Tuesday, December 27, 2011

Hujan datang lalu...

Hujan datang, orang-orang minggir, seperti pasir disapu ombak.

Bumi menangis, orang-orang meringis kedinginan. Sebagian saling mendekap menyekap hangat. Sebagian berlarian ke jalan menangkap hujan.

Hujan runtuh, orang-orang berteduh dalam cerita di sebuah warung kecil pinggir jalan. Asap rokok berulang-ulang mengepul dari mulut si pendongeng, meliuk-liuk membentuk imajinasi setiap pendengarnya.

Alam bergemuruh, anak-anak hujan melayang bersama angin yang rusuh, larut dalam air teh yang keruh dan menempel di dahi orang-orang seperti peluh yang meleleh.

Langit mencair, dingin merayap di punggung seperti ular di dalam baju. Orang-orang menggigil tak mampu bergerak bagai batu.

Malam merintik di atap genting, seperti jutaan titik yang dihujamkan. Perlahan suara orang-orang menyenyap, tinggal angin yang bersuit-suit.

Tuesday, November 8, 2011

Sebuah catatan di penghujung senin

Senin datang dan pergi secepat Sabtu menyapa dan mengucap selamat tinggal. Betapa aneh bagaimana kita sering memperlakukan hari seperti anak tiri dan anak kandung. Padahal apapun harinya semua sama.

Mungkin karena kita terlalu sering memperkosa waktu. Terpaksa bangun pagi, bahkan kadang sebelum matahari membuka matanya dan saat bulan sedang berjuang menahan kantuk. Terpaksa mandi pagi, masak pagi, makan pagi dan berangkat pagi. Lalu menjalani hari dengan aktivitas yang HARUS dijalani.

Padahal seharusnya kita menikmati setiap lekuk tubuh waktu dengan romantis walau dipengaruhi birahi yang meledak-ledak.

Senin tak sama baiknya dengan rabu juga tak sama buruknya dengan Sabtu. Semua sama bila kita menjalani dengan hati. Bila kita dikelilingi oleh orang-orang yang kita sayangi. Bila kita melakukan pekerjaan yang kita cintai.

Mari berhenti membenci Senin karena sebetulnya kita sedang membenci hidup kita sendiri. Membenci detik demi detik yang kita lalui.

Cintai Senin seperti kamu mencintai Sabtu atau Minggu. Tapi lebih penting lagi, cintailah hidup seberat apapun. Karena hidup akan tetap keras tak perduli kamu suka atau tidak. Kalau hal itu rasanya susah setengah mati, bukan berarti kamu tak mampu menjalani, tapi mungkin kamu belum berusaha cukup keras untuk mencari.

Temukan cinta untuk seninmu.

Sunday, October 23, 2011

Sesekali dalam hidup, lepaskan saja

Aku menulis seperti setan mengumbar aurat. Siapapun jadi sasaran, Tuhan sekalipun. Aku menulis seperti seorang pemain piano menekan tuts, setengah keahlian, setengah lagi murni naluri. Aku menulis bagai seorang anak kecil menggambar di sebuah lembar putih. tak perduli absurd atau indah, tak perduli warnanya cocok atau tabrakkan yang penting membuatku senang. Aku menulis seperti seorang pemabuk yang memuntahkan isi perutnya. Di mana saja, kapan saja, tak perduli aturan.

Aku belum membaca isi paragraph pertamaku. Sesuatu yang biasa aku lakukan setiap kali aku lompat ke paragraph ke dua. Terasnya harus bagus agar ada orang yang mau bertamu, begitu kata seorang jurnalis ahli. Akh persetan dengan itu. kalau tulisanku ini rumah, maka aku membangunnya sesuka hati. orang tidak suka? Itu urusan mereka. kalau mereka suka, ya aku hanya bisa bilang, selamat datang, selamat menikmati seadanya.

Aku menulis dengan hati. hati yang bebas. entah di mana aku akan tiba. Jujur aku tak sepenuhnya perduli. Aku hanya ingin menuliskan apa yang spontan lahir di dalam pikiranku. Mungkin aku dipacu oleh irama riang dari earphoneku sehingga jariku terpancing untuk melompat girang di atas keyboard.

Siapa bilang hanya belanja yang bisa impulsif. Menulis juga seharusnya bisa. tulis. Tulis. Tulis. Abaikan rasa takut jelek. takut tak ada yang mengerti. Sekali seumur hidup lakukan sesuatu sesuai hatimu. Ya! hatimu. Kesenanganmu. Tutup matamu, lupakan semua yang ada di sekelilingmu, lepaskan hatimu dan biarkan ia menari. Sesekali dalam hidup kita perlu berhenti mendengarkan apa kata orang dan menjadi diri kita sendiri untuk melakukan apa pun yang bisa membuat kita bahagia.

Sunday, October 16, 2011

Choice by choice, layer by layer

I wish I could tell the future so I could know that what I am going to do or the decision that I am going to take is the right one. But it’s impossible to know whether the bomb is going to explode or not if I haven’t even pulled the trigger yet. You could predict the possibilities, of course, but you would never foretell the future. Unless, you are the “talented”. So there is nothing else I can do but to take the road that many before me have taken, the long and winding road.

Life's shaped by the choices we have made. Resigning from our job, breaking up with lovers, loving someone who didn’t love you back (then deciding to keep on loving her), leaving your family and friends, punching someone in the face, running away from home and from school, stealing that first kiss, having that naive first sex, living by yourself, helping other people, hating someone, forgiving someone, forgiving yourself, having a dog or a cat, or a snake, or a bear. Some of the choices ended up with happy ending, but some others would take us to a dark and grimy place. But at least we stand up for ourselves, for what we believe is right.

However, there is always a choice not to chose and stay in our comfort zone for the rest of our life. Just forget about hopes and dreams and stick with reality and reality only. But then, the world (or at least your world) would be colorless, tasteless and meaningless. John F Kennedy would have never sent men to the moon, Thomas Alpha Edison would have never found bulb and for that the world would be a dark and creepy place to live.

Life is about the risks we take, the impossibilities that keep us trying again and again, harder and harder, the failures which make us stronger, because life is not like a fast food. It is like baking a kue lapis (layer cake). You have to do it layer by layer until it becomes one beautiful and delicious cake.

Tuesday, September 27, 2011

It's not about how it looks

Love comes in many different forms. Some tall, some short. Some dark, some full of colors. Some blunt, some puzzling. Some worth the extra miles, some are not. Some cheesy, some classy and some are somewhere in between. Some happily one-night-stand, some happily ever after. But no matter what kind of shape love showed upon you, it will always gives the reason to live more, if you really know how to love.

Monday, August 29, 2011

If life is determined by door-prize

Tepat jam 12 siang, lebih dari 100 orang berkumpul di sebuah ruangan bernuansa putih beraksen hijau. Mereka tampak resah walau disembunyikan dalam canda dan tawa. Di depan mereka sebuah meja panjang bertaplak putih digelar, di atasnya ada sebuah mangkuk kaca besar yang berisi kertas-kertas bernomor yang akan menentukan nasib mereka.

Will they get out of the room as a winner or a loser?

Hari itu adalah ulang tahun kantor yang ke 76, dan setelah perayaan sederhana yang meriah, selanjutnya adalah acara yang ditunggu-tunggu, DOOR PRIZE. Berbagai hadiah seperti blackberry, mixer, sampai Ipad 2, siap dibawa pulang mereka yang beruntung. Bagi yang kurang beruntung, voucher belanja 50 ribu adalah kompensasinya.

Semua orang menunggu namanya dipanggil dengan cemas. Semua orang tampak berharap-tapi-tidak-berharap, seakan-akan dengan begitu bisa mengelabui nasib. Seolah-olah dengan menjadi pesimis, mereka tidak akan kecewa bila nanti tidak beruntung.

Semua orang pasrah di tangan sang juru panggil. Seorang wanita bertubuh gembil dan berwajah ramah itu menjadi kaki tangan Tuhan, sedangkan Tuhannya adalah mangkuk kaca berisi kertas. Kita hanya bisa menunggu tanpa tahu kapan. Menunggu tanpa pasti dapat. Tapi toh tetap kita jalani.

Setiap ada nama orang yang dipanggil, resah langsung menyesaki seluruh ruangan. Orang pertama mendapatkan… Voucher. Orang kedua, ketiga sampai orang ke dua puluh juga voucher. Lalu orang pertama yang beruntung di hari itu mendapatkan sebuah Blackberry. Semua orang bersorak dan bertepuk tangan dengan meriah, tapi di balik euphoria itu, sebenarnya semua orang memendam iri. Tak lama kemudian dua orang beruntung muncul lagi. masing-masing mendapat kamera dan blackberry. Namun kebanyakan orang kembali dari meja putih seperti prajurit yang kalah, dengan selembar voucher Rp 50 ribu di tangan dan segumpal dongkol di dada yang di samarkan dalam senyum, tapi masam.

Perlahan ruangan mulai kosong dan nama saya belum juga dipanggil. Menyadari hal ini dalam hati saya bersorak gembira. Semakin banyak yang tidak beruntung, semakin besar kesempatan saya mendapatkan hadiah utama. Sekejap saya membayangkan orang-orang menatap iri melihat saya menenteng ipad 2. Namun setiap melihat orang-orang yang hanya mendapat voucher, saya mengingatkan diri untuk jangan jadi terlalu berharap.

Dua perasaan itu terbit tenggelam secepat mata berkedip. Alhasil saya jadi merasa lelah. Menunggui ketidakpastian memang menghisap tenaga. Apalagi saya sadar tidak bisa melakukan apapun untuk memastikan saya dapat atau tidak sebelum saya merogoh ke dalam mangkuk kaca.

Menunggu seperti ini beda dengan menunggu bus di halte, atau menunggu malam datang. Rasanya seperti menunggu telepon dari pacar setelah bertengkar hebat atau menunggu seseorang yang sedang dioperasi. Tak ada kepastian dan tak ada ketidakpastian. Mengambang di tengah. Menggantung di ujung.

Bayangkan bila hidup kita ditentukan oleh door-prize. Mau laptop baru, tunggu kita beruntung atau tidak. Mau pacar baru juga menunggu. Mau pindah kerja, hidup yang beda, pakai baju yang mana, pergi kemana, pokoknya semua tergantung kita beruntung atau tidak.

Untungnya hidup bukan ditentukan oleh door-prize, tapi oleh seberapa keras kita mau berusaha, seberapa kuat kita untuk tidak mengeluh, dan seberapa berani kita menghadapi kegagalan. Lebih baik saya diberi cangkul dan menyangkul sawah di tengah siang bolong dan membuat tanah gersang jadi subur daripada menunggu tanah itu jadi gembur sendiri dan tahu-tahu ada orang yang iseng melempar bibit di atasnya.

Sometimes life needs luck, but most of the time it’s us that have to scratch our knees and hurt our back to get what we want.

Pada akhirnya saya mendapatkan giliran merogoh kertas di dalam mangkuk kaca lalu saya juga mendapatkan giliran untuk berjalan kembali dengan senyum riang yang menyembunyikan kecewa sambil memegang sebuah voucher.

Mungkin bukan dengan keberuntungan saya akan mendapatkan ipad 2, tapi dengan cara yang lebih susah tapi setidaknya saya berusaha daripada hanya menunggu.

Sunday, August 7, 2011

More faith for the dream

My whole life I’ve been asking myself, “am I good enough?” and most of the time the answer is “no”. Although sometimes my works and the people around me tell otherwise, I still can’t bring myself to believe in my own capacity. Am I being too hard to myself? Or I’m simply having a serious self-confident issue.

Take this blog as an example. This might not be the best or the most inspiring blog that you’ll and have been reading so far, but at least it’s still got decent values. It doesn’t tries to sell any product. It isn’t a sex blog or one which promoting vandalism. In fact some people found it quite inspiring. However, it’s hard for me to simply putting the blog’s address on my facebook. I’m afraid many people will read it and dislike it. Maybe they will find many grammatical errors in my English-post, such as this one, and make fun about it.

When had this crisis started and what were the causes? What was wrong with my childhood that has formed my personality as a timid and mousy guy? I’m not sure I have the answers. But one answer that I surely have that if I let myself to keep on feeling what I’m feeling. Doing what I’m doing. Thinking what I’m thinking, I’ll be the guy who live in my own worst nightmare, every day, every night, every time; the guy who got dreams but not dreams-come-true. I will grow old and bitter and live the rest of my life full of regrets.

Of course I realized this notion since years ago and I’ve been fighting it ever since. Did I win the battle? I will say, not yet. It’s really hard to change the habit that has been rooting for many years. It’s like trying to cure cancer which has undermined your body bit by bit and going to eats you alive from the inside at any moment. It’s so relieving that I’m still not losing hopes.

I guess it’s true what people say that we are bound to repeat our parents’ mistakes. One day, 4 years ago when my dad was 69 years-old, out of nowhere, he just bought himself a baby piano. Then he said to me that he’s always wanted to play piano but never had the chance. I was surprised. Why in the world, from all of the years he got, had he waited so long just to learn to play piano? You can tell different version of reasons that maybe he had no time, or no money, or others things, but frankly speaking, what lack from him was just courage. I know this perfectly well, and not just because he is my father, but because I see myself in him.

I think, we as a human, has a kind of mental sickness to always imagine about our perfect-future but never really done anything meaningful to embody it. Just like creating a movie but only to be played in our own theater-of-mind.

But now everything is different. Or at least I try to make the differences by stop wondering and start doing. Start running. Start trying. The hell with mistakes and mocking talks that might be happen behind my back, because you’ll never fly if you never fall. It’s time to give my dream its wings; more faith.

I don’t want to start chasing my dreams at 69 years-old. I don’t want to regret. I want to live my life to the fullest. I want to go the extra miles. And I have to do it now.

So, here I go!

Monday, July 4, 2011

Unfixable

There are times when life feels so wrong.
Everything could have been better.
I realized it. But all is too late.
I can only regret it.

Shouldn’t say what I’ve said
Shouldn’t do what I’ve done
Shouldn’t deny what I’ve given
Shouldn’t fear what I’ve feared
Now, it’s unfixable

Sometimes I try to run away
Running as fast as my feet could swing
Then I would close my eyes
Hopping that I would get to a better reality
With you still in it

When then I open my eyes
Things are just the same
As tasteless and as meaningless
As the day when you out of my life

Shouldn’t say what I’ve said
Shouldn’t do what I’ve done
Shouldn’t deny what I’ve given
Shouldn’t fear what I’ve feared
Now, it’s unfixable

Monday, June 20, 2011

grumpy go unlucky

Dua jam lagi hari sabtu akan berakhir, namun jalanan masih disesaki kendaraan seakan-akan malam masih muda. Aku mengendarai mobil dengan santai di daerah pasaraya manggarai yang macet karena arah ke saharjo ditutup. Sepertinya ada kawinan warga.

Jalanan di depan Pasaraya yang seharusnya muat tiga mobil menjadi hanya dua jalur karena “dimakan” angkutan umum yang nangkring sembarangan. Ketika aku sedang maju perlahan di sebelah sebuah kopaja, tiba-tiba dari sebelah kiri, sebuah motor muncul. Sadar kalau tidak muat, motor itu pun berhenti mendadak. Sedangkan aku sudah terlanjur menginjak gas. Alhasil, spion mobilku menabrak spion motor itu. Dan itu adalah awal perjumpaan pertamaku dengan si orang gila.

Brak! Brak! Brak! Dia menggebrak pinggul mobil seperti sedang menampar pipiku. Otomatis aku berhenti, dan si orang gila menghampiri jendela mobil. Matanya melotot seperti mau copot, garis-garis wajahnya tertarik tegang seolah-olah mukanya akan pecah. Suaranya menggelegar penuh kemarahan. Emosiku yang awalnya terpancing tiba-tiba diprotes logika, “eh cuy! Ngeladenin orang gila Cuma bikin loe ikut gila!”. Akhirnya aku mengalah dan memilih untuk jalan terus meninggalkan si orang gila ngamuk pada asap knalpotku.

Di sepanjang jalan aku tak habis pikir, kenapa di Negara ini, orang yang salah bisa lebih galak daripada orang yang benar? Setelah mengota-atik otak, aku tidak juga bisa mendapatkan jawaban yang tepat. Aku pun menyerah. tapi sebuah pertanyaan lain lahir, “kenapa gua?” dari 1 juta lebih orang jakarta, kenapa gua, yang ramah dan penyayang binatang ini harus menabrak spion orang gila? Tidak sampai 3 detik pertanyaan absurd ini berhasil menemukan jawabannya.

Pernahkan Anda mendengar happy-go-lucky? Tipe orang yang dipercaya selalu beruntung ini, memiliki energi positif sebesar gunung . Jarang membenci, optimis, dan selalu bahagia. Bukan berarti mereka bebas masalah, tapi entah bagaimana caranya, mereka selalu bisa menjalaninya dengan hati seringan awan dan keyakinan kalau pasti ada jalan keluar. Orang-orang jenis ini adalah makhluk langka, dan menurut saya, mereka wajib dilindungi dan dilestarikan oleh dunia, karena bisa membuat hidup lebih damai.

Berbeda 180°, saya adalah anti-klimaks mereka. Katalis. Saya adalah tipe “grumpy-go-unlucky”. Entah dari kapan, tapi seperti ada energi negatif yang menghisap energi positif di dalam diri, seperti sel darah putih yang rakus melahap sel-sel darah merah. Kadang saya bisa menjadi sangat pemurung dan yang paling parah, “makan dalam” atau suka memendam perasaan.

Hubungan sisi gelap ini dengan kejadian dengan “si orang gila” adalah seperti ini; pernah gak kamu merasa apapun yang kamu lakukan, kok salah semua. Sudah itu, datang pula berbagai jenis kejadian atau orang menyebalkan hingga membuat diri semakin bête. Semesta punya caranya sendiri untuk mengolok manusia, atau mungkin menyadarkan. Hanya kadang yang dijitak kepalanya tidak selalu langsung mengerti. Kadang kita perlu ditampar.

Seperti hari itu, sore sebelum keluar rumah, mood saya hancur berantakkan tanpa alasan yang jelas. Rasanya semua tidak sedap dipandang dan didengar. Sampai-sampai sisi sarkasku pun bangkit dan menyerang orang-orang yang bicara denganku. Perasaan bête pun bersarang dan beranak pinak di dalam hati. Rasa ini terus saya bawa sampai di saat saya bertemu dengan “si orang gila”.
--
Besoknya, hari minggu, aku menceritakan peristiwa kemarin malam kepada kedua orang tuaku. Ayah yang selalu memendam khawatir ketika aku mengendarai mobil sendirian, tampak terkejut seketika. Namun ia langsung mengendalikan diri dan berkata kalau lain kali aku harus lebih berhati-hati karena di jalan ada bermacam jenis orang. Ia bercerita tentang sebuah berita dikoran tentang seorang pengendara mobil yang ditembak oleh pengendara motor hanya karena sebuah masalah sepele. Untung pelurunya meleset sehingga tidak ada nyawa yang melayang.

Ayahku adalah tipe orang tua yang suka memberikan nasihat-nasihat ajaib. Seperti jangan pakai telepon rumah terlalu lama, nanti kena radiasi. Tapi siang itu, saat aku emosi akibat mobil disalib bus kota, nasihat pamungkasnya sungguh mengejutkan. ia bilang, kita harus mengerti supir angkutan umum. Setiap hari dipanggang matahari dan diserbu polusi membuat hidup berkali-kali lebih berat. Baru pertama kali dalam hidupku ada orang yang melihat supir-supir beringasan itu dari sisi yang lebih humanis. Padahal, kalau ada daftar manusia-manusia paling menyebalkan di dunia, aku yakin mereka setidaknya menempati urutan ke lima.

Saat itu aku sadar kalau, menjadi grumpy-go-unlucky bisa diobati dengan memiliki hati yang lebih besar. Mungkin kemarin malam si orang gila sedang mengalami hari yang buruk, atau memang kerasnya hidup memaksa orang menjadi keras dan tak perduli. Aku tidak membenarkan tingkah si orang gila. But I believe that we have to choose our battle.

Berusaha mengerti orang lain dan lebih peka pada gejala-gejala semesta yang mungkin sedang berusaha menyadarkanku. Sehingga aku tidak melulu melihat semua hal dengan negatif. hal itu bisa dimulai dengan berhenti menyebut si orang gila, mungkin lebih baik si penyayang motor (karena mungkin sebetulnya dia marah karena ia sangat sayang motornya. Hey! who knows?)

Sunday, June 19, 2011

Pagi di hari sabtu

Pagi di hari sabtu membebaskan hati. Seperti jalan yang biasanya padat sekarang lenggang. Seperti menghela legah setelah beberapa saat menahan napas di dalam air. Seperti hujan yang tiba-tiba datang di siang yang terik.

Aku bisa merasakan semua di sekitarku bergerak lebih lambat dari biasanya. Iphone-ku pun tak langsung aktif begitu aku tekan tombolnya. Ia berpendar tanpa gambar untuk beberapa saat, seperti sedang menggeliat malas sebelum membuka mata. Aku pun masih bersembunyi di balik selimut, sambil menikmati Juliette Greco mengalunkan Sur Les Quais Du Vieux Paris. Imajinasiku pun dibawa melayang ke tanah airnya: “Juliette Greco just took me to Paris to see the tower then we spent the rest of the morning sitting and drinking wine while the warm breezed of summer’s wind played with our hair.”

Pagi di hari sabtu berarti 24 jam kesenangan baru saja dimulai. Susun rencana bersama teman, keluarga atau pacar. Lahirkan tawa dan rangkai cerita yang bisa kamu simpan di kantung kenangan. Sehingga bila nanti sabtu telah pergi dan hari kembali terasa galau, rogoh kantung kenanganmu, ambil sekeping cerita di hari sabtu nan indah, sematkan di hati untuk menghidupkan semangatmu.

Pagi di hari sabtu, sekali dalam seminggu, di mana matahari bersinar lebih hangat, irama hidup bergerak lebih lambat, dan semua terasa lebih bersemangat.

Monday, May 9, 2011

real life behind a fake name

Yeyet namanya. semua orang yang pernah menjadi pelanggannya tahu, kalau itu bukan nama aslinya. Namun tak ada satupun dari mereka yang tahu siapa sebenarnya perempuan yang bekerja sebagai terapis di salah satu panti pijat di Jakarta ini.

Kulitnya legam, hidungnya besar dan pesek, sekilas lihat, yeyet tampak seperti orang papua. Padahal sebetulnya dia lahir di ciamis, sebuah kota kecil di Jawa Barat. Usianya baru mencapai 23 tahun, tapi ia sudah merantau semenjak lulus SMA. Alasan klise tak ada biaya, memaksa dia untuk menghempaskan impian menjadi sarjana dan memilih bekerja di sebuah pabrik di daerah tanggerang. Dua tahun lamanya dia melakoni pekerjaan sebagai buruh lalu mengadu nasibnya sebagai seorang SPG di sebuah department store di Jakarta. Sebelum akhirnya, ia melabuhkan karirnya sebagai tukang pijat profesional.

Sudah lebih dua tahun usianya menjalani profesi yang tugasnya menekan-nekan badan orang dan meluruskan urat-urat yang berkhianat pada posisinya. Ketika aku bertanya, apa ada orang yang pernah minta servis “plus-plus”? Yeyet lantas menjawab dengan senyum masam, “ya namanya orang macem-macem mas.” Tapi yang membuatku angkat topi adalah, ia selalu bisa menolak permintaan pelanggan “nakal”. Resepnya sederhana, menolak dengan sopan dan sungguh hati. kalimat pamungkasnya adalah, “mungkin terapis yang lain bisa,” lalu sambil mengatupkan tangan membentuk sikap anjali, ia melanjutkan, “tapi kalau saya, mohon maaf, gak bisa pak”.

Yeyet sudah bersuami dan memiliki satu putri berusia 2 tahun. Suaminya bekerja sebagai security di salah satu mall besar di Jakarta. Kerasnya kenyataan hidup membuat yeyet melakoni pekerjaan di panti pijat. lucunya, sang suami tak tahu persis seperti apa resiko pekerjaan yeyet. “Kalau suami tahu gimana mbak?” tanyaku spontan. “ya…” jawabnya menggantung sambil tersenyum pahit.

Yeyet bekerja keras, 10 jam sehari, menghilangkan pegal orang lain dengan membuat diri sendiri pegal bukan main, ditambah menghadapi godaan dan permintaan ajaib pria-pria hidung belang, semua dia lakukan untuk membantu menghidupi keluarganya. terutama untuk si kecil.

Lalu, apakah aku lantas kasihan pada yeyet? Jujur aku terenyuh sekaligus bangga. Tapi tidak kasihan. Yeyet terlalu hebat untuk dikasihani. Ia adalah gambaran perempuan Indonesia yang meski sering dianggap makhluk lemah tak berdaya, tapi justru memiliki kekuatan dan kebesaran hati yang begitu besar. Yeyet punya pilihan untuk menggendong anaknya ke sebuah lampu merah, lalu menadahkan tangan, mengobral kemalangan demi uang receh, atau ia bisa menerima tawaran pria-pria nakal untuk beberapa lembar uang ekstra. Namun ia mengambil jalan lain.

Yeyet nama panggilannya, mungkin tak ada satupun orang yang akan pernah tahu nama aslinya, tapi setidaknya dari tulisan ini akan ada banyak orang yang tahu siapa wanita ini sebenarnya, dan betapa seseorang tidak pantas dinilai hanya dari apa pekerjaannya, tapi bagaimana cara dia melakukannya.

Monday, April 25, 2011

Take a leap of faith. Make friend with the impossible. It is not your enemy. It's blessing in disguise. If you are willing to believe it and then you fight hard enough, in time, it will show you the path to the possible. It may be a long and winding road, where you hardly see the end, but if you keep on walking and walking and walking, despite all heartache and hardness you confront, you’ll get there. And if there are so many of you who believe, then, the world might also get there.

Friday, April 22, 2011

Diary DracScene Fiximix

Setelah tiga minggu mati suri, akhirnya senin, 18 april 2011, jam 7 malam, kelas DRAC Scene bisa berjalan lagi. Walau ditantang hujan besar yang tiba-tiba tumpah, arry yang datang dari tanggerang dan Edwin yang kabur dari kantornya di Thamrin, berhasil sampai dengan selamat ke Magma Entertainment.

Setelah lama tidak datang ke Magma, malam itu kami seperti membayar rindu yang sudah menunggak dan berbunga. Pagar biru besar, logo merah Magma E, pintu kaca, ruangan bernuansa kayu yang nyaman, banner film Elang, Pak Kosim, dan Ibu Diah, mengingatkan kami pada masa-masa masih rutin kelas tiga kali seminggu.

Ketika kami masuk ke dalam, Mas Charles (yang sepertinya habis cukur rambut) sedang berada di kantornya, serius menatapi komputer, seolah-olah ada kekasihnya di sana. Setelah disambut senyum hangat ala Mas Chae, Arry dan Edwin langsung sigap mengambil tempat duduk. Agenda kami malam itu adalah membahas treatment film tugas akhir kelas DRAC Scene.

Namun topik awal pembicaraan kami diambil alih oleh sebuah peristiwa mengenaskan, atau lebih tepatnya bencana yang terjadi malam sebelumnya, yaitu drama pertandingan arsenal vs Liverpool yang berakhir seri 1-1. Edwin sang arsenal man pun langsung mengoceh, curcol lebih tepatnya, tentang bagaimana mimpi Arsenal menjadi juara, hancur berantakkan ketika Eboue menjatuhkan Lucas.

Setelah itu kita membahas sedikit tentang project akhir kelas Drac Scene, sebelum pergi mencari makan malam. Karena kebetulan cacing di perut kami sudah mulai melakuan tindakan vandalism terhadap lambung.

Diskusi tentang Drac Scene berlanjut di restoran soto betawi di TIM (Taman Ismail Marzuki). Mas Charles sedikit membocorkan tentang project berikutnya yang sangat menginspirasikan. Mendengar bocorannya saja, Edwin dan Arry langsung ternganga-nganga. Setelah itu topik pembicaraan berubah menjadi soal bisnis dan pendidikan. Bersama mas Charles, kita memang tidak melulu bicara tentang film, tapi juga berbagai hal lain untuk memperkaya wawasan, hal yang penting untuk menjadi seorang penulis yang baik.

Kembali ke Magma, kami langsung membahas lebih intens tentang project akhir DRAC Scene. Salah satu dari kami melempar sebuah ide yang bisa memperkuat karakter salah satu tokoh utama di cerita kami. Namun akan ada beberapa hal lain di dalam alur cerita yang terpaksa berubah untuk menyesuaikan karakter. Namun, tampaknya cerita akan menjadi lebih kuat.

Pertemuan berakhir sekitar pukul 21:00 dengan melihat foto-foto perjalanan Pul-Kamp Mas Charles dan ayahnya beberapa bulan lalu.

Kelas akan berlanjut hari jumat, 22 april 2011, untuk membahas treatment tugas akhir Drac Scene.

See you on Friday guys ☺

Tuesday, March 22, 2011

Imagination is power


There is no limit for our imagination to grow. It can be as wide as a canvas. It can be as thick as a book. It can be as short as twitter. And it can be as free as the sky. Even so, imagination is a very lazy and mousy creature. It likes to sleep and hide. In order to bring it to life, you have to work extra hard. You have to be mean to your brain. You have to push it to the edge. Challenge it to be it best. Nurture it as if it your own child. Because, once your imagination is awake, you will have the power to change the world.

Imagination is the strongest power of all. You either destroy the world with it, or help to make a better life.

Sunday, March 20, 2011

Malam, semangkuk bubur, dan “A rush blood to the head”

Malam datang dengan cepat lalu beranjak lambat. Tubuh yang kering daya ini duduk sambil mengaduk lembut seperiuk bubur ikan di hadapan. Sepasang earphone yang menggantung di kedua telingaku, sedang menggelar konser Coldplay.

He said I’m going to buy this place and burn it down

I’m going to put it six feet underground

He said I’m going to buy this place and watch it fall

A rush blood to head adalah lagu yang sedang dinyanyikan Chris dengan suara seraknya yang megah menggema diiringi melodi yang merdu. Setelah dua hari aku diterpa tekanan bertubi-tubi, malam ini terasa sangat muram dan melelahkan. Indra yang melemah karena terus dipacu membuat aku tidak bisa menikmati indahnya malam. Padahal, entah sudah sejak kapan aku dan malam bersahabat. Kami begitu dekat sampai kadang membuat pagi cemburu dan siang gigit jari.

Bubur ikan itu ditaruh di dalam sebuah periuk berwarna putih susu. Asapnya mengepul-ngepul melukis malam, lalu hilang dibawa angin. Aku mengambil sebuah sendok porselin putih dan mencelupkannya ke dalam bubur, lalu mengaduknya perlahan. Lebih banyak lagi asap panas melayang keluar dari dalam bubur, menari-nari di udara.

Stand here beside me baby in the crumbling walls

Oh I’m going to buy this place and start a fire

Stand here until I fill all your heart’s desires

Because I’m going to buy this place and see it burn

Do back the things it did to you in return

Selagi aku mendinginkan bubur, aku perhatikan malam yang sudah semakin tua. Semakin jarang mobil melintas, tapi semakin banyak orang yang mampir ke kedai bubur ini. Tiga orang sahabat, sepasang suami-istri, keluarga, dan beberapa penyendiri, seperti aku. Semangkuk bubur memang teman yang baik di malam hari.

Ketika buburku sudah hangat, aku ambil tiga sendok dari dalam periuk dan memasukkan ke dalam mangkuk putih kecil. Aku angkat lepek berisi cabe rawit potong dan kecap asin, lalu kutungkan beberapa potong. Potongan cabe hijau mendarat di atas bubur, beberapa tetes kecap asin langsung menyerap. Perlahan aku aduk buburku hingga tercampur. Dan akhirnya datanglah saat untuk suapan pertama. Ketika sampai di mulut, bubur itu terasa hangat dan asin. Seketika moodku yang kelelahan seperti dibangunkan kembali. “Akh nikmat.” Syukurku dalam hati. Semalaman aku memang belum makan apa-apa.

Ah, ah, ah

He said Oh I’m going to buy a gun and start a war

If you can tell me something worth fighting for

Oh I’m going to buy this place, that’s what I said

Blame it upon a rush of blood to the head, to the head

Bubur itu salah satu makanan yang paling bisa memanjakan lidahku. Rasa gurih khas nasi bercampur dengan gurih bumbu dan sari daging ikan, menciptakan kenikmatan yang sulit digambarkan. Tekstur lembut bubur dengan aksen potongan-potongan daging ikan yang dimasak dengan pas hingga empuk namun tidak hancur, membawa nikmat sampai ke surga.

(And) Honey

All the movements you’re starting to make

See me crumble and fall on my face

And I know the mistakes that I made

See it all disappear without a trace

And the call as they beckon you on

They said start as you mean to go on

Start as you mean to go on

Sementara aku menikmati suap demi suap, Cold Play masih memainkan nada demi nada untuk menghiburku. Perpaduan keduanya kembali mendekatkan aku dengan malam yang melelahkan ini. Hingga akhirnya kami pun kembali rujuk. Malam ini jadi indah, dengan angin yang bertiup lembut dan mobil yang sesekali melintas. Di kedai bubur ini, orang-orang terus datang dan pergi. Tapi malam tetap setia dan bubur terus menemani, sedangkan Cold Play, aku ajak mereka pulang untuk menemani perjalananku sampai ke rumah.

He said I’m going to buy this place and see it go

Stand here beside me baby watch the orange glow

Some will laugh and some just sit and cry

But you just sit down there and you wonder why