Thursday, February 26, 2009

Where do I go from here?

Sitting here thinking about tomorrow
In the place where future is dull
To where my heart should follow
I could not perceive

I try to listens the subtlest voice inside
Direction out of sight
But all I can hear is just the sound of emptiness
Simply nothing, slowly impaled

I’ve tried, I crushed my bones
Tears my heart out
Somehow, nothing seems to come my way
Should I stop and pretend everything’s okay
Or I should wait for another ray of hope

Ooh Hope!
How I hate that word
The dope of life
Making me unwilling to stop
From trying and trying and trying
And what do I get from that?
Nothing but pain and a rude awakening
That every failure becomes the moment of probability
For I might forever be
Just another stranger in the crowd

Where do I go from here?
What should I do to stay alive?
There are thousand paths ahead
But one path I’ll never take
I’ll never run away

Wednesday, February 18, 2009

Ramalan bijak yang menjitak

Malam tadi, di sebuah kafe Buddha di Jakarta, aku melihat sebuah fish bowl yang tiga minggu lalu masih terisi penuh oleh ramalan bijak dalam gulungan kecil warna-warni yang disematkan di dalam potongan sedotan. Tapi sekarang isinya tinggal seperempat. Apakah begitu banyak orang bingung dan kehilangan arah, lalu berharap tulisan bijak di dalam gulungan-gulungan kertas kecil mirip permen warna-warni itu bisa memberikan jawaban?

Aku mengambil satu lagi tadi malam dan memilih yang biru. Karena biru adalah warna hatiku. Namun gulungan itu tak kubuka sampai beberapa menit lalu, sebelum aku memulai tulisan ini. Kubuka perlahan gulungannya, dari kiri ke kanan, sedikit-sedikit kata-kata di dalamnya mulai muncul, dan berkata;

“Cinta kasih yang sejati adalah menjaga kondisi batin sebaik-baiknya.”

Hanya satu yang kupercaya dalam hidup, yaitu keyakinanku. Tidak pernah ramalan bintang, kartu tarot, apalagi sebuah gulungan kertas kecil berisi kata-kata bijak dari sebuah Fish bowl.

Tapi aku percaya, keyakinanku selalu berusaha berbicara kepadaku melalui semua yang ada di sekitarku, termasuk gulungan kertas biru itu.

Karena beberapa hari belakangan ini aku memang sedang menyiksa batin dengan takut yang pekat. Mungkin aku harus berhenti menyiksa diri. Belajar menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya,

sebelum aku jadi sinting.

Aku tidak pernah bermaksud mencari jawaban dengan gampang. Namun lewat segulung kertas kecil berwarna biru, dengan kalimat yang terkesan omong kosong bila dibaca orang seperti aku, pertanyaan yang selama ini aku cari terjawab. Atau sebenarnya aku memang sudah mengetahui jawaban dari keresahanku, hanya saja butuh sebuah gulungan kertas biru berisi kata-kata bijak - nyaris omong kosong, untuk mengingatkan.

Because once in the while people do get lost.

Friday, February 13, 2009

Serendipity

Apa betul hidup hanya terbentuk dari satu ketidaksengajaan ke ketidaksengajaan lainnya? kalau begitu buat apa kita mati-matian berusaha? buat apa juga pusing-pusing kita merencanakan hidup, kalau ke mana kita mau menuju sampainya ke sana nasib membawa kita?

They said life is like a river, just go with the flow.

Tapi gimana kalau arus membawa kita ke telaga penuh limbah? Apakah kita tetap akan menunggu ketidaksengajaan menyelamatkan kita?

Ketidaksengajaan adalah nasib. Nasib adalah cocoknya sedangkan hidup adalah hidung kerbau. begitulah kira-kira menurut gua.

Andai hidup bisa begitu mudah, mengandalkan hanya nasib sebagai lintang arah hidup. kalau suatu saat kita tersesat atau jatuh ke jurang lantas siapa yang salah? ya nasib dooonk... kan ia yang menuntun jalan. Kalau kita miskin siapa yang salah? ya nasib lah, kan ia yang melahirkan kita dalam kemelaratan. Kalau kita gagal, siapa lagi yang salah? Nasib gila! kenapa juga ia tidak mau membuat kita lebih pandai?

Seakan-akan kalau nasib sudah bicara maka tak ada yang boleh menyanggah, semua harus menerima dengan gagah. Padahal kita bisa berubah tapi lebih memilih menyerah, pasrah.

Bagi gua, mereka yang tinggal di pinggir jalan, punya pilihan. Mereka yang kesepian tanpa teman, punya pilihan. Mereka yang lelah dengan kegagalan, juga punya pilihan.

tapi sayangnya sebagian orang, memilih untuk tidak memilih atau memilih menunggu ketidaksengajaan datang menghampiri dengan senyumnya yang paling hangat dan genggamannya yang paling bersahabat untuk menjelaskan apa tujuan hidup kita.

Padahal ketidaksengajaan hanya hadir ketika kita tidak mengharapkannya. Ketika hidup tahu kalau kita sudah berusaha setengah mati, tapi tak jua menemukan langit cerah.

Ketidaksengajaan juga tak selalu membuka jalan lurus ke depan seperti yang kita harapkan, kadang ia sedikit berbelok, menyibak jalan lain sebelum mengantarkan kita sampai ke depan. Namun itu juga tak selalu tepat di depan, kadang denpan geser kanan dikit, kadang depan miring utara, kadang depan selatan. Tapi ia juga bisa membawa kita ke jalan berputar dan meninggalkan kita terus melingkar-lingkar di dalam sana.

Ketidaksengajaan berada di sekeliling kita? Tapi bukan ia yang akan menemukan kita, tapi kita yang harus mencarinya. Bagaimana? Pertama, dan yang tersulit adalah percaya nasib bukanlah baja, tapi batu besar dan sangat keras yang bisa dipahat menjadi berbagai bentuk sesuai keinginan hati kita.

Thursday, February 12, 2009

Chocolate


I saw you yesterday
It felt like three years ago
When the first time I fell in love with you
Suddenly butterflies burst inside
Suddenly I forgot how to breathe

When you smile
The world stops
Watching dimples on your cheek
As they sip all the happiness in the world
To made your lips curled in the sweetest way

Sometimes bitterness comes
When you worry too much
Honestly baby you hurt me badly
Love is like Life
It’s a mystery
So stop guessing
Just do our things
And let faith do the dancing

Your love is euphoria
When life gets tough
And things get rough
Still I found the strength to stand
The reason to smiles

You’re sweet
Fairly bitter
But baby you made me very happy
Because you’re my chocolate
My lifetime passion

All of this time you wonder
Why do I like chocolate so much?
The answer is easy
Because it reminds me of you
Yeah. It reminds me of you

You’re sweet
Fairly bitter
But baby you made me very happy
Because you’re my chocolate
My lifetime passion

Happy Fayelentine ya doetz
13th of February

ehm... ehm... Yes. I remember. ;p

Hihihihi

Monday, February 9, 2009

minus rasa menghargai

Kalau orang hebat berhasil melakukan sesuatu orang-orang akan bilang, "Ya pantes. Namanya juga orang hebat."

Tapi bila orang hebat itu gagal, orang-orang akan bilang, "Gitu aja kok gak becus. Katanya hebat. katanya ahli."

---

Seandainya wajah orang tuanya standard, tapi anaknya cakep, orang-orang akan bilang, "anak pungut tuh."

tapi seandainya anaknya juga standard orang-orang akan bilang, "pantes. kautanam jengkol, kaudapat jengkol.

---

Bila sehari dapat penghasilan 30.000, kita akan bilang, "buat makan aja pas-pasan."

tapi kalau besok dapat 100.000 kita akan bilang, "naik sih naik, tapi tetep aja harga kebutuhan lebih mahal".

---

Kalau pergi kencan naik bus atau bajaj, cewek pasti akan bilang, "Beli motor donk say, kakiku pegel kebanyakan jalan".

tapi begitu sudah beli motor, cewek akan bilang, "ganti mobil donk honey, aku kepanasan nih".

dan kalau akhirnya mobil terbeli juga, cewek akan bilang, "Mobilnya ganti yang bagusan donk cinta, malu kan kalau ke kondangan".

---

* List mungkin akan bertambah tergantung bagaimana gua menghargai semua yang minus rasa menghargai (termasuk diri sendiri :p).

Turun ring


Aku mendeklarasikan
Mengeraskan hati
Mundur dari gelanggang
Turun ring
Tanpa melemparkan handuk putih
Dengan kepala tertunduk syahdu
Karena ini bukan soal kalah menang
Bukan sekedar siapa paling senang
ini soal semua senang, semua menang

Para penonton yang berjejal
Mempertaruhkan uang mereka
Boleh gigit jari
Kecewa setengah mati
Karena aku lelah jadi tontonan
Muak dibandingkan
Gerah menjadi ayam jantan
Yang diadu demi sebuah kehormatan

Tapi mengalah itu susah
Walau bukan berarti kalah

Biakan aku sendiri
Temukan mozaik diri
Yang tercecer
Tak berani kupungut
Di sepanjang lajur hidupku
Dulu dan akan

Bagi diriku sendiri
Si penakut dan si jiwa sempit
Aku mendeklarasikan
Mengeraskan hati
Berubah aku teguh
Menyerah Aku runtuh

Untuk kalian
Para spektator dan promotor
Aku mendeklarasikan
Mengeraskan hati
Aku mundur pantang maju
Aku mundur tiga langkah untuk melompat seribu langkah

Aku ingin jati diri sendiri
Yang tak lahir dari ilusi hati
Juga bisikan sana sini

Kan kumasuki gelanggang baru
Kunaiki ring-ring lain di luar sana
Dan kan kupijakan kaki dengan bangga
Untuk kuhadapi setiap tantangan tanpa ragu
Untuk kurayakan setiap kemenangan dengan haru
Untuk kuresapi setiap kekalahan tanpa malu

Dan semua perjuanganku untuk kubagi
Selalu seperti itu
Karena masturbasi adalah tuak yang diteguk sendirian
Sepi, sepi sendiri
Tertawa, tertawa sendiri
Nikmat, nikmat sendiri
Mabuk, mabuk sendiri

Kini,
Aku bersama diamku
Nya dengan cerianya
karena aku percaya
Berbeda itu kaya
Berbeda itu gairah
Berbeda itu BERani BErbuat Dari hAti

Jadi ijinkan aku
Restui aku
Mendeklarasikan
Mengeraskan hati
Turun ring

Sunday, February 1, 2009

Kekuatan wanita yang mengharukan


Membaca buku ini akan membuat kita terenyuh, betapa perbedaan antara benar dan salah sangatlah tipis. Dan terkadang kita, sebagai manusia menjadi terlalu naif untuk bisa membedakannya. Walau pun setting lokasi dalam buku ini berada di suatu negara dunia ketiga, yang kehidupannya jauh dari bayangan kita dan selalu dipandang sebelah mata, tapi konflik dan fenomena yang terjadi terasa begitu mesra dengan sejarah patriarki umat manusia di mana pun.

Setting dalam buku ini terjadi sekitar tiga decade lalu di Afganistan, sebuah negara yang lebih kita kenal dengan bom bunuh diri, teroris, dan Taliban ketimbang keindahan sastranya. Cerita dibuka dengan kehidupan dua orang perempuan yang berbeda masa tapi disatukan dalam kemiskinan dan kegetiran hidup. Mariam yang baru berusia lima belas tahun hidup bersama ibunya yang menderita epilepsy yang biasa dipanggil nana (panggilan ibu dalam bahasa afganistan). Setiap hari Mariam harus melewati waktunya dengan berbagai cercaan dan pelecehan dari nana. Harami (sebutan untuk anak haram) begitu Nana biasa memaki Mariam yang terlalu kecil untuk mengerti arti kata itu, tapi cukup peka untuk merasakan kebencian di baliknya. Dalam satu bagian khaled Hosseini menggambarkan ketakutan Mariam yang begitu dalam ketika secara tidak sengaja, ia memecahkan cangkir porselin kesayangan nana. Selain memiliki seorang ibu, Mariyam juga memiliki Jalil, ayahnya yang begitu mempesona dan tinggal jauh di kota. Berbeda dengan Nana, jalil merupakan orang yang hangat dan sangat menyayangi Mariyam.

Cerita akan menjadi semakin menarik ketika Mariam memutuskan kabur dari rumah untuk mengunjungi Jalil, karena tak lama kemudian Nana meninggal akibat bunuh diri. Semenjak itu berbagai kejadian mulai menimpa Mariyam, salah satunya ketika Jalil memutuskan untuk menikahkan Mariam dengan seorang saudagar sepatu dari Kabul yang umurnya jauh lebih tua, Rasheed.

Dari sana, dengan jelas dan emosional, Khaled Hosseini menggambarkan bagaimana wanita pada masa itu, hanya dihargai akan kemampuaanya melahirkan keturunan. Dan ketika si Mariyam tidak bisa memenuhi kebutuhan itu, maka ia menjadi tak lebih dari sekedar budak. Berbagai penyiksaan fisik dan mental dialami Mariam dari suaminya.

Ketika pembaca sudah tenggelam dalam kisah kemalangan Mariam, tiba-tiba khaled Hosseini berpindah alur dan menceritakan tetangga Mariam, Lyla. Tidak seperti Mariam, kehidupan Lyla berbanding terbalik. Lyla hidup di keluarga yang hangat dan lebih bebas bersama kedua orang tuanya. Ayahnya selalu mengutamakan pendidikan terbaik bagi lyla, walaupun ia adalah seorang perempuan. Meski begitu, Lyla juga mempunyai kisah gelapnya sendiri. yaitu ibunya. Semenjak kepergian kedua kakak laki-lakinya untuk bertempur, ibunya menjadi dingin dan sendiri. hal ini semakin menguatkan lemahnya posisi perempuan dibandingkan laki-laki.

Namun pembaca tidak kehilangan kisah tentang Mariam, hanya saja kita melihatnya dari mata Lyla. Lyla sering melihat rasheed, suami Mariam berjalan berdampingan dengan Mariam yang memakai burqa. Sekilas Hosseini berusaha menujukkan kepada pembaca, betapa di balik setiap burqa tersembunyi cerita yang tak bisa diungkapkan.

Selain memiliki keluarga yang lengkap dan kesempatan untuk menempuh pendidikan yang tinggi, Lyla juga memiliki kisah cinta yang indah. Bersama tariq, seorang remaja laki-laki berkaki pincang yang pintar dan pemberani, Lyla melalui hari-harinya dengan indah. Tariq sering mengajak Lyla ke bioskop dan pergi melihat patung Buddha terbesar di afganistan.

Kehadiran Lyla tampaknya membuat kita agak sedikit bingung, apa hubungannya antara Mariam dengan Lyla. Tapi bila kita terus membaca dari satu halaman ke halaman berikutnya, kita akan diajak melihat sisi lain dari kehidupan wanita di afganistan pada masa itu. Bahwa ada juga golongan oang yang tidak melihat wanita hanya sebagai objek. Hal ini juga menggambarkan kemajemukan masyarakat afganistan.

Khaled Hosseini memang merupakan seorang penulis yang pandai mengaduk-aduk perasaan pembacanya, hal ini ditunjukkan ketika ia menuliskan bagaimana kehidupan keluarga Lyla yang begitu sempurna di masa itu, menjadi hancur berantakan. Hal itu terjadi ketika sebuah roket meluncur nyasar menghantam rumah mereka. Dalam hitungan detik, kejadian itu merengut semua yang ia miliki, merubuhkan rumahnya, membunuh kedua orang tuanya, dan menghancurkan harapannya.

Kepedihan Lyla diperdalam ketika ia kehilangan jejak Tariq yang sebelumnya sudah terlebih dahulu pergi. Setelah kehilangan kedua orang tuanya dan juga Tariq, Lyla yang merasa sendirian jatuh dalam pelukan rasheed, suami Mariam. Melalui kejadian demi kejadian, akhirnya Lyla menjadi istri kedua Rasheed.

Kebencian menjadi pertemanan

Kemalangan yang terjadi pada Lyla tidak serta merta menghilang ketika ia menikahi Rasheed. Rasa cemburu yang mengontrol Mariam membuat cerita menjadi semakin tegang. Seperti wajarnya istri kedua, di mata Mariam Lyla harusnya melayani dia dan posisinya berada setingkat lebih rendah. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Lyla mendapatkan perhatian yang dulu pernah dimiliki Mariam dan ia diperintah Rasheed untuk selalu siap melayani Lyla. Hal ini karena Lyla bisa memberikan keturunan bagi Rasheed. Padahal bayi yang dikandung Lyla bukanlah milik rasheed melainkan milik Tariq.

Kesirikan demi kesirikan ditunjukkan Mariam kepada Lyla melalui berbagai cara. Hingga akhirnya kelahiran anak Lyla lah yang berhasil melunturkan kebencian Mariam kepada Lyla. Mereka pun perlahan mulai berteman dan saling melindungi satu sama lain.

Pelajaran sejarah

Membaca novel ini juga seperti membaca sejarah. Pada beberapa bagian Hosseini menceritakan bagaimana arogannya kehidupan orang-orang barat di afganistan. Lalu juga diceritakan pergantian kekuasaan dari jajahan uni soviet yang diambil alih oleh pejuang mujahidin setelah delapan tahun pertempuran yang melelahkan. Setelah masa-masa transisi itu, Hosseini juga menceritakan bagaimana perang saudara terjadi di afganistan. Perang yang membawa penderitaan kepada rakyat biasa, semua demi ambisi semata. Kemenangan Taliban yang menghembuskan angin kebebasan justru malah membuat rakyat menderita. Berbagai peraturan dan jam malam justru memenjarakan kebebasan itu sendiri.

Kekuatan wanita yang mengharukan

Layaknya seorang feminist sejati, dalam buku ini Hosseini juga menggambarkan dengan jelas bagaimana kekuatan sesungguhnya wanita. Hal ini semakin terasa kuat karena ia muncul di tengah-tengah masyarakat yang percaya kalau kedudukan wanita itu berada di bawah pria. Wanita hanya sebagai alat untuk reproduksi dan mengurus keluarga. Terlihat ketika rezim Taliban datang dan melarang kaum wanita untuk menempuh pendidikan dan harus tidak boleh keluar rumah tanpa suaminya. Selain itu bagaimana rasheed mempelakukan Mariam dan Lyla,, dengan memaki dan memukuli mereka merupakan perwakilan dari apa yang terjadi.

Kekuatan wanita yang mengharukan hadir ketika dengan hebatnya Lyla dan Mariam berjuang membebaskan diri dari cengkaraman Rasheed. Berbagai siksaan fisik dan teror jiwa mereka hadapi berdua untuk pergi dari Kabul menuju ke tempat yang lebih baik, lebih damai. Walau di tengah perjuangan itu, salah satu dari mereka harus berjuang sendiri sampai ke tempat tujuan. Namun bukannya memang seperti itulah kehidupan, untuk bisa sampai ke tujuan, dan bisa menikmati kebahagiaan, harus ada pengorbanan yang tidak sedikit. Di sini lah salah satu letak kepiawaiaan Hosseini dalam bercerita, ia bercerita sesuai dengan realitas yang sangat terasa hingga bisa membuat pembaca lupa kalau mereka sedang membaca sebuah karya fiksi.

Akhir novel ini memang terasa seperti yang biasa kita tonton di film-film Hollywood, yaitu Happy Ending. Tapi pada akhir juga ada sebuah kejutan yang mungkin bisa membuat para pembaca menjadi dilemma. Yaitu setelah perjuangan yang mengorbankan begitu banyak, kenapa Lyla harus kembali ke tempat di mana semua memori hitam hidupnya ditorehkan. Namun, setelah membaca dari awal sampai akhir, dan meresapinya dengan baik, kita akan mengerti keputusan yang diambil Lyla merupakan keputusan yang riskan, namun sekaligus suatu kebenaran yang lahir dari rasa cintanya kepada tanah airnya.

***

Inspirasi yang didapatkan:

1. Rasa cinta tanah air yang begitu besar hingga meniadakan aku. Di akhir cerita, Lyla yang telah berhasil hidup damai dan bahagia, memilih untuk kembali ke kabul. Padahal di saat itu, keadaan di sana masih tak menentu. Tapi rasa kecintaan dan impian yang besar untuk membangun negeri, membuat Lyla memutuskan untuk kembali.

2. Kita tak bisa memiliki semua yang kita inginkan dalam hidup. Terkadang ada hal-hal yang memang tidak bisa menjadi milik kita walau pun sudah berjuang sampai berdarah dan berair mata setengah mati.

3. Tentang harapan. Perjuangan yang dijalani Lyla dan Mariam menginspirasikan harapan selalu ada selama kita tidak berhenti berharap dan berjuang.

4. Lebih menghargai wanita. Wanita bukan sekedar alat reproduksi dan pelayan keluarga. Bila mereka diberikan kesempatan dan kepercayaan, maka tak ada yang tak mungkin bisa mereka lakukan.