Friday, October 22, 2010

Mari berjoget

Malam seakan berdendang ketika earphone-ku mulai bernyanyi. Irama dansa. Ranting-ranting pohon pun ikut berjoget bersama angin. "Kiri-kanan. Mengangguk-menggeleng."

Ayo hentakan tanganmu, bebaskan jiwamu! Ikuti ketukannya.

Jangan pedulikan orang-orang mengira kita gila. Tirulah sebuah pelastik hitam yang tak bisa berhenti berputar dan melompat riang di tengah jalan. Ia begitu bahagia, pantas hidupnya sampai ratusan tahun.

Lampu jalanan pun ikut bagian, berkedap-kedip bagai lampu disco. "Remang-terang. Remang-terang." Mendramatisir suasana malam hura-hura ini.

Jalanan panjang tak mau kalah, ia goyangkan pinggulnya dengan genit, kelok ke kanan, kelok ke kiri. Menggoda diriku agar mau membelai tubuhnya sampai ke ujung.

Lihatlah orang-orang yang berlalu lalang di pinggir jalan, lelah tanpa ekspresi. Mungkin keceriaan mereka telah lebam dihajar kerasnya hidup. Ingin rasanya aku pinjamkan earphone agar mereka bisa ikut bergoyang. Tapi sayang, aku belum siap kehilangan irama. Aku juga sedang diliput lara. Tapi aku sedang tidak ingin bicara. Lebih baik aku berjoget. Biar pinggulku yang bicara, dan hatiku akan tertawa.


Sunday, October 10, 2010

The joy of seeing the bright side

Pernahkah kamu berpikir untuk mencari sisi terang dari setiap kesialan yang menimpa? Buat apa?

Semua orang pasti pernah bangun di pagi yang begitu cerah dan hangat, setelah tidur nyenyak dan mimpi indah semalaman. Bahkan ketika masih di kasur sudah terasa semangat menghadapi hari, yang meletup-letup seperti jagung dalam panggangan. Dalam hati kecil kita pun merapal janji dan harapan, “Hari ini tidak akan ada yang bisa merusak moodku”.

Begitulah aku memulai pagi hari ini.

Namun, tak lama kemudian, sebuah sms meluncur masuk. Sebuah kabar busuk isinya. Jam tangan yang aku beli sebulan lalu, belum juga bisa dikirim. Padahal permintaanku sangat sederhana, yaitu menukar warna coklat menjadi hitam. Tapi sudah lebih dari lima kali aku dibohongi.

Membaca sms itu aku seperti ditampar. Darah langsung merangkak naik sampai ke ubun-ubun. Isi perut terombang-ambing seperti perahu dalam badai. Dalam seketika, pagi yang cerah menjadi pagi berdarah.

Hanya saja, aku tidak akan membiarkan sebuah kabar buruk menghancurkan hari yang indah ini. Jadi, aku tetap berusaha menimang-nimang mood agar jangan sampai “menangis”.

Begitu aku sudah berada di atas motor menuju kantor, sinar matahari yang menyengat kejam bagai kesetanan, membuat aku terpanggang. Ditambah sebuah motor yang menyalip memaksa aku untuk rem mendadak. “Kampret!”, makiku, walau hanya diri sendiri yang mendengar.

Perlahan aku mengambil nafas dalam-dalam untuk kembali meninabobokan murka yang sudah setengah bangun.

Baru sedikit merasa tenang, jalan di depan disesaki beribu mobil. Ada kecelakaan yang melahirkan macet bukan kepalang. Spontan aku melirik jam tangan, “Akkh telaat!”, hati memekik stress.

Setelah itu, berbagai masalah lain hadir di sepanjang jalan, seperti, mata kelilipan debu, kehujanan, bensin tiris, kebelet buang air kecil, dan mendapat teror telepon dari kantor karena terlambat.

Begitu akhirnya aku sampai kantor, seseorang langsung bertanya kenapa mukaku kusut. Langsung semua kesialan yang aku alami tumpah ruah dari mulut, seperti waduk yang jebol.

Lelah, kesal, tegang, punggung pegal, mata sakit, dan pakaian lembab, telah membunuh semangat pagi yang tadi begitu panas membara. Setelah itu sisa hari aku habiskan dengan mood sejelek aye-aye, sejenis tikus yang konon katanya nomor 2 dalam daftar 10 binatang paling jelek di dunia. (Bagaimana rupanya? Yaa… yang pasti jelek banget.)

Hari ini hari yang indah dilanjuti dengan kekesalan sepanjang hari.

Aku pun berpikir, apa karena memang sedang sial, atau aku saja yang hanya melihat semua dari sisi negatif? Kenapa tidak berpikir, "Masih untung sampai kantor dengan selamat".

Padahal aku pernah mengalami hari yang berkali-kali lipat lebih naas dari hari ini, tapi moodku tidak sejelek hari ini. Yaitu ketika aku nyaris mati dikejar polisi.

Malam itu, kira-kira hampir dua tahun yang lalu, hujan baru saja berkunjung. Jejaknya masih tertinggal di pinggir-pinggir jalan dalam bentuk pulau-pulau air. Udara dingin menusuk-nusuk kulitku yang sedang duduk tanpa jaket di atas motor dibonceng temanku, seorang cowok yang bermimpi menjadi pembalap motor.

Malam sudah terlalu larut bagi bemo untuk berkeliaran, sehingga aku terpaksa menumpang sampai ke tempat yang masih ramai bus umum.

Ketika motor sedang santai melaju ke arah grogol lewat jalan Borobudur-Jelambar, tiba-tiba dari kanan seorang polisi bersepeda motor mengayunkan tangan ke arah kami. Pastinya bukan lambaian selamat jalan, tapi ia meminta kami untuk menepi. Temanku tidak memasang plat nomor belakang.

Apa yang temanku lakukan malah sebaliknya. Insting pembalapnya langsung terbakar seperti kompor yang diputar tuasnya. Tanpa ba bi bu, ia langsung tancap gas, kabur.
Spontan aku meremas keras besi pegangan di belakang. Motor melesat bak anak panah yang terlontar dari busur, lalu mengambil tikungan dan berputar arah.

Tidak perlu pintar menebak, si polisi sudah pasti mengejar. Melalui gang-gang sempit dengan selokannya yang menganga lebar seperti mulut buaya lapar, dan polisi-tidur setinggi gunung, aku dibonceng temanku ngebut seolah jalanan di depan kita lebar dan mulus seperti sirkuit sepang.

Berkali-kali perempatan dilaluinya tanpa tedeng aling-aling. Berkali-kali juga aku membayangkan sebuah truk besar melindas kami.

“Gua pasti mati nih. haduh, tapi gua gak mau mati!” hatiku bergejolak cemas. Temanku melepas helm dan menyerahkan kepadaku. Andai muat, sudah kudobel helmku dengan helm temanku itu.

Beberapa kali aku menengok ke belakang, dan si polisi masih saja membuntuti seperti seekor Macan mengejar dua ekor kelinci. Tidak begitu dekat, tapi cukup untuk menerkam begitu kita lengah.

Aku sudah tidak bisa melakukan apa-apa selain merapal doa, semoga, entah bagaimana, aku bisa selamat. Karena temanku semakin menggila, diburu rasa takut dan dipacu adrenalin pembalap wannabe.

Hingga akhirnya doaku terkabul dalam bentuk jalan buntu dan basah. “Aduh. Jatoh nih”, tiba-tiba temanku berkata. Dan… BRUG! Jatuh lah kita berdua ke atas aspal basah. Motor menghantam tiang listrik, temanku menghantam motor. Sedangkan aku, entah oleh keajaiban apa, hanya jatuh di pantat dan merosot di atas aspal basah seperti di perosotan. Tanpa luka sedikit pun. Satu-satunya memar hanya ketika nanti tanganku dipukul tongkat hitam pak polisi.

Setelah itu kejadian berlangsung cepat, temanku dipukuli pak polisi, kami berulang-ulang diancam ancaman beraroma rasis, hingga akhirnya orang tua temanku datang menyelesaikan semuanya dan kami pun bisa pulang ke rumah masing-masing membawa cerita dan trauma.

Sulit digambarkan kengerian malam itu, ketika maksud menumpang, menjadi momen mengancam nyawa.

Tapi aku mencoba melihat sisi terang dari drama tikus dan kucing malam itu; untung aku tidak terjatuh ke dalam selokan di gang-gang sempit Jelambar, untung tidak ada orang yang tertabrak, untuk tak ada mobil yang menabrak kami, untung ketemu jalan buntu yang aspalnya basah (kalau kering mungkin kita babak belur), untung kami tidak dihakimi massa, untung aku masih hidup, untung aku mengalami hal itu jadi sekarang punya bahan untuk tulisan.

Dengan menerima apa yang terjadi, perasaan menjadi lebih enteng. Hidup itu keras bung, jangan kita bikin jadi tambah keras.

Cukup momen saat itu saja yang hancur, tapi di sisa hari sampai sekarang, kejadian malam mengancam nyawa itu, malah menjadi sebuah cerita lucu yang tidak terlupakan. Bahkan diam-diam aku beterimakasih telah mengalaminya.

Aku rasa memang itulah, the joy of seeing the bright side, membuat hidup yang keras ini, menjadi sedikit lebih ringan.