Friday, September 16, 2016

Pulang Ke Rumah

Setelah pergi lebih dari 9 bulan akhirnya saya pulang. Pulang ke rumah elektronik di negeri maya yang luas tak berujung, tempat aku bisa menjadi aku. Tidak semua rumah bisa membuatmu jujur tentang dirimu kepada, ya yang paling utama dirimu sendiri. Hanya di sini saja aku sungguh-sungguh bebas.

Rumah ini sudah begitu lama kutinggalkan, sampai butuh proses pemulihan akun untuk bisa membuka pintunya. Hidup yang menghisap waktu dengan rakus membuat aku hanya punya sedikit untuk diriku sendiri. Dan ketika aku ingin menikmati waktu me-time yang hanya sedikit itu, biasanya kantuk datang bahkan ketika aku baru selesai membaca halaman kedua novel enam ratusan halaman yang sudah 4 bulan tidak juga selesai aku baca. Padahal ceritanya tidak jelek, walau kadang terasa setengah-setengah.

Kadang aku berpikir, apa sih arti semua ini? Bangun pagi, siap-siap, berangkat ke kantor, lembur, pulang dengan tenaga yang sudah sekarat, beres-beres, merangkak naik kasur, tidur. Lalu besoknya siklus ini berulang lagi. Dan begitu juga besoknya, besoknya lagi, dan besoknya besoknya lagi. Sampai akhirnya weekend tiba dan menghembuskan angin segar. Tapi namanya juga angin. Sifatnya hanya numpang lewat. Sejuk sesaat lalu hilang. Hidup kok rasanya begini amat. Seperti menonton film yang sama berkali-kali.

Aku sebenarnya benci dengan pikiranku yang satu ini. Gak tahu terima kasih! Begitu aku suka memaki diri sendiri setiap kali pikiran ini timbul. Malu rasanya mengeluh seperti anak remaja yang terlalu dimanja orang tuanya, yang seluruh pikirannya dipengaruhi ego dan ketakutan. Tapi pikiran ini mencuat tanpa bisa dikendalikan. Sometimes I think that it has mind of its own.

Bila sudah begini, hanya satu obatnya. Pulang. Ke sini. Ke rumah elektronik di mana aku hanya tinggal sendiri, membuat peraturan semau-maunya aku, mengisi dan mengganti prabot rumah dengan kata-kata berbagai bentuk dan rasa. Hanya dengan begini lah semua kembali jadi baik. Hanya dengan begini lah aku bisa kembali menghadapi hidup yang monoton. Hanya dengan begini lah aku bisa terus menulis.

Kalau ada nasihat yang menganjurkan kalau kita harus bisa bersyukur akan semua hal yang kita miliki, senang atau susah, maka aku berterimakasih atas perasaan resah ini karenanya aku bisa kembali menemukan jalan ke rumah ini.

Saturday, February 27, 2016

Kehidupan yang tak terbatas


Sore tampak sendu dengan langit abu-abu saat aku mengembalikan dia ke alam. Dia yang tak akan pernah aku ketahui warna matanya, yang tak akan pernah aku dengar celotehnya, yang tak akan pernah membuatku khawatir dengan tingkah remajanya.
Hari itu, setelah melewati malam yang melelahkan, akhirnya papa dan mama bisa melihatmu. Kamu yang baru berumur 4 bulan tampak seperti sedang tertidur nyenyak dalam selaput bening yang memelukmu seperti doa yang tak terlihat tapi melindungi. Bentuk bibirmu milik mama. Tapi orang-orang bilang wajahmu mirip papa.
Entah kenapa papa harus merasakan senangnya pertama kali menjadi bapak dengan begitu menyakitkan. Tapi jawaban tak selalu bisa mengobati, jadi papa berhenti mencari dan mengalihkan energi untuk menerima kenyataan.
Chaka Issai Siswanto = kehidupan yang tak terbatas. Begitu kami menamaimu, karena kematian bukan sebuah akhir tapi sebuah jalan menuju ke kehidupan yang baru. Lahirlah kembali dengan tubuh yang sehat di dalam keluarga yang akan menyayangimu seperti kami menyayangimu.
Pergilah nak dengan tenang. Meski papa dan mama sudah merelakanmu, tapi kamu akan tetap jadi yang pertama buat kita. Kamu akan tetap jadi kakak buat adik-adikmu nanti. Kamu akan tetap jadi cucu kesayangan naynay dan yeye.
Setiap hari di dalam doa tak lupa kami titipkan peluk dan cium untukmu.
Selamat jalan Dedek Chaka.

-papa & mama-