Wednesday, August 20, 2008

Fiuuuuh...

Akhirnya selesai juga. Ucapan ini bukanlah suatu kelegahan dari beban yang menyekik leher, tapi lebih sebagai ekspresi kepuasan, bukan juga karena hasil yang tertoreh dengan lintang keberhasilan sempurna, tapi justru ekspresi kelegahan karena masih bisa melihat dimana letak kekurangannya.


Proyek pertunjukan Morinaga ini adalah yang kedua sekaligus pertama yang pernah gua tulis. Kedua setelah teater pemilihan gadsam (gadis sampul) dan pertama yang gua dan faye tulis tanpa terlalu ada supervise dari penulis senior. Jadi rasanya ya… lumayan gak PD di awal, tertantang untuk lebih memacu diri, excited, puas karena gua merasa sudah menguji batas gua, gak puas karena gua yakin bisa bikin yang lebih baik lagi.

“Teruslah menulis” merupakan kenang-kenangan motivasi dari sang asisten sutradara yang ramah dengan lelucon-leluconnya yang muncul mendadak seperti kotak sulap badut yang tiba-tiba melontarkan isinya. “yes, I will” jawab gua dalam hati.

Dari pertunjukan ini gua belajar banyak hal, pertama; no matter in what industry you are, most of the client is a bitch, kedua, kurangnya kemampuan bikin plot yang smooth dan kurang jeli menentukan ending cerita, ketiga, belajar lebih yakin sama diri sendiri (seperti kata penulis senior gua, “selon aja lagi”). Keempat, betapa gua tersentuh untuk belajar arti kesungguhan dan ketulusan yang polos dari melihat anak-anak.

Tuesday, August 12, 2008

sebuah debu, udara sejuk, dan hati yang senang

Pagi ini seperti sore yang sibuk dengan udara sejuk yang ramah. Awan mendung menyembunyikan langit cerah dan hangat mentari. Aroma wangi euforia tanah mulai tercium harum, dan angin bertiup resah berkejar-kejaran dengan daun-daun kering di jalanan. Semua terasa begitu menyenangkan. "I'm only happy when it rain" lagu garbage satu ini kayaknya bisa mewakili perasaan gua, hanya saja i'm not only, but always happy when it rain. (Rain i said, not flood! hehehe.)

Everything look and feel perfect. Sampai... Ketika motor sedang melaju deras di jalan yang kebetulan tidak terlalu padat, gua mencoba membuka kaca helm, dengan maksud menikmati belaian sejuk udara pagi yang ramah. Begitu gua buka kaca helm, langsung saja kesejukan yang subtil membuai diri gua. rasanya damai banget, seperti bukan Jakarta. ternyata bukan hanya kenangan, lagu, bebauan, atau imajinasi yang bisa membawa kita berkelana, tapi juga cuaca. seperti sekarang ini gua merasa seperti ada di bandung atau bogor. tapi tiba-tiba... sruuug... sebuah debu menyelinap menusuk mata gua. Sial! untung mata gua rada sipit jadi interval jarak untuk mata menutup lebih singkat, hingga debu itu keburu ditangkap oleh bibir kelopak mata sebelum benar-benar masuk dalam ke mata. Langsung aja semua perasaan surgawi yang tadi sedang asyik gua nikmati berubah menjadi kepanikan sesaat. Pandangan kabur, ruang menyempit, adrenalin mengalir deras karena gua harus extra konsentrasi mengendarai motor hanya dengan tangan kanan sedangkan yang kiri sedang sibuk berjibaku berusaha mengeluarkan debu dari mata.

Setelah itu, langsung gua tutup lagi tuh kaca helm. Sial! gara-gara debu biadab. Gak tahu apa, orang lagi menikmati hidup. secara di jakarta it is once in the blue moon suasana bisa sesejuk seperti ini. Bahkan saat musim hujan, saat diadakannya konfrensi awan-awan mendung di seluruh Indonesia untuk membicarakan rencana membalas kelakuan manusia yang selama musim panas, seenaknya mengotori langit dengan asap-asapnya.

sebetulnya untuk apa gua menggerutu, karena memang seperti inilah kotaku, negeriku. Debu sudah selazim salju di negeri barat, macet sudah menjadi seperti rasa sakit yang kebal, cacian atau makian di jalanan layaknya omelan orang tua yang diulang-ulang. semua itu ada hanya untuk di jalani, dinikmati. Karena niscaya berawal dari kemauan untuk menerima keadaan yang ada, akan muncul kekuatan dan keberanian untuk berubah dan merubah. Setidaknya, setitik debu yang merasuk mata dibawa oleh angin sejuk yang melipur lara.