Wednesday, December 26, 2012

Tersesat di Bali


Saat malam turun, musik-musik keras mulai berdentuman di sepanjang jalan Legian. Bersamaan dengan itu, jiwa-jiwa yang tersesat mulai bermunculan; perempuan dan pria dengan tatapan yang kosong dan bahasa tubuh yang tidak lagi mengisyaratkan gairah hidup. Mereka seperti hantu gentayangan.

Seorang wanita berdiri di depan sebuah café remang yang berisik oleh musik diskotik. Rambutnya panjang, kulitnya legam. Dandanan tebal berusaha keras menutupi area di wajahnya yang sudah dimakan waktu. Aku taksir umurnya sudah hampir lima puluh, kalau tidak enam puluh. Ia mengenakan atasan blazer hitam ketat dan rok mini hitam. Ketika lewat di depannya tanpa sengaja aku menatap matanya, tapi tak ada siapa-siapa di sana. Hanya lorong kosong yang tak berujung. Mata yang tak bernyawa.

Ia berjoget tanpa gairah, mengikuti dentuman musik. Terlihat ia sedang menunggu seseorang untuk berkunjung ke cafe atau seseorang untuk membawanya pergi. Yang mana saja, mungkin ia tak lagi peduli.

Seorang pria tua Eropa berjalan sempoyongan. Bau alkohol meruak dari nafasnya ketika aku lewat di sampingnya. Ia jelas sedang mabuk, tapi ada yang lain pada ekspresinya. Sesuatu yang sedih pada lengkung bibirnya dan putus asa pada pijar redup matanya. Ia seperti tersesat.

Seorang wanita yang aku kira adalah istrinya berjalan beberapa langkah di belakangnya. Ekspresinya keras hingga membuat wajahnya tampak seperti patung batu yang dipahat. Mungkin ia marah atau malu pada tingkah suaminya. Seperti suaminya, ia juga tersesat, walau tidak mabuk.

Seorang wanita lagi. Yang ini jauh lebih muda dari wanita yang pertama. Mungkin tak jauh di atas dua puluh tahun. Parasnya manis, rambutnya tergerai panjang di belakang pundaknya. Ia duduk menghadap jalan di dalam sebuah bar. Kakinya yang nyaris telanjang disilangkan dengan anggun. Wajahnya beku tanpa ekspresi. Matanya menatap ke depan, tapi ia tidak melihat. Tampaknya pikirannya sedang berkelana jauh entah ke mana. Ia seperti tidak ingin berada di bar itu malam ini. Ia seperti tahanan.

Tepat di depan sebuah bar terdapat panggung kecil, sekitar 4x4m. Di atasnya seorang pria dengan penampilan serba putih dan metalik seperti robot dalam film The Wizard of Oz, menari-nari dengan berantakkan yang membuatnya seperti orang yang sedang tenggelam atau sedang menghalau lalat dari wajahnya.

Pria serba putih dan metalik itu tidak benar-benar bisa menari. Semua orang yang lewat tahu, dia sendiri juga tahu. Tapi tetap saja dilakoninya pekerjaan itu. Mungkin karena mudah dan bayarannya lumayan. Mungkin ia punya keluarga yang butuh makan dan adik-adik yang perlu sekolah. Atau mungkin ia hanya, malas.

Ternyata di balik hingar bingar kehidupan di Bali, ada sisi lain yang mengingatkan, kalau dalam hidup ini kita semua adalah pengembara. Sebagian kecil langsung sampai tujuan, Sebagian besar tersesat. Sebagian yang tersesat berjuang hingga berdarah-darah untuk menemukan satu jalan menuju “rumah”. Sebagian lagi memilih menunggu suatu saat nasib akan berubah, hingga akhirnya ketika mereka sadar hal itu tidak akan terjadi dengan sendirinya, mereka sudah terlanjur tersesat terlalu jauh.

Wednesday, December 12, 2012

Nature Almighty



Mendaki Gunung Papandayan menorehkan pengalaman menakjubkan sekaligus mengerikan. Hamparan luas gunung batu yang seolah tanpa ujung dikelilingi tebing-tebing raksasa dan sungai kecil serta asap belerang berwarna putih yang tak henti-hentinya mengepul ke langit lewat celah bekas keluarnya lahar, memberikan firasat kalau ada pada Gunung itu sesuatu yang hidup dan berkuasa, Alam.

Aku pergi dengan enam orang sahabat, empat pria dan tiga wanita (dua ibu hamil). Kami sekumpulan manusia kota mencoba mencari petualangan baru yang jauh dari hiruk-pikuk ibukota. Papandayan menjadi petualangan pertama.

Photo by Irwan Khill
Terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat, Gunung Papandayan merupakan satu dari sekian banyak gunung merapi yang masih aktif.

Kami sampai di kaki Gunung Papandayan pukul 11 siang. Pertama kali turun dari mobil sepoi sejuk dan ramah angin gunung langsung menyapa kami. Sebelum mulai mendaki kami melepas lelah 6 jam perjalanan dari Jakarta dengan menikmati makanan di warung-warung di sudut lapangan parkir. Setelah enam bungkus indomie, dua piring nasi goreng, tiga bungkus kacang, dan beberapa potong pisang, akhirnya pendakianpun dimulai.

Awalnya Jalur pendakian cukup lebar untuk jalan satu mobil. Namun lama semakin jauh kita melangkah jalan di depan semakin menyempit dan menanjak.
Konturnya berbatu dan berkerikil. Pemakaian sendal jepit karet sangat tidak dianjurkan. 

Photo by Benz Wijaya
 Mendaki gunung Papandayan membuatku merasa seperti sedang menapaki punggung sebuah makhluk raksasa yang sedang tertidur. Deretan tebing di sekelilingnya membuatku merasa ada yang sedang mengawasi. Langkah demi langkah aku ambil dengan hati-hati, karena bebatuan dan kerikil bisa membuatku tersandung atau terpleset. Di samping tempatku menapak, jurang mengaga sedalam tak kurang dari 100 meter.

Selama pendakian yang terdengar hanya suara bising alam. Siulan angin yang berhembus, gemericik sungai yang mengalir, gemeretak batu yang terinjak. Sebuah simfoni alam yang megah dan ajaib.

Udara dingin bertiup sejuk membuai tubuh dan jiwa lelah yang aku bawa dari kota yang tak pernah tidur. Tarik napas yang dalam, biarkan udara segar mengalir ke dalam paru-parumu.

Sampai pertengahan jalan, kaki yang terbiasa berjalan di dataran beraspal atau terbiasa menginjak kopling dan gas, mulai terasa kagok. Namun kemegahan Gunung Papandayan dan misteri yang menunggu di puncaknya membuatku memaksa kedua kaki ini untuk terus melangkah, tapi perduli selelah apapun.

Photo by Benz Wijaya
Ada sesuatu di puncak setiap gunung yang dengan misterius memikat hati, tak terkecuali Gunung Papandayan.

Setelah satu setengah jam perjalanan, akhirnya kami sampai setengah perjalanan menuju puncak. Mengingat ada dua ibu hamil, kami memutuskan tidak naik lebih jauh lagi. Jadi kami hanya sampai sejauh, mungkin… pinggang gunung.


Namun jangan kamu remehkan walau hanya sejauh itu. Coba lempar pandangan ke sekeliling, maka kamu akan menemukan kebesaran alam. Jauh di sisi kanan tempatku berdiri, terdapat hamparan kawah tempat asap putih belerang mengepul ke atas seolah mencipta awan. Angin menerpa wajah degan lembut dan sejuk, aku merasa jiwaku terlepas dan ikut terbang bersamanya. Mataku dimanjakan oleh pemandangan kawah, tebing-tebing besar, dan langit biru berawan yang indah.

Tak tahu lagi harus berbuat apa dan berkata apa, aku terduduk dalam diam di atas sebuah batu sambil menikmati semua itu. Berbagai perasaan berpusar resah di dalam dada, tapi ada dua perasaan yang mendominasi, Takut dan Kagum.

Photo by Irwan Khill
Aku takut karena sadar aku hanya sebagian kecil dari alam yang begitu besar.  Dari ceruk-ceruk gunung yang mengeluarkan asap putih dan tebing-tebing yang besar, alam terlihat penuh dengan gairah hidup. Alam bisa terus hidup tanpa kita, tapi kita tidak bisa hidup tanpa alam. Semua kesombongan dan kebanggaan yang selama ini membesar di diriku, jadi setitik debu lalu tertiup angin. Kepalaku merunduk, hatiku tunduk.

Aku kagum, sebagai seorang anak kota yang biasanya hanya menjelajah hutan beton, kalau ternyata Tanah Ibu Pertiwi ini begitu cantik dan megah. Liburan tak melulu harus pergi keluar negeri. Di sini, di negeri kelahiran kita, di rumah kita sendiri, masih ada tempat yang bisa membuat kita terperangah.

Bagiku, perjalanan ini lebih dari sebuah wisata tapi juga meditasi untuk menambal apa yang terkoyak di dalam


Suatu hari nanti aku akan kembali ke gunung ini dan mendaki sampai ke puncaknya untuk melihat hamparan bunga edelweiss, juga sejuknya embun pagi sambil menanti matahari terbit dari puncak Gunung Papandayan.