Friday, January 29, 2010

in a place with time

In the midst of books, on a bamboo chair, here I am, sitting alone staring at my Lenovo not sure what I should do. The air con is breezing icy breath severe through my skin leaving pain in my bones.

Mr. Curiosity playing through my earphone, the slicing cadence makes me weaker and weaker.

Hey Mr. Curiosity
Is it true what they've been saying about you
Are you killing me?
You took care of the cat already
And for those who think it's heavy
Is it the truth
Or is it only gossip
Call it mystery or anything
Just as long as you'd call me
I sent the message on did you get it when I left it
See this catastrophic event
It wasn't meant to mean no harm
But to think there's nothing wrong is a problem


I take a sip of a hot milk tea, writers tea they called it, to keep me warm, to rest my unrest anxiety. But it went cold even before the glass reach my lips. Time consumes, first was my dreams and now is the heat of my drink. And it will never stop, no matter how hard you fight, how smart you hide.

Not even magic can stop time’s beastly appetite. Not even magic. Let alone myself.

Time goes tik tok tik tok
While my life goes boom boom boom KABOOM!

Sunday, January 3, 2010

Euforia Negeri Sakura


Lima hari pulang dari jepang, aku masih saja dimabuk euforia negeri sakura itu. Begitu banyak pesona yang melekat di hati dari setiap sudut kota, dari gaya berpakaian orang-orangnya, dialek dan bahasanya, dan cuaca desember yang sejuk. Semua menjadikannya sulit untuk dilupakan.

Banyak orang bilang, tinggal di Jepang bikin mati muda. Stress. Jalan bersama orang Jepang saja capek, karena langkah mereka sangat cepat seakan mereka selalu terlambat. Tapi itu mungkin salah satu faktor kenapa Jepang bisa sangat maju, karena mereka menghargai setiap detik.

Jepang pada bulan Desember adalah kamar yang tak pernah dimatikan Ac-nya. Hawa dingin dengan sepoi angin sejuk yang menusuk dan udara segar minim polusi, begitulah kira-kira. Bagi saya yang setiap hari didera hawa panas dan lembab, musim dingin adalah hal yang misterius sekaligus menyegarkan.

Apalagi ditambah semarak menjelang natal dan tahun baru, semua menjadi semakin sempurna.



Tujuan pertamaku adalah Fujinomiya. Sebuah kota kecil di kaki gunung Fuji, untuk urusan ziarah ke kuil pusat Buddha Niciren Daisyonin, di komplek kuil Taisekiji. Seperti halnya Candi Borobudur, kuil ini telah berumur ratusan tahun. Kompleknya yang luas dengan jenis bangunan khas Jepang di masa feodal dulu, membuatku merasa kembali ke masa lalu. A journey trough time, begitu saya menyebutnya.

Setelah empat hari berziarah, akhirnya saya turun gunung dan langsung masuk ke gemerlap suasana metropolitan Jepang.



Karena waktu yang singkat, saya hanya bisa berkunjung ke dua distrik, yaitu Harajuku dan Shinjuku, sedangkan sisanya dihabiskan bersenang-senang di Disney Sea.

Untuk perjalanan pertama saya memulai dari Harajuku.

Perjalanan dari satu distrik ke distrik lain, bisa dilalui menggunakan yamanote line, atau kereta dalam kota yang rutenya berputar. Bila Anda berencana untuk mengunjungi lebih dari satu distrik, lebih mudah dan murah menggunakan one day ticket seharga 750 yen atau ± Rp 75.000,-.

Keluar dari stasiun Harajuku malam sudah menangkupkan selimut bintang-bintangnya. Padahal waktu itu baru jam lima sore. Angin musim dingin yang bertiup cukup kencang tidak mengkhawatirkan, malah rasanya seperti menerbangkan mood ke tingkat ekstasi.

Harajuku yang saya kira dengan yang saya lihat ternyata berbeda sama sekali. Jalanan penuh gemerlap signage dan ribuan lampu cabai pada pohon-pohon di sepanjang jalan memberikan kelas tersendiri. Deretan toko-toko merk dunia sampai lokal bersinar-sinar terang dan menggoda. Seorang yang bukan shopaholic pun pastinya bisa lepas kendali jika berada di sana. Apalagi dengan iming-iming sale natal dan tahun baru.

Tempat pertama yang kami kunjungi adalah sebuah toko baju dan sepatu yang terletak di bawah jalanan. Lucunya, toko itu men-display baju-baju jualannya di samping jalanan agak jauh dari pengawasan. Tapi tidak ada satu pun baju yang hilang. Coba bayangkan apa yang akan terjadi kalau cara menjajakan ini kita praktekkan di tanah air. Itu jugalah salah satu pesona Negeri Matahari Terbit, tingkat kejahatannya sangat rendah. Hanya saja hal ini sudah agak tercemar oleh para pendatang.

Hal lain yang membuat saya terkesima, adalah banyaknya vending machine di sepanjang jalan. Konon menurut yang saya baca, penggunaan listrik untuk mesin penjaja tanpa kasir ini di seluruh Jepang, lebih besar ketimbang penggunaan listrik di seluruh negara Srilanka.

Setelah beberapa kali keluar masuk toko, perut mulai minta giliran diperhatikan. Maka mampir lah kami di sebuah restoran ramen kecil yang berada di ruko lantai dua. Walau kecil, tapi restoran itu ramai minta ampun. Hanya dengan sekitar 10 pilihan menu, kami dibuat bingung, karena tidak mengerti membaca menu dan pelayan yang ditanya tidak mengerti bahasa inggris. Ajaibnya ramen yang kami pesan, semuanya sukses, alias nikmat. Tapi bagi bukan pemakan pork, sayangnya Anda tidak bisa makan di sini.

Satu hal yang perlu diketahui bila berada di Jepang adalah, penduduknya, sebagian besar tidak bisa berbahasa inggris. Tapi untungnya mereka bisa satu bahasa universal, bahasa tubuh.

Setelah perut full tank, kami menuju ke sebuah gang yang panjang dan disesaki beratus jenis toko dan kios. Kalau Anda pernah ke pasar baru, mungkin seperti itulah kelihatannya, hanya saja lebih sempit dan lebih meriah. Berbagai macam toko ada di sini, mulai dari toko asesoris gothic, toko baju biasa, toko pakain dalam wanita, toko sepatu, dan bermacam-macam restoran.



Berbelanja di sini merupakan tempat ideal, karena harganya lebih murah dan jenis barangnya sangat beragam. Ada yang Jepang banget, yang kebarat-baratan, dan ada yang made in China.

Sayang saya tidak datang pada hari Minggu, kabarnya anak-anak muda Jepang yang berkostum dan berdandan ala Gothic atau Manga, akan berkumpul.

Petualangan pun berlanjut ke Shinjuku... (to be continue...)