Tuesday, October 30, 2012

Hanya Lelah

Tadi malam tanpa maksud, aku berkunjung ke sebuah toko buku di sebuah mall kecil di kuningan. Di salah satu raknya aku menemukan sebuah novel yang sudah lama aku inginkan. lalu aku teringat tak punya uang cash. Spontan bayangan harus mencari mesin ATM yang entah ada di sudut mana dan setelah itu harus kembali ke toko buku ini membuatku meletakkan kembali buku itu di rak, berbalik dan melangkah pergi. Buku itu tinggal satu-satunya, tapi aku terlalu lelah.

Aku pulang naik bus “derita” berwarna abu-abu dari halte di tengah jalan Kuningan dan Setia Budi. Ini pertama kalinya aku pulang ke rumah dari halte itu. Untuk itu aku bertanya arah ke petugas. Ramah aku bertanya, dijawab dengan acuh. Mungkin ia buta. Aku di depannya, tapi ia menjawab sambil menengok ke sebelah kanannya. Dadaku panas, amarah terusik seperti ular yang terinjak, kata-kata setajam silet sudah berdesakkan minta keluar dari dalam tenggorokkan. Tapi itu yang biasanya akan terjadi. Malam ini aku terlalu lelah untuk tersinggung. Setidaknya oleh hal seremeh itu.

Bus “derita” penuh sesak. Aku berdiri memandang ke jalanan dari balik jendela bus. Sebuah mobil melintas. Di dalamnya seorang cowok sedang serius menyetir sedangkan cewek di sampingnya sedang autis dengan HP-nya. Sekilas aku berpikir enaknya kalau punya mobil sendiri gak harus berhempitan seperti kambing kurban yang sedang diangkut. Lalu tiba-tiba laju si mobil tersendat. Jalan macet di depannya. Dari dalam bus “derita” aku melewati antrian mobil yang mengular sampai ke ujung. Niat untuk beli mobil langsung kandas, aku terlalu lelah untuk punya jadi tua di jalan.

Ada berbagai jenis manusia di dalam bus “derita”. Tapi seorang cowok yang sedang berdiri di bagian belakang mengusik pemandanganku. Kepalanya botak… hm.. egh… aku menengok untuk melihat pakaiannya, ia pakai jaket kulit warna hitam. Egh… warna resletingnya putih bukan ya? Sekali lagi aku nengok. Bukan putih tapi silver. Dia sedang menjinjing tas. Tapi tas apa ya? Aku melihat lagi ke arahnya. Shit! Tote bag. Aku sampai menengok ke arah tasnya beberapa kali antara tak percaya dan jijik. Aku masih belum bisa menerima melihat cowok yang memakai tas itu. Ia seperti sedang membawakan tas pacarnya. Sekali lagi aku melihat ke arahnya, dan dia sepertinya sadar kalau aku sedang mengawasinya. Sial, nanti dia kira aku naksir lagi. Namun sekali lagi, aku terlalu lelah untuk peduli.

Orang-orang masuk dan keluar bus, semuanya tampak lelah dan muak, entah pada apa. Di depanku seorang cewek langsung tertidur begitu ia mendapat tempat duduk, di sebelahku seorang pria tertidur pulas, mulut mangap dan kepala mendongak seperti sedang menanti sesuatu jatuh dari atas. Kesibukkan menghisap nyawa dari diri kita masing-masing dan menjadikan kita zombie. Aku juga lelah seperti kebanyakan orang di bus “derita” ini, tapi aku tidak tertidur. Aku lelah, tapi bukan lelah seperti mereka.

Dari halte busway aku naik ojek. Seharusnya aku bisa jalan sedikit untuk naik angkot, tapi niatku layu dan tenagaku kering kerontang seperti jemuran yang lupa diangkat. Jadi aku tak peduli, ojek pertama di depanku langsung aku sambar.

Sesampainya di rumah, aku membayar ongkos Rp 7000,- rupiah. Tarif standar yang sebelumnya sudah aku dan supir ojek sepakati bersama. Well, setidaknya begitu kesimpulanku. Dia cuma diam waktu aku tawar. Diam itu emas, tapi diam juga bisa berarti setuju. Ketika sampai di depan rumahku dan aku menyodorkan ongkos, si supir ojek lagi-lagi diam. Lalu dua detik kemudian ia menyambar uang di tanganku dengan gerakan lambat, seolah-olah gesturnya berkata, “pelit amat sih”. Tingkah si tukang ojek seperti merangkum semua kekesalanku selama perjalanan pulang. Aku ingin meledak, tapi lelah menelan emosi seperti monster gemuk yang lambat. Lelah yang asing sekaligus akrab. Aku pun mengalah dan melangkah lunglai masuk ke dalam rumah.

Lelah ini tak punya nama. Bukan lelah fisik atau lelah jiwa, dan juga bukan lelah bekerja atau lelah bertengkar. Lelah ini tak berdefinisi, ia murni hanya rasa.

No comments: