Thursday, November 11, 2010

Matahari di Bunga Rampai

Restoran itu dulunya rumah Belanda. Jejak penjajahan yang tak mempan digerogot waktu. Bunga Rampai namanya. dari depan fisiknya begitu kokoh. Empat tiang penopang atap beranda berdiri pongah seperti kolonialisme itu sendiri. Gentingnya coklat terbuat dari tanah liat. Sedangkan dindingnya seputih warna susu. Di dalam restoran ini, cerita tentang seorang wanita, yang bila masih hidup, sudah setua rumah ini, sedang dibahas oleh wanita-wanita modern jaman sekarang. Tentu bersama penulisnya, Remy Sylado.

“Namaku Matahari”, adalah novel yang menjadi sorotan pada Eve Book Club bulan ini. Berkisah tentang agen ganda perempuan bernama Matahari yang menyamar menjadi penari telanjang sekaligus pelacur profesional. Buku ini bukan seperti cerita agen rahasia biasa. Ada pesan di balik cerita ini, tentang perlawanan terhadap kemunafikan, tentang kekuatan perempuan terhadap penindasan, dan lebih dalam lagi tentang kebangsaan yang tidak lebih penting daripada kemanusiaan.

Hari Kamis sore, 11 november 2010, tepat jam empat, para pembaca setia Eve Magazine sekaligus “kutu buku” eve book club memenuhi ruangan tengah restoran Bunga Rampai. Di depan mereka duduk Remy Sylado dengan dandanan khasnya yang nyentrik. Potongan rambut ala James Brown, hanya saja berwarna putih, kemeja elvis warna putih, celana cut bray putih dan sepatu kulit putih. Ia memakai dua jam tangan putih, masing-masing di setiap tangan dan empat cincin batu putih sebesar jempol. Semua yang menempel pada tubuhnya, serba putih.

Sesi dibuka dengan pembahasan tentang asal mula novel ini dibuat. Menurut Remy Sylado penelitian dasar untuk buku ini hanya makan waktu tiga bulan. Ia pergi ke berbagai daerah dan Negara di dunia, seperti, Madrid dan Roma. Ia mengunjungi tempat di mana Matahari pernah singgah. Seperti sebuah hotel di turki yang sampai sekarang masih mempromosikan Matahari pernah tinggal di sana sebagai salah satu daya tarik.

Melalui tokoh Matahari, Remy Sylado ingin bicara tentang pemikiran modern, bahwa wanita dan pria adalah setara. Salah satu celetukannya yang mengundang tawa adalah, “kalau dalam rumah tangga wanita adalah mitra pria, kenapa wanita harus ada di belakang ketika seharusnya sejajar berdampingan.”

Selain itu, Matahari juga bicara pentingnya melihat seseorang tidak hanya dari apa profesi atau dari kebangsaannya, tapi lebih karena ia manusia yang patut dihargai. Itu terlihat dari kata-katanya pada novel,

Aku pelacur tulen
Tapi aku penari sejati
Dan aku Belanda berdarah Indonesia

Pada sesi tanya jawab, tak disangka, sambutan dari peserta yang kebanyakan ibu rumah tangga, benar-benar kritis. Mulai dari yang merasa terwakili oleh pemikiran modern Matahari. Sampai yang terinspirasi oleh keberanian Matahari yang melawan penindasan lelaki.

Bahkan ada seorang peserta yang merasa bangga kepada Matahari, bahwa di jaman yang dulu sangat patriarki, ada seorang wanita yang begitu berani melawan arus. Di jaman semodern sekarang pun, tidak banyak wanita yang berani melakukan hal itu.

Tidak hanya berbagi soal novelnya, Remy Sylado juga menceritakan masa kecil yang ikut membentuk dirinya menjadi seperti sekarang. Remy kecil sudah begitu dekat dengan buku ketika sebagian besar masa kecilnya dihabiskan dengan membaca beribu buku di perpustakaan seminari dekat tempat tinggalnya. Melalui bimbingan sang Romo pun ia belajar bahasa Yunani dan Ibrani.

Para wanita-wanita eve book club ini begitu terpukau mendengar Remy Sylado bicara, terlihat dari air muka mereka yang bercahaya.

Satu fakta menarik tentang Remy Sylado adalah namanya ini bukan nama asli. Nama samaran ini diambilnya dari nada do, re, mi, si, la, do salah satu lagu milik band legendaris asal Inggris, The beatles.

Saya merasa beruntung bisa hadir sore itu di antara ibu-ibu eve book club, mendengarkan Remy Sylado berbagi tentang novelnya dan sedikit tentang kehidupannya. Eve book club kali ini berlangsung ringan tapi tetap berisi.

Salut untuk Eve Magazine yang menyelenggarakan event ini rutin setiap bulan. Acara dua jam ini juga menepiskan prasangka saya tentang ibu rumah tangga yang hanya tahu mengurus keluarga dan bergosip. Ternyata tidak. Ternyata mereka pintar, kritis, dan bergairah.

Mungkin, kalau Matahari bisa berada di sini sekarang, mungkin ia akan bangga kepada wanita-wanita eve ini, seperti mereka bangga kepadanya.

Monday, November 1, 2010

love is in between

“Ken, kan udah sejuta kali gua bilang, jangan percaya sama yang namanya laki-laki! Mereka semua ibarat air yang tak beriak.” Ujar Tata lembut mengayomi Niken, sahabatnya yang sedang menangis.

“Walau laki-laki kelihatannya bisa dipercaya, tapi mereka akan menenggelamkan elo ken. Jadi perempuan jangan tolol! Jangan bisanya nerimo. Kalau diinjak lelaki, tendang burungnya. Biar hancur lebur prasasti nafsu binatang pria yang besar-kecilnya selalu menjadi lebih penting daripada ukuran otak mereka.”

Niken masih terus menangis.

“Nangisin apa sih? Laki-laki gak pantes dapat air mata kita. Air mata perempuan itu murni dari hati, suci. Ngerti gak sih loe? Mereka cuma pantas dapat yang murahan. Jangan pernah kasih air mata.”

“tapi Ray beda Ta. Gua percaya sama dia” Sambil terisak Niken menyakinkan Tata.

“Kalau dia emang bisa dipercaya, kenapa dia tidur sama “pelacur” itu? serbu Tata gregetan.

“Ray Cuma khilaf Ta.”

“Niken, orang khilaf tuh sekali. Tapi kalau berkali-kali sama orang yang beda-beda, itu namanya sengaja.”

“Dia bilang cewek itu ngejebak dia. Ray dibikin mabok Ta.”

“Terus loe percaya begitu aja sama Ray? terus semua wanita itu ngejebak Ray untuk tidur sama mereka. Emang Ray siapa ken? Ganteng aja pas-pasan. Kenapa sih elo selalu telan bulat-bulat semua yang keluar dari mulut busuknya?” ledak Tata heran.

“Dia bilang, dia sayang banget sama aku Ta… dan…”

“So what?!” Tata memotong gak tak percaya.

“...dan gua juga sayang banget sama dia.” Niken melanjutkan.

“Loe tuh emang bego Ken! Bego karena terlalu gampang percaya cinta.”

Dan mereka berdua pun terdiam. Ada keheningan ganjil yang mengambang di antara mereka.

“kalau gitu buat apa loe duduk di depan gua nangisin Ray?” Tata melanjutkan kini dengan nada yang sedikit mengalah.

Niken hanya menunduk memainkan es di dalam gelasnya seakan-akan mencari jawaban di sana.

“Ken, jatuh cinta itu boleh, tapi please pakai otak.”

“Itu kenapa Danny ninggalin elo Ta.” Jawab Niken masih menunduk.

“hah? Kok loe bawa-bawa Danny? Gak ada hubungannya.” Sergah tata bingung dan marah.

“Ada Ta. Ada banget hubungannya.” Jawab Niken.

“Apa? Huh? coba kasih tahu gua!”

“Ta loe selalu bilang kalau Danny ninggalin elo karena dia nyeleweng sama perempuan yang loe panggil pelacur itu. Tapi kenyataanya gak sesimpel itu Ta.”

“maksud loe? Gak ngerti gua?”

“Loe gak akan bisa ngerti Ta. Sampai suatu saat loe bisa mencintai seseorang gak cuma dengan otak tapi juga hati loe.”

Tata tampak semakin marah dan bingung atas penghakiman Niken, “apasih ken maksud loe? Ngomong gak usah muter-muter.”

“Ta, Danny jatuh cinta sama perempuan lain karena perempuan itu bisa mencintai dia gak cuma pakai logika. Perempuan itu bisa ngerti Danny apa adanya. Perempuan itu bisa menyemangati Danny dengan lembut, bukan dengan bentak-bentak seperti loe Ta. Masalah loe Cuma satu, loe selalu mencoba merasionalkan cinta. Gak bisa Ta. Cinta bukan matematika, dia gak bisa dihitung dan gak ada rumusnya.”

“PRANG!” Tata membanting gelas ke lantai.

“eh jangan sok tahu ya.” Lalu tata berdiri menyambar tasnya dan pergi keluar dari apartment Niken.

Sejak malam itu persahabatan mereka tak lagi sehangat dulu, walau dalam hati, mereka sadar ucapan masing-masing ada benarnya.