Wednesday, October 3, 2012

sedikit sok tahu, mungkin


Aku mungkin tidak tahu apa-apa soal perkawinan. Menikah saja belum, tapi ijinkan aku mengeluarkan sedikit resah yang menggumpal di dada.

Semua berawal dari hari minggu sore di sebuah café kopi bernuansa hijau dan coklat. Seperti biasanya, setiap hari libur tempat itu selalu sesak pengunjung yang duduk untuk menikmati kopi sambil bekerja atau bergosip dengan teman.

Setelah menunggu hampir 15 menit, aku berhasil mendapat tempat di sudut ruangan. Di sisi kanan seberangku duduk begitu dekat, seolah-olah kita saling kenal, seorang wanita berambut panjang dan berkaca mata yang aku tafsir umurnya belum empat puluh tahun. Ia tersenyum dan mempersilahkan  dengan ramah ketika aku bertanya apakah bangku itu kosong.

Entah karena kita duduk terlalu dekat atau si wanita memang ramah, atau mungkin keduanya, ia memulai pembicaraan. Aku tidak terlalu ingat awal obrolan kita, tapi aku ingat ia bertanya apakah aku sudah menikah. Belum sempat aku menjawab, ia lantas menanyakan umurku. Begitu mendengar jawabanku, ia tampak sedikit terkejut. Padahal aku belum setua reaksinya. “Tapi sudah punya pacar kan?” logat Surabaya terdengar kental setiap kali ia bicara. Sudah, jawabku. Lalu hening mengambang, seolah-olah dia sedang meresapi jawabanku.

“Kelamaan. Kelamaan. Kelamaan.” Ia mengulang-ngulang kata itu seperti bicara dengan mahkluk imajiner di depannya karena ia tidak menatapku tapi memandang lurus. Ia memalingkan kepalanya ke arahku dan mengatakan kalau ia menikah di umur 20 tahun.

Aku tersenyum mendengar jawabannya, tapi ada resah yang menyesakkan rongga dadaku. Dua puluh tahun? Apa yang sudah kita tahu tentang hidup dan mungkin jati diri sendiri saja belum sepenuhnya ditemukan.

Tak lama kemudian seorang pria, yang aku duga suami si wanita, datang dan bergabung dengan kami. Begitu si pria mendaratkan pantatnya di bangku kayu warna coklat muda, si wanita langsung melempar informasi singkat padat dan menohok kepadanya. “Ini loh, udah punya pacar tapi belum menikah”, ia menunjukku dengan tatapannya dan memojokkan aku dengan nada bicaranya. Lalu ia menyebut umurku seolah-olah aku sudah berumur 50 tahun.

Reaksi si pria juga tidak kalah “lebay”. Ia terperanjat hingga tubuhnya mundur seperti ada yang mendorong dadanya. Lalu kata-kata pertama yang meluncur dari mulutnya sama dengan istrinya, “Kelamaan, kelamaan.” Ia menggeleng-geleng lalu mengambil gelas kopi di depannya, dan setelah meneguk isinya ia mengulang sekali lagi, “Kelamaan”. "Saya menikah umur 20". Lagi-lagi aku tersenyum pahit, sesak yang sama kembali terasa di dada.

Si pria memang suami si wanita. Mereka berdua menikah pada umur 20 tahun. Sekarang anak pertama mereka sudah kuliah, dan yang satu lagi baru akan masuk SMP.

“Pacarku masih mau sekolah ke US.” Jawabku ringan. Si wanita terkejut sambil mengulangi kata-kataku seolah tak percaya apa yang ia dengar. Sambil memincingkan mata dan bicara suara setengah berbisik seperti akan menyampaikan sebuah konspirasi besar, si wanita bilang kalau menurut pendapatnya aku jangan mengijinkan pacarku untuk pergi ke US. Saat aku tanya alasannya jawabannya yang tersurat adalah Amerika itu negara bebas. Sedangkan jawaban yang tersirat di dalam ekspresi dan nada bicaranya adalah bagaimana bila pacarmu suka dengan orang lain bagaimana?

Lidahku terasa getir. Bukan aku tak pernah memikirkan kemungkinan itu dan bukannya aku tidak pernah takut kalau sampai hal itu benar-benar terjadi. Tapi siapa aku hingga punya hak untuk membendung impian orang lain atas dasar ketakutanku. Meski ia pacarku sendiri. Mimpi adalah energi hidup paling murni dan dahysat. Membunuh mimpi seseorang sama dengan mencabut nyawanya.

Kalau memang kita berjodoh untuk bersama sampai tua, maka tak ada jarak atau makhluk apapun yang mampu menghalangi. Bila tidak berjodoh, gara-gara seekor kecoa saja hubungan bisa bubar jalan. Jadi tak ada alasan buatku untuk terlalu khawatir.

Hidup itu adalah perjalanan menuju sebuah tujuan. Kalau tujuanmu adalah menikah, mungkin penting bagi kamu untuk menikah secepatnya. Lagipula siapa juga yang tak mau impiannya bisa cepat terwujud. Tapi kalau kau punya rencana lain untuk hidupmu, sebuah impian untuk menjadi seorang penulis misalnya, atau seorang penari, atau seorang pebisnis, maka usia berapapun kamu nanti menikah, muda atau tua, bukan suatu masalah besar. Yang terpenting adalah menemukan seseorang yang bisa mengerti dan mendukung impianmu.

Percayalah, orang yang punya banyak karya adalah orang paling seksi dan menarik yang akan pernah kamu jumpai. Dan aku tidak percaya orang-orang seperti itu akan mati kesepian, kecuali memang ia yang memilih seperti itu.

No comments: