Monday, May 17, 2010

Bandung, buat pemula

Sore turun dengan anggun dalam gaun jingga keemasan yang dirajutnya dari benang-benang spectrum cahaya. Selendangnya yang panjang dan megah menyelimuti seluruh kota menjadikan Bandung tampak sephia. Belum pernah saya melihat sore seindah sekaligus seasing ini.

Ini adalah ketiga kalinya dalam seminggu saya dan atasan pergi ke Bandung. Tapi setiap kali, saya masih saja merasa penasaran dengan kota ini. Ada sesuatu yang asing tapi menarik dari Bandung.

Jam lima sore saya tiba di bandung. Jalanan sibuk dan padat dengan mobil-mobil dan orang-orang pulang kantor. Di sana sini terdengar orang-orang berbicara dengan logat khas Sunda yang jenaka (memberi tekanan di setiap akhir kata). Bagi saya Bandung adalah kota yang menarik. Berbeda dengan anggapan atasan saya, baginya Bandung hanyalah kota kecil yang sudah sesumpek Jakarta.

Kalau dilihat dari beberapa segi, Bandung memang mirip Jakarta. Salah satunya adalah macet. Suasana lalu lintas yang padat dan mobil-mobil tersendat yang menjadi “makanan” kita sehari-hari di Jakarta, bisa kita cicipi di beberapa tempat di Bandung. Walau tidak serumit Jakarta. Kedua adalah banyaknya anak-anak jalanan dan gelandangan yang berkeliaran di lampu merah, sampai tidur di trotoar. Ketiga, suasana beberapa tempat yang mirip dengan Jakarta.

Namun bukan berarti Bandung tidak memiliki identitas. Julukan sebagai kota seni yang disandang Bandung bukan hal yang percuma. Seni arsitektur peninggalan jaman Belanda bisa kita lihat hampir di semua sudut Bandung. Walau hanya berjarak dua jam dari Jakarta, di sekeliling bangunan-bangunan tua khas Belanda ini saya merasa berada seratus tahun jauhnya dari Jakarta.



Salah satunya di Jalan Braga. Jalan satu arah yang diapit deretan restoran dan pertokoan ini menyimpan bukti sejarah penjajahan Belanda hampir di setiap sudut bangunannya. Waktu seolah berhenti pada bangunan-bangunan itu. Seperti pada sebuah toko kue yang bernuansa art deco dengan cat putih yang kusam di sana sini. Bahkan lantainya masih keramik berwarna merah marun.

Ada juga sebuah toko buku sederhana yang jendela kayunya seperti yang bisa kita temui di museum Fatahailah (Jakarta). Atau toko lain yang bentuk arsitektur bangunannya adalah replika stasiun kota, Beos, di Jakarta. Bagian atas gedungnya menonjol melengkung dan berwarna putih.



Selain membuat saya merasa hidup di masa lalu, Jalan Braga juga membuat saya merasa berada di sebuah galeri seni besar. Deretan lukisan-lukisan karya tangan-tangan seniman jalanan Bandung tergantung di tepi jalan seperti layaknya sebuah pameran lukisan. Mulai dari sketsa wajah, sampai pemandangan para petani yang sedang memanen di sawah yang menguning. Memang belum “secanggih” karya pelukis-pelukis kebanggan Bandung, tapi setidaknya cukup memanjakan mata dan menggelitik rasa.



Hal kecil lain yang saya suka dari Jalan Braga adalah jalanannya bukan aspal, melainkan rangkaian batu.

Sayangnya, bila jam pulang kantor, Jalan Braga bisa menjadi sangat macet dengan pengendara sepeda motor yang suka naik ke atas trotoar, mengganggu para pejalan kaki. “hah… kayak Jakarta aja.” keluh saya dalam hati. Lantas apa dong yang membuat saya terpincut dengan kota Kembang ini?



Setelah saya renungkan beberapa saat, Adalah rasa asing yang membuat kota ini begitu menarik. Mungkin karena saya jarang pergi ke Bandung. I love being a stranger. I couldn’t help the excitement of “what’s next”.

Jadi lain kali bila ada orang yang mengatakan Bandung itu membosankan, coba Tanya dulu, mungkin dia pulang-pergi Jakarta-Bandung, seperti Sudirman-Thamrin. Telalu sering sampai bosan. Sedangkan bagi kita yang masih asing dengan kota Bandung, perjalanan bisa menjadi kejutan yang tak ada habis-habisnya.

Thursday, May 13, 2010

When stop means go, when wrong feels right

In a city where rules are made to be broken, trying to live a law-abiding life can sometimes leave one feeling alienated. When we try to do the right thing while everyone else is doing the opposite, we can feel like we are the ones who “just don’t get it”.

Living in a big city like Jakarta, it is common for wrongs to feel right. The absurd paradox penetrates almost every aspect of our lives, skewing our perception of social morality and logic.

Crossroads are a good example. When constrained by a red light, it is often considered legitimate, even expected, to proceed if vehicles coming from the other directions are few and far between. This is, the theory goes, the perfect time to get out in front and make up lost time. But we don’t do that — because it is not right. After all, the red light is there not to inconvenience us, but to save our lives.

But, when the cars and motorcycles behind and around us start honking their horns and trying to navigate around us, we begin to feel edgy. Should we follow them or not? The earsplitting horns and engines reviving begin to chip away at our self belief.

We know it’s not right, but maybe it’s not so bad if everyone else does it. So, in the end, we give in and go with the flow.

People tend to search for the easiest path to reach their goal and avoid confrontation, even if it means breaking the rules.

This is one of the reasons why “under the table bribes” is the preferred method of payment here, and why our streets are in grid lock for 14 hours a day.

We often justify these actions by arguing that many people do the same thing.

How many times have we heard someone said, “Hey, everyone else is doing it, so why aren’t we? If there is an easier way, why bother doing it the hard way?”

Such reasoning compels us to ignore the voice of our conscience and think only of our happiness.
Another common sin is littering.

I often see my friends throwing their cigarette butts into the gutter or on the street, as if it were all a giant trash bin.

When I tell them to desist, they give me a weary smile and one of them inevitably says, “Relax, It’s just a cigarette butt. Others throw away far worse things.” The others nod in agreement.

Suddenly I feel I am being obnoxious, — a mother who tells her children not to go out in the rain without an umbrella. Maybe my friends are right — this city is a mess — why bother?

But yesterday, when I was on my way home from the office at 4 in the morning, feeling exhausted, suffering back pain and craving my bed, I witnessed a motorcycle in front of me run a red light and I too eyed a chance to shorten my trip home. However, just as I was making my way over the white line, I saw that one of the motorcycles had been stopped by a police officer.

“Looking for extra money, huh?” I sneered at the cop from afar. I was judging the cop without realizing that I was the guilty one because I had run a red light.

We often complain that Jakarta is so unorganized. And then, inevitably as soon as we have begun complaining we begin to blame. We blame the central government, we blame the city administration, we blame others, but never do we blame ourselves. We forget that we are all in this together.

The big question facing so many of us is — when we are caught in the trap of “wrong feels right”, should we go with the flow or against it?

If we choose to go with the flow that means that no matter what happens to the city, no matter how bad it becomes, we must stand it — we can’t complain.

But if we choose to go against the flow— to do the right thing - we may despair at the actions of others, but if we don’t start with ourselves, we will never start at all.

Jakarta Post| Tue, 05/11/2010 10:15 AM | City

Saturday, May 8, 2010

Short interval

Mengamati tenangnya suasana kafe ini ditemani melodi romantis Rod Stewart yang melantun mengawang-ngawang dari dalam earphone, hati pun menjadi sedikit sejuk. Wangi kopi yang dipanggang melayang lembut merasuki jiwa, membuai sukma. Ini saat di mana kita bisa menikmati wajah asli kafe ini.

Ini pengobatan jiwa namanya.

Namun beberapa saat kemudian...

jarum pendek nyaris menunjuk angka delapan. Jam makan malam sudah berakhir. Orang-orang mulai berdatangan. Seorang anak kecil cempreng merengek minta dibelikan kue-kue yang bertengger di balik etalase. Suaranya menarikku dari lamunan.

seorang wanita cantik bertubuh aduhai berhenti di depanku mengusik perhatian, tapi bukan hatiku.

Suasana tenang kafe ini mulai tercemari. Polusi-polusi suara mulai berdatangan bersama pengunjung.

seorang anak kecil berbaju merah dan berambut tentara mampir di sampingku mengintip isi laptopku sambil bersuara seperti orang memanggil burung. "keeert... keeeer!"

Suara mesin menggiling biji-biji kopi mulai mengudara.

Sekelompok ABG tertawa-tawa nyaring dari sofa sebelah.

Orang-orang berkelibatan di mataku.

hm... kayaknya sekarang sudah tiba giliran aku yang makan malam.