Aku mungkin tidak tahu apa-apa soal perkawinan. Menikah saja
belum, tapi ijinkan aku mengeluarkan sedikit resah yang menggumpal di dada.
Semua berawal dari hari minggu sore di sebuah café kopi
bernuansa hijau dan coklat. Seperti biasanya, setiap hari libur tempat itu
selalu sesak pengunjung yang duduk untuk menikmati kopi sambil bekerja atau
bergosip dengan teman.
Setelah menunggu hampir 15 menit, aku berhasil mendapat
tempat di sudut ruangan. Di sisi kanan seberangku duduk begitu dekat,
seolah-olah kita saling kenal, seorang wanita berambut panjang dan berkaca mata
yang aku tafsir umurnya belum empat puluh tahun. Ia tersenyum dan
mempersilahkan dengan ramah ketika
aku bertanya apakah bangku itu kosong.
Entah karena kita duduk terlalu dekat atau si wanita memang
ramah, atau mungkin keduanya, ia memulai pembicaraan. Aku tidak terlalu ingat
awal obrolan kita, tapi aku ingat ia bertanya apakah aku sudah menikah. Belum sempat aku menjawab, ia lantas menanyakan umurku. Begitu mendengar jawabanku, ia tampak sedikit terkejut. Padahal aku belum setua reaksinya. “Tapi sudah punya pacar kan?” logat Surabaya terdengar
kental setiap kali ia bicara. Sudah, jawabku. Lalu hening mengambang,
seolah-olah dia sedang meresapi jawabanku.
“Kelamaan. Kelamaan. Kelamaan.” Ia mengulang-ngulang kata
itu seperti bicara dengan mahkluk imajiner di depannya karena ia tidak menatapku tapi
memandang lurus. Ia memalingkan kepalanya ke arahku dan mengatakan
kalau ia menikah di umur 20 tahun.
Aku tersenyum mendengar jawabannya, tapi ada resah yang
menyesakkan rongga dadaku. Dua puluh tahun? Apa yang sudah kita tahu tentang
hidup dan mungkin jati diri sendiri saja belum sepenuhnya ditemukan.
Tak lama kemudian seorang pria, yang aku duga suami si
wanita, datang dan bergabung dengan kami. Begitu si pria mendaratkan pantatnya
di bangku kayu warna coklat muda, si wanita langsung melempar informasi singkat
padat dan menohok kepadanya. “Ini loh, udah punya pacar tapi belum menikah”, ia
menunjukku dengan tatapannya dan memojokkan aku dengan nada bicaranya.
Lalu ia menyebut umurku seolah-olah aku sudah berumur 50 tahun.
Reaksi si pria juga tidak kalah “lebay”. Ia terperanjat
hingga tubuhnya mundur seperti ada yang mendorong dadanya. Lalu kata-kata
pertama yang meluncur dari mulutnya sama dengan istrinya, “Kelamaan, kelamaan.” Ia menggeleng-geleng lalu mengambil
gelas kopi di depannya, dan setelah meneguk isinya ia mengulang sekali lagi,
“Kelamaan”. "Saya menikah umur 20". Lagi-lagi aku tersenyum pahit, sesak yang sama kembali terasa di
dada.
Si pria memang suami si wanita. Mereka berdua menikah pada
umur 20 tahun. Sekarang anak pertama mereka sudah kuliah, dan yang satu lagi
baru akan masuk SMP.
“Pacarku masih mau sekolah ke US.” Jawabku ringan. Si wanita
terkejut sambil mengulangi kata-kataku seolah tak percaya apa yang ia dengar. Sambil
memincingkan mata dan bicara suara setengah berbisik seperti akan menyampaikan
sebuah konspirasi besar, si wanita bilang kalau menurut pendapatnya aku jangan
mengijinkan pacarku untuk pergi ke US. Saat aku tanya alasannya jawabannya yang tersurat adalah Amerika itu negara bebas. Sedangkan jawaban yang tersirat
di dalam ekspresi dan nada bicaranya adalah bagaimana bila pacarmu suka dengan orang lain bagaimana?
Lidahku terasa getir. Bukan aku tak pernah
memikirkan kemungkinan itu dan bukannya aku tidak pernah takut kalau sampai hal
itu benar-benar terjadi. Tapi siapa aku hingga punya hak untuk membendung
impian orang lain atas dasar ketakutanku. Meski ia pacarku sendiri. Mimpi
adalah energi hidup paling murni dan dahysat. Membunuh mimpi seseorang sama
dengan mencabut nyawanya.
Kalau memang kita berjodoh untuk bersama sampai tua, maka
tak ada jarak atau makhluk apapun yang mampu menghalangi. Bila tidak berjodoh,
gara-gara seekor kecoa saja hubungan bisa bubar jalan. Jadi tak ada alasan
buatku untuk terlalu khawatir.
Hidup itu adalah perjalanan menuju sebuah tujuan. Kalau tujuanmu adalah menikah, mungkin penting bagi kamu untuk menikah secepatnya. Lagipula siapa juga yang tak mau impiannya bisa cepat terwujud. Tapi kalau kau punya rencana lain untuk hidupmu, sebuah impian untuk menjadi seorang penulis misalnya, atau seorang penari, atau seorang pebisnis, maka usia berapapun kamu nanti menikah, muda atau tua, bukan suatu masalah besar. Yang terpenting adalah menemukan seseorang yang bisa mengerti dan mendukung impianmu.
Percayalah, orang yang punya banyak karya adalah orang paling seksi dan menarik yang akan pernah kamu jumpai. Dan aku tidak percaya orang-orang seperti itu akan mati kesepian, kecuali memang ia yang memilih seperti itu.
No comments:
Post a Comment