Friday, February 17, 2012

Pesawat lepas landas, dan ceritapun dimulai

Mesin pesawat berderu kencang mendorong pesawat untuk berlari secepat kilat di lintasan terbang. Tak lama kemudian hidung pesawat mulai terangkat. Tubuhku terdorong ke belakang, lekat ke sandaran kursi. Pesawat bergetar seakan sedang bersusah payah untuk melawan kekuatan grafitasi. Lalu perlahan, dari balik jendela pesawat, semua yang di darat menjadi miniatur dan jutaan kunang-kunang.

Penerbangan menuju Surabaya ini memakan waktu satu jam lima belas menit. Itu sama saja dengan tujuh puluh lima menit berada 30.000 kaki di atas permukaan tanah. Berbagai potongan imajinasi tentang pesawat yang jatuh atau sayap yang patah atau turbin yang terbakar langsung muncul di kepalaku. Panik merangkak lewat kerongkongan. Aku berdoa.

Pramugari memperagakan prosedur keselamatan bila terjadi kecelakaan. Saat ia sedang memperagakan bagaimana mengenakan baju pelampung, aku malah membayangkan ia mengajarkan bagaimana kita melucuti pakaiannya. Apakah aku normal? Aku berdoa. Bukan untuk bertobat, tapi agar imajinasiku bisa terwujud suatu hari nanti. :p

Aku duduk di kursi tengah, diapit seorang wanita berjilbab yang ramah dan seorang bapak yang tampak seperti pegawai pemerintahan. Bapak di sebelahku ini adalah tipe orang yang suka menertawakan kesusahan orang lain. Buktinya, tadi sebelum pesawat lepas landas, ia menertawakan seorang pria yang kesusahan memasukkan tasnya ke kabin atas. Dia menengok ke arahku dengan maksud mengajakku ikut tertawa, tapi dengan tambengnya aku mengacuhkannya sambil memasang muka ketus. Akhirnya ia diam sendiri menikmati leluconnya yang aku bikin pahit.

Aku membuka buku kumpulan cerpen Anthony doerr dan membaca cerita tentang seorang anak kecil yang harus pindah ke Lithuania setelah kedua orang tuanya meninggal karena kanker. Kisah itu membawaku puluhan ribu kilometer ke negara bekas jajahan Uni Soviet dan German itu. mengikuti kisah demi kisah.

Aku kembali dari imajinasiku dan duduk di pesawat lagi ketika pramugari menyodorkan kotak snack berwarna merah darah. Isinya tak lebih dari sebuah roti dan kue murahan serta segelas air mineral. Aku lahap roti yang hambar rasanya itu tak sampai habis. Aku singkirkan sisanya lalu segera kembali ke buku. Beberapa detik kemudian aku kembali berada di Lithuania.

Pesawat terguncang. Kami sedang melewati gumpalan awan. Panik menggelayut di dalam dada. Aku teringat maskapai yang pernah jatuh lalu hilang di tengah laut. Aku membayangkan pesawat ini jatuh, mungkin rasanya seperti naik roller coaster ketika sedang meluncur turun, hanya saja yang ini tidak akan pernah naik lagi. Aku menahan napas. Mencoba mengusir pikiran buruk dari kepalaku. Aku berdoa.

Aku mengecek sabuk pengaman yang melingkar di pinggangku dan aku lihat kepala sabuknya yang tampak kusam dan baret-baret, seolah-olah diambil dari reruntuhan pesawat yang pernah jatuh. Aku berdoa lagi.
 
Dasar lebay. Hanya awan kecil dan sedikit guncangan saja. Sekarang pesawat sudah normal kembali. Aku perhatikan kedua orang di sebelahku sedang tertidur pulas (tidak seperti aku yang panik).
Entah berapa jauh lagi sampai Bandar udara Juanda. Aku mengintip keluar jendela, gelap total. Aku bahkan tidak tahu apakah pesawat ini benar-benar sedang bergerak atau tidak. Aku membayangkan kalau sebenarnya kami sedang berada di sebuah simulator pesawat terbang. Sebenarnya kami berada di sebuah ruangan dengan dinding kaca yang di baliknya, sekelompok ilmuwan sedang berdiri dan melihat kami untuk meneliti reaksi orang di dalam pesawat.

Pesawat kembali berguncang. Aku kembali panic. Walau tidak separah tadi.

Aku berusaha mendengarkan suara di dalam pesawat. Dua orang wanita sedang ngobrol dengan seru beberapa bangku di belakangku. Selebihnya tak ada. mungkin semua orang tidur. Atau mungkin juga punya ketakutan yang sama denganku sampai mereka tak sanggup bicara.

Dingin menusuk di dalam pesawat. Tak ada selimut untuk penumpang. Aku menggigil seraya dingin merayapi bagian tubuhku yang telanjang. Hidung bobrok ini sudah mampat semenjak pertama terkena dingin. Aku hanya bisa bernapas sedikit-sedikit. Penciuman lumpuh hampir 80 persen. Tiba-tiba, aku mencium bau durian. Walau hidung mampat, semua orang juga bisa mengenali bau menusuk itu. Siapa sih yang makan durian di pesawat. Aku mengumpat dalam hati. Tak lama bau durian itu pergi. Tenang kembali.

Dalam tenang pesawat bergumam lembut. Pramugari bolak-balik seperti model di catwalk. Kenapa sih pramugari tampangnya judes. Kadang tidak cantik tapi ketus iya.

Ketika sedang berpikir tak jelas arah, bau durian yang tadi kembali tercium. Aku mengendus-ngendus seperti anjing sambil celingak-celinguk mencari sumber bau itu. Entah ada apa dengan gerakkan itu yang membuat penciumanku sedikit lebih baik, karena di momen itu aku sadar kalau itu bukan bau durian melainkan bau KENTUT! Seseorang sedang sakit perut dan belum boker untuk waktu yang lama. seseorang yang mungkin baru saja makan durian dan BANGKAI TIKUS. Sialnya aku terlanjur menghirup baunya dalam-dalam. Sekarang aku menahan napas. Tapi terlambat karena aku bisa merasakan bau itu sedang meracuni di paru-paruku.

Cewek berjilbab di sebelahku terlalu baik dan beriman untuk punya bau kentut sebusuk itu. kalau gitu kemungkinan terakhir adalah bapak di sebelahku. Keparat! Aku menahan napas dan berdoa. Semoga bapak di sebelahku ini kena wasir.

Pesawat mengurangi kecepatannya. Aku tahu dari deru mesin yang melemah. Jutaan kunang-kunang kota sudah bisa kembali terlihat dari balik jendela kecil di dinding pesawat. Surabaya tinggal selangkah lagi.

Kapten pesawat mengumumkan kalau kita akan segera mendarat di Bandar udara Juanda dengan bahasa Indonesia lalu bahasa inggris yang canggung. Tak lama pesawat turun. Semua rumah dan pohon yang tadinya tampak kecil sekarang kembali ke ukurannya semula. Tekanan di dalam kabin bertambah. Urat leherku tertarik. Sakit minta ampun seperti mau putus. Aku berdoa. Pesawat mendekati landasan. Roda belakang menyentuh landasan, diikuti roda depan. Pendaratan yang sempurna! Hatiku pun mendarat ke tempat yang empuk. Legah bukan main. 

Pesawat merapat, penumpang cepat berdiri. Lelah terlalu lama di pesawat. Aku mengambil tas dari kabin atas lalu melangkah keluar dari pesawat. Aku selamat tiba di Surabaya. Aku berdoa. Bersyukur. Sekarang, mari kita nikmati Surabaya.
"Another departure, another adventure awaits."

Wednesday, February 15, 2012

Manusia penyiksa hidung

Kisah ini mungkin bukan pengalaman hidup gua yang paling buruk, tapi pastinya yang paling BAU. Selamat menikmati dan gua sarankan, tutup hidung selagi membaca.

Malam tadi, setelah selesai rapat, gua dan ketiga teman memutuskan untuk mencari makan. Mengisi kembali energi yang tadi terbuang untuk memeras otak. Tepat di saat kita akan berangkat, kami bertemu dengan seorang teman (pria) yang kebetulan juga sedang kelaparan. Alhasil, kami mengajaknya. Dan ini ternyata menjadi momen pembuktian kalau kebaikan hati tidak selalu berbanding lurus dengan berkah yang baik.

Tepat ketika si teman ini masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku sebelah gua, bau tidak sedap langsung masuk menusuk ke dalam hidung. Baunya ya Tuhan, perpaduan sempurna dari asin keringat dengan bau matahari dan bau celana jeans yang lembab. Sepertinya tak ada kata dalam Bahasa Indonesia yang bisa menggambarkan betapa kejam baunya. Dalam sekejap alarm hidung gua langsung meraung-raung tanda bahaya. Namun apa daya. Tidak mungkin kan gua suruh si teman ini keluar.

Akhirnya gua mencoba satu-satunya cara, yaitu berusaha sekuat tenaga menahan napas dan hanya menariknya sedikit-sedikit bila dada sudah sesak. Tapi gua kan bukan onta yang bisa menyimpan udara di dalam punduknya. Eh tunggu, onta kan menyimpan air. Akkh loe ngerti kan maksud gua.
Namun drama bau tidak sedap ini belum sampai klimaksnya. Teman gua ini adalah seseorang yang suka sekali ngobrol dan bercanda. sedangkan gua, adalah orang yang sungkan. Jadi bila ada orang yang melucu, segaring apapun, gua pasti berusaha untuk tertawa. Seperti yang saudara-saudara sekalian pastinya sadar, kalau orang bicara secara tidak langsung ia juga mengeluarkan udara mulut. Sedangkan bila orang tertawa, dia pasti akan lebih dulu menarik udara masuk ke paru-paruya. Di sinilah puncak segala macam bau menemukan kesempurnaannya. 

Pada satu momen, teman gua ini melontarkan sebuah lelucon sambil menghadapkan wajahnya ke arah wajahku. Saudara-saudaraku, andai hanya lelucon yang terlempar dari mulutnya tidak ditambah hawa jigong, pasti gua akan tertawa terbahak-bahak. Bau mulutnya dibonceng hembusan angin AC mobil seperti tentara Belanda kembali ke Indonesia dibonceng tentara NICA, mampir ke dalam hidung gua untuk menjajah. Aromanya yang “sedap” berhasil membawa bau busuk ke level yang lebih tinggi. Seolah-olah orang ini baru saja makan bangkai seekor tikus yang baru saja makan bangkai tikus lain yang baru saja makan bangkai kecoa yang baru saja makan bangkai bakteri dari got. Rasanya tidak perduli sekuat apa gua berusaha menahan napas, baunya tetap saja tercium. Kepala gua langsung pusing dan perut gua mulas. Rasanya kalau di saat itu gua kentut, baunya bakal minder.

Secara tidak sadar gua jadi menyetir mobil sedikit ngebut. Begitu sampai di tempat tujuan, gua langsung menghirup wangi aroma malam yang baru saja dirumpahi hujan. Segarnya, amboi bukan kepalang.

Setelah menetralkan bau mengerikan tadi, gua langsung mendekati salah satu teman semobil yang duduk di belakang. Gua minta dia untuk duduk di depan menggantikan si pria itu nanti waktu pulang. Dengan kejamnya, teman gua ini hanya tertawa meledek lalu dengan teganya bilang, “untung dia gak duduk di belakang.” Lalu melengos pergi.

Akhh kejam. Itu tandanya dia menolak permintaan gua. Akibatnya sepanjang makan, syaraf penciuman gua stress membayangkan perjalanan pulang. Gua gak sanggung melewati penderitaan yang sama sekali lagi. Apalagi kita makan di restoran out-door dalam malam panas yang lembab. Langsung gua membayangkan bagaimana keringat mengalir dari sejuta pori-pori di tubuhnya bersama dengan uap tubuh. Lalu keduanya akan menyerap ke pakaiannya yang entah sudah berapa lama tidak dicuci. 

Hilang napsu makan gua.

Setelah satu jam makan, tiba saatnya pulang. Pasrah hanya satu-satunya pilihan yang gua punya. Sedangkan teman (baca: pengkhianat) yang tadi menolak permintaan gua, hanya bisa tersenyum iseng dan berlagak bego.

Anehnya! Di dalam mobil bau itu tidak tercium. Hanya tercium sisa-sisa aroma khas mobil baru. Apa jangan-jangan indra penciuman gua sangat trauma sampai jadi kebal? Apapun alasannya, gua bersyukur kalau selama perjalanan pulang gua gak harus tersiksa lagi. Dan kita semua selamat sampai di rumah masing-masing.

Entah hikmah apa yang bisa gua ambil dari teman gua sang penyiksa hidung itu, tapi yang pasti gua berterima kasih sudah mengalami kejadian yang tidak menyedapkan tadi. Karena kadang memang dari sana hidup kita jadi punya warna-warni yang unik.