan
yang patut kita telaah lagi validitasnya di jaman sekarang.
Kebiasaan menjadi sesuatu yang, invisible bagi diri kita sendiri. Biasanya kita tidak sadar kalau
kita melakukan hal yang salah. Di saat seperti ini lah kita butuh orang lain.
Butuh teman yang berani mengatakan kalau kebiasaan kita salah. Jadi jangan
tersinggung bila ada yang mengkritik, tapi jangan juga kita telan bulat-bulat.
Gunakan otak yang maha canggih di dalam kepala kita untuk mencerna masukkan
itu.
Melakukan sesuatu atas nama kebiasaan sama dengan malas
mikir. Kalau bisa disamakan, “kebiasaan” mungkin bisa disebut insting. Jadi
bila kita terus menuruti kebiasaan, apa bedanya kita dengan seekor kera yang
punya kebiasaan buang kulit pisang sembarang setelah menandaskan isinya.
Lain kali, kalau kita ingin melakukan suatu “kebiasaan”,
berhenti sejenak, pikir dulu alasannya, benar atau tidak, masih valid di jaman sekarang atau sudah usang.
Setelah sadar benar dengan alasannya, baru jalani kebiasaan itu.
“Akh kebanyakan mikir loe!” mungkin orang akan komentar
seperti itu, tapi melihat bagaimana sekarang kita hidup dengan rasa peduli yang semakin menipis, rasanya justru kita
sudah jarang sekali serius berpikir.
No comments:
Post a Comment