Friday, June 15, 2012

Tentang anak kecil, seekor anjing dan sedikit buaya

 
Kadang orang suka lupa kalau anjing bukan manusia dan anak kecil bukan orang dewasa
Saya punya seekor anjing terrier berbulu emas. Sekilas lihat ia seperti golden retriever namun dengan skala tubuh yang jauh lebih kecil. Tingginya setengah betis orang dewasa. Anjing ini, yang kami beri nama Leo, seperti anjing-anjing lain pada umumnya, suka poop dan pipis sembarangan. Dan percayalah, kami sudah mengajarinya beratus kali mulai dengan memukul pantatnya, membentaknya seperti kompeni membentak tahanannya, sampai menasihatinya baik-baik dengan mata menatap mata seolah-olah bicara dengan manusia. Namun tetap saja, sesekali ia tetap mengencingi kaki meja kayu, tembok belakang rumah, atau lemari kaca.

Kekeraskepalaannya itu tidak berhenti hanya di situ. Setiap ada orang yang hendak masuk ke dalam kamar tidur, Leo, dengan jurus ninjanya, sering sekali menyelinap ke dalam demi mencari udara sejuk AC. Walau tak jarang kita sendiri yang mengijinkannya ikut masuk ke kamar. Hingga pada suatu malam, ketika sedang asyik tidur selonjoran di kolong kamar kakakku, ia diusir keluar dengan paksa. Naluri spontan seekor binatang ketika diserang adalah bertahan. Tapi karena ia tidak berani menggigit, ia hanya bisa menyalak galak. Alhasil keponakanku terbangun lantas menangis sejadi-jadinya karena kaget.

Penjahatnya sudah jelas adalah Leo. Kakakku langsung membentak dan memukul pantatnya. Sebagai seorang ayah yang baik, walau ayah dari seekor anjing, aku langsung keluar kamar dan berusaha melindungi Leo. Seperti seorang ibu yang berusaha kelihatan bertanggung jawab, ia membela anaknya. Tak lama suaminya datang dan ikut-ikutan ingin menyalahkan Leo. Spontan aku membalas serangan mereka dengan pertanyaan retoris yang menampar-nampar, “Siapa yang kasih Leo masuk ke kamar? Kenapa juga ngusirnya pakai ditendang-tendang, kenapa gak di gendong? Lupa ya kalau Leo itu cuma seekor anjing yang gak mungkin dikasih tahu langsung nurut gitu aja. Kosa kata bahasa manusianya cuma sebatas: makan, jalan-jalan, minum, ada siapa tuh, sini, yuk, sit down, shake hand, dan namanya sendiri, Leo.” Lucu, kita yang manusia yang dianugrahi akal dan pikiran mengharapkan anjing untuk mengerti kita, bukan sebaliknya.

Apa bedanya dengan orang-orang yang membunuh seekor buaya yang telah memakan seorang anak desa. Kenapa yang salah si buaya? Bukan kah itu murni hanya insting alam? Apakah seekor buaya bisa berpikir, oh itu anak manusia bukan kambing, jadi jangan dimakan. Kenapa bukan orang tuanya, yang lalai mengurus si anak yang dibelah perutnya? Manusia memang suka menghindar dari kesalahan menggunakan jari telunjuknya. Lebih mudah daripada mengaku salah.

Jadi kalau anjing kita menggonggongi seseorang sampai orang itu ketakutan, siapa yang salah? Kalau anjing Anda sesekali pipis sembarangan, siapa yang salah? Kalau lain kali anjing Anda tidur di dalam kamar dan menolak untuk keluar, siapa yang salah?

Ada orang yang punya kebiasaan menggesek-gesekkan kakinya ke kasur sebelum tidur, ada juga yang kebiasaannya kalau lagi mikir gak bisa berhenti bergerak, tapi ada juga yang kebiasaanya menyalahkan orang lain. Begitu terbiasanya seseorang menudingkan jarinya ke orang lain, lama kelamaan menjadi reflek. Logika dilumpuhkan insting memegang kendali. Siapa yang lebih binatang, anjing atau kita?

Tapi bisa saja ada orang yang menyalahkan si anak. Dia pasti bandel dan susah dibilangin. Sudah sepuluh kali dikasih tahu tidak boleh main ke dekat sungai, tapi terus saja ia kembali ke sana. Untuk Anda yang berpikir seperti itu, saya cuma akan bilang, NAMANYA JUGA ANAK-ANAK! Mereka bukan orang dewasa yang sudah bisa berpikir jauh. Di dunia mereka yang ada hanyalah rasa penasaran dan bermain.

Kita harus menjadi seperti kaset rusak, mengulangi refain yang sama, jangankan sepuluh kali, tapi mungkin bisa ratusan kali. Capek? Semua orang juga harus mengalami proses itu. Anak bukan mie instant yang tinggal cemplung, dua menit kemudian matang. Anak itu seperti sebuah novel. Ditulis dengan hati dan logika. Lalu dibaca lagi, ditulis lagi. Dengarkan pendapat orang, ambil yang benar, lalu tulis lagi. Sampai akhirnya terjahitlah sebuah cerita yang bisa menginspirasikan orang banyak. Mengurus anak memang gak semudah dan senikmat proses pembuatannya. But I believe, if we raise children with compassion, dedication and love, then it’s gonna be one magical journey.

Thursday, June 7, 2012

Saatnya kebiasaan punya alasan

Betapa miris bagaimana manusia sering menyia-nyiakan kemampuan otak mereka dengan melakukan sesuatu atas nama kebiasaan.

Pada suatu siang di kantor, seorang teman datang ke meja saya untuk meminta tisu. Saya sama sekali tidak masalah, bahkan ketika ia tidak meminta ijin. Masalahnya adalah bagaimana ia mencabut tiga lembar tisu tanpa dengan enteng hanya untuk melap mulutnya sehabis makan. Gerah melihatnya, langsung saja saya “tembak”, “eh boros banget sih pake tisu. Berapa pohon tuh yang udah loe bunuh cuma buat ngelap mulut loe.” Apakah ia merasa bersalah? Mungkin sedikit. Tapi saat itu ia hanya senyum-senyum sambil bilang kalau itu, kebiasaan.

Jadi hanya dengan alasan kebiasaan, lantas semua jadi bisa dibenarkan? Semua jadi bisa dimaafkan? Padahal menurut data yang saya dapatkan dari Om Google, satu kantong tisu berisi 20 lembar, membunuh satu batang pohon. Bayangkan berarti kalau dia makan tiga kali sehari, plus dua kali jajan, itu sama dengan 15 lembar tisu atau hampir satu pohon. Coba dikalikan 30 hari atau 365 hari. Rasanya dia sudah menjadi si pembantai pohon.

Pohon itu hidup, walau ia tidak bersuara dan tidak bergerak dengan signifikan. Dan setiap makhluk yang hidup bisa merasakan sakit dan sedih.

Kadang kita suka pilu melihat foto atau video tentang orang yang menebang pohon tanpa perasaan. Seolah kita bisa merasakan sakitnya setiap hantaman kampak atau potongan gergaji mesin. Tapi dengan memakai tisu tanpa berpikir terlebih dahulu, apa bedanya kita dengan para pembalak liar itu kecuali lokasi, mereka di hutan, kita di kota.

Padahal yang kita butuhkan hanya sedikit lebih banyak menggunakan otak. Berpikir dulu sebelum melakukan kebiasaan boros menggunakan tisu. Bayangkan juga populasi pohon di hutan yang semakin jarang, lalu bayangkan apa imbasnya kepada dunia, kepada kita. Bayangkan asap knalpot bajaj atau bus umum, atau asap pabrik, lalu tarik napas dalam-dalam.

Di jalan kita sering sekali menemukan contoh lain dari kebiasaan yang salah. Yaitu kebiasaan memberikan uang ke pengemis. Bila dilihat sekilas, memang rasanya kebiasaan itu merupakan hal yang mulia. Namun apakah kita pernah berpikir, dengan membiasakan memberi uang ke pengemis justru akan membuat mereka malas. Buat apa capek bekerja bila hanya dengan mengadahkan tangan sudah bisa dapat uang. Karena itu jumlah pengemis semakin meroket.

Kebiasaan menyalahkan orang lain juga salah satu yang paling gawat. Menyalahkan orang yang korupsi, padahal kita juga tidak pernah melakukan apa-apa untuk memperbaiki negeri ini atau menyalahkan wanita yang memakai rok pendek atas ketidakmampuan diri sendiri mengontrol birahi.

Satu contoh lagi adalah kebiasaan kita mendidik anak.

Saya memang belum menikah dan punya anak, tapi setiap hari saya menyaksikan bagaimana anak kakak saya dibesarkan oleh neneknya, ibu saya dan juga orang tuanya, kakak dan kakak ipar saya.

Bagaiaman cara kita membesarkan anak kita secara tidak langsung dipengaruhi dengan bagaimana dulu kita dibesarkan orang tua kita. Masalahnya adalah jaman terus berubah untuk itu banyak cara dan pemikiran yang dulu rasanya benar, sekarang menjadi salah sama sekali.

Kebiasaan menakut-nakuti anak agar ia tidak macet makan, atau kebiasaan memukul dan menyalahkan lantai ketika si kecil terjatuh, atau kebiasaan membandingkan si kecil dengan orang lain. Semua ini adalah kebiasaan yang patut kita telaah lagi validitasnya di jaman sekarang.

Kebiasaan menjadi sesuatu yang, invisible bagi diri kita sendiri. Biasanya kita tidak sadar kalau kita melakukan hal yang salah. Di saat seperti ini lah kita butuh orang lain. Butuh teman yang berani mengatakan kalau kebiasaan kita salah. Jadi jangan tersinggung bila ada yang mengkritik, tapi jangan juga kita telan bulat-bulat. Gunakan otak yang maha canggih di dalam kepala kita untuk mencerna masukkan itu.

Melakukan sesuatu atas nama kebiasaan sama dengan malas mikir. Kalau bisa disamakan, “kebiasaan” mungkin bisa disebut insting. Jadi bila kita terus menuruti kebiasaan, apa bedanya kita dengan seekor kera yang punya kebiasaan buang kulit pisang sembarang setelah menandaskan isinya.

Lain kali, kalau kita ingin melakukan suatu “kebiasaan”, berhenti sejenak, pikir dulu alasannya, benar atau tidak, masih valid di jaman sekarang atau sudah usang. Setelah sadar benar dengan alasannya, baru jalani kebiasaan itu.

“Akh kebanyakan mikir loe!” mungkin orang akan komentar seperti itu, tapi melihat bagaimana sekarang kita hidup dengan rasa peduli yang semakin menipis, rasanya justru kita sudah jarang sekali serius berpikir.

Tuesday, June 5, 2012

Live the question


I wonder where life will lead me if I stop searching for the answer and start living the question. Listen to my heart and take the hardest decision based on it. Take every chance the life has offered. Happiness they say, is a sum of a million failures and tireless efforts to pull yourself together.

"Don’t search for the answers, which could not be given to you now, because you would not be able to live them. And the point is to live everything. Live the questions now. Perhaps then, someday far in the future, you will gradually, without even noticing it, live your way into the answer."
- Rainer Maria Rilke-