Monday, March 31, 2008

Menunggu Lahirnya Awal Dari Sebuah Impian

Kapan ya kira-kira film pertama gua bakal tayang. Walau kualitasnya masih jauuuuh dari film-film Hollywood, eropa, dan beberapa film Indonesia. Gak bakal mendapat penghargaan golden globe atau academy award. Bisa ditonton dan menghibur (mengispirasi bonusnya) penontonnya saja, gua sudah sangat bersyukur.

Film gua ini hanyalah sebuah FTV yang bicara tentang impian, keberanian, dan persahabatan remaja, ABG tepatnya. Sesuai pengalaman yang sudah-sudah, memangnya bisa sebagus apa sih FTV remaja. Tapi jauh di dalam hati, gua berharap, kalau film ini (kalau jadi tayang), bisa menghibur dan menyentuh, walau sekedar menoel hati penontonnya. Dan semoga gua masih punya kesempatan membuat film lainnya, yang harus lebih bagus tentunya.

-Semangat Berkarya Untuk Bangsa-

Saturday, March 22, 2008

Sebuah pernikahan yang prematur (mungkin)

Gadis itu melangkah masuk ke ruangan sambil memegang sebuah bouquet mawar semerah darah di tangan kanannya. Berbalutkan rajutan keindahan gaun putih, cadar yang tergerai di belakang kepalanya, senyuman yang sedikit dipaksakan, wajah yang mengisyaratkan naifnya sebuah kepolosan, dan keraguan di matanya, ia melangkahkan kakinya terburu-buru.

Siang itu, seperti biasanya, ia terlihat cantik. Kulitnya putih bersih, parasnya cantik dengan polesan dandanan yang sempurna, setiap langkahnya memancarkan keanggunan dan kepolosan seorang putri. Tapi entah kenapa, di mataku saat itu, dia seperti seekor anjing kecil yang sedang tersesat di persimpangan. tak punya keyakinan, hanya naluri yang masih tumpul.

Di sampingnya seorang laki-laki berjalan dengan gagah yang pongah, seperti seorang jendral yang baru saja berhasil menaklukkan sebuah pulau tak bertuan. Di balik punggungnya, tersebar desas-desus yang tidak enak tentang dirinya dan keluarganya. laki-laki itu menjebak si wanita, merasukinya seperti roh jahat pada jiwa manusia yang lemah. Membisikinya dengan kata-kata cinta yang beracun, mengaburkan logikanya dengan puisi-pusi cinta picisan. Begitulah kira-kiraku.

Persiapan pernikahan itu hanya memakan waktu satu bulan. Dua minggu sebelum hari H, si wanita datang padaku dan bilang kalau sebenarnya dia tidak siap menikah, parahnya lagi dia belum memberikan sepenuhnya hatinya pada si laki-laki. Ketika itu dia masih merasa kalau pernikahan ini adalah pelampiasan hatinya yang baru saja patah. Sepanjang malam dia terus mengatakan kalau ia belum siap dan takut, tapi dibalik semua keluhannya, aku tahu kalau sebenarnya dia tidak perduli akan apa yang akan terjadi. Dia hanya berharap menikah akan mengusir semua resahnya. Impian masa kecil tentang indahnya pernikahan terlihat menari-nari riang di dalam mata coklatnya.

Pernikahan itu pun, melahirkan balada sakit hati baru. Cara penyebaran undangan yang terkesan asal-asalan, telah menggores harga diri mereka yang begitu rapuh dan mahal, bagai vas porselin antik dari cina. Sebagian dari mereka tidak datang siang itu, sebagian terpaksa datang karena merasa tidak enak. Tapi mungkin mereka lupa atau sekedar mati rasa, karena terlepas dari semua hal-hal yang tidak enak mengenai pernikahan ini, dua orang atau salah satu dari mereka adalah teman, sahabat, dan umat kita.

Mungkin mereka memang buta logika dan kenyataan, tapi hal itu tidak memberikan alasan bagi kita untuk mengabaikan mereka. Sekarang, pernikahan itu telah berlangsung, si gadis dan si laki-laki sudah mendapat restu dari sang pemimpin upacara, arak telah diteguk, dan cincin perkawinan pun terlanjur memeluk erat jari manis kedua pasangan itu. Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah berdoa dan membuka hati bila suatu saat nanti, apa yang diramalkan oleh orang-orang sinis itu, menjadi kenyataan. Apakah kita punya hati sebesar itu? Karena suatu saat, secara langsung atau tidak, bila kita terus mengasah kepicikan ini, mungkin kita bisa terjebak di dalam lubang yang sama.

Wednesday, March 19, 2008

Troublemaker

Little Bobby came into the kitchen where his mother was making dinner.
His birthday was coming up and he thought this was a good time to tell
his mother what he wanted.
"Mom, I want a bike for my birthday." Little Bobby was a bit of a
troublemaker.
He had gotten into trouble at school and at home. Bobby's mother asked
him if he thought he deserved to get a bike for his birthday. Little Bobby, of course, thought he did.


Bobby's mother, wanted Bobby to reflect on his behavior over the last
year.
"Go to your room, Bobby, and think about how you have behaved this year.
Then write a letter to God and tell him why you deserve a bike for your birthday." Little Bobby stomped up the steps to h! is room and sat down to write God a letter.

Letter 1

Dear God,

I have been a very good boy this year and I would like a bike for my
birthday. I want a red one.
Your friend,

Bobby

Bobby knew that this wasn't true. He had not been a very good boy this
year, so he tore up the letter and started over.

Letter 2

Dear God,

This is your friend Bobby. I have been a good boy this year and I would
like a red bike for my birthday.
Thank you.

Your friend Bobby

Bobby knew that this wasn't true either. So, he tore up the letter and
started again.

Letter 3
!
Dear God,

I have been an "OK "boy this year. I still would really like a bike for
my birthday.
Bobby

Bobby knew he could not send this letter to God either. So, Bobby wrote
a fourth letter.
Letter 4
God,

I know I haven't been a good boy this year. I am very sorry. I will be a
good boy if you just send me a bike for my birthday. Please!
Thank you,

Bobby


Bobby knew, even if it was true, this letter was not going to get him a
bike. Now, Bobby was very upset. He went downstairs and told his mom that he wanted to go to church. Bobby's mother thought her plan had worked, as Bobby looked very sad.
"Just be home in time for dinner," Bobby's mother told him.

Bobby walked down the street to the church on the corner. Little Bobby
went into the church and up to the altar. He looked around to see if anyone was there. Bobby bent down and picked up a statue of the Virgin Mary.
He slipped the statue under his shirt and ran out of the church, down
the street, into the house, and up to his room. He shut the door to his room and sat down with a piece of paper and a pen. Bobby began to write his letter to God.


Letter 5

God,

I'VE KIDNAPPED YOUR MAMA. IF YOU WANT TO SEE HER AGAIN, SEND ME THE BIKE !!!!!!

Bobby

Sunday, March 16, 2008

Gadis Kecil Itu

Malam kemarin, dari atas motor, bersama sisa tenaga yang nyaris terkuras, sebuah keceriaan yang sederhana, menyentuhku.

Dia, gadis kecil itu, yang berambut keriting pendek, mengenakan kaos lengan panjang warna putih yang dekil oleh ampas-ampas kehidupan, melompat, menari, dan tertawa sendiri. Di sekitarnya bising kendaraan dan bau asap mengelilinginya. Wajah-wajah jemu dan lelah di balik helm dan di dalam mobil menjadi sangat kontras dengan keceriaan dari wajah gadis kecil itu.

Mungkin dia belum makam malam itu, atau hari itu. Mungkin juga, ia tidak pernah tahu siapa orang tuanya. Dia terlihat sendiri tak punya kawan. Tapi dia tampak tidak kesepian, dia bahagia. Dia melompat seperti penari balet, bernyanyi kecil, memutar tubuh mungilnya, menginjak sebatang kayu, menyeringai lebar memperlihatkan sederetan gigi yang tidak rata dan gusi yang merah, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas, dan melirik wajah-wajah jemu yang sedang memerhatikannya.

Dia, gadis kecil itu adalah seorang penari balet handal dia atas sebuah panggung besar dengan ratusan lampu sorot dan beribu penonton yang sedang menahan nafas dan decak kagum, menunggu aksi lompatan penutup. Begitulah kira-kira imajinasiku, dan mungkin juga imajinasinya, gadis kecil itu.

Setelah memastikan kalau kakinya menapak sempurna di atas sepotong kayu dan semua mata dari wajah-wajah jemu memerhatikannya, dia melompat setinggi-tingginya, walau tidak benar-benar tinggi. Sangat pendek malah. Tapi tetap saja, setelah dia kembali menginjak trotoar yang terbuat dari susunan kotak-kotak pavin block, dia membusungkan dadanya, kembali megnacungkan tangan tinggi-tinggi, dan Seringai ceria itu, kembali menghiasi wajah munguilnya. Dia berhasil melompat dengan indah.

Dan, orang-orang pun berdiri dari duduknya, meluapkan kekaguman mereka dalam tepukan tangan yang meriah dan gelengan-gelengan tak percaya. Begitulah lagi, kira-kira imajinasiku dan munkin juga imajinasinya, gadis kecil itu.

Lalu, tak lama kemudian, lampu merah berganti hijau. Wajah-wajah jemu yang sedari tadi memerhatikan si gadis kecil, kembali menatap ke depan dan memacu kendaraanya. begitu juga aku. Meninggalkan si gadi kecil berdua bersama keceriaanya.

Ketika motorku baru melaju pelan, aku sempatkan melirik si gadis kecil itu untuk terakhir kalinya. Seringai ceria yang sama, gusi merah, dan gigi tak rata yang sama, masih melekat di wajah mungilnya. Tiba-tiba sebuah pertanyaan pun hadir, "kapan terakhir kita bisa punya hati seringan si gadis kecil itu (walau hidup terus merong-rong)? kapan terakhir kita loncat-loncatan atau melakukan apapun yang membuat kita bahagia, tanpa peduli orang menganggap kita aneh? kapan terakhir kita bisa bahagia dengan diri kita sendiri apa adanya?"

hm... kapan ya?

Friday, March 14, 2008

Sebuah Catatan Di Tengah Hujan

Beberapa malam belakangan ini, di perjalanan pulang, aku tidak sendiri. Ada hujan yang menemani.

Ia hadir bersama menggelapnya hari. Menyapaku lewat rintiknya yang mengetuk-ngetuk helmku. Lewat tangan telanjangku ia susupkan sejuk yang menghangatkan. Melalui pantulan cahaya, dari aspal gelap yang sengaja ia basahi, ia ingin bicara tentang kilau harapan di saat hidup sedang sehitam malam. Bersama beribu dirinya yang membasahi diriku ia bilang kalau aku tidak sendiri, tidak pernah sendiri. Lalu, ia coba mengajakku tertawa dan menikmati hidup lewat sekumpulan anak-anak yang sedang asyik berkejar-kejaran di dalam hujan.

Beberapa malam itu, ketika semua orang berlarian menepi untuk berteduh atau memakai jas hujan untuk menghindari hujan, aku malah masuk ke tengah-tengahnya, memacu motorku dengan letupan harapan baru di dalam dada. Menyatu. Mencair. Bahagia. Lalu aku berpikir, mungkin, malam itu, hanya aku yang kesepian.

Wednesday, March 12, 2008

Mengisi Kekosongan

Lagi gak ada kerjaan. jadinya mengubeg-ubeg Internet mencari sesuatu untuk mengisi kekosongan. "Kalau kosong jangan sampai melompong" (moto baru ni. ;p). Sekalian menunggu meeting jam 2 siang nanti. sehabis ini ada janji lunch sama si dia. Setelah kemarin, melewati malam kelam berbelit berbagai kerumitan hubungan manusia. Mungkin siang nanti, walau hanya sebentar, beberapa simpul yang mencekik bisa terlepas dan menjadi lurus.

Sunday, March 9, 2008

Kenapa aku suka menulis?

Karena aku cinta menulis. Karena hanya ketika menulis lah, aku sanggup menjadi jujur seutuhnya. Dan lewat kejujuran itulah aku jadi berani hadapi aku, sekaligus bermimpi untuk bisa menyentuh kejujuran-kejujuran lain agar mereka mau keluar dari ruang semu bernama kenyamanan dan punya nyali menghadapi kenyataan.

Tapi, kenapa jawaban jujur ini tidak meluncur ketika dipertanyakan?

Mulai lagi

Sudah lama rasanya gua lupa akan tempat sampah ini. Terlalu kental di dalam kesibukan atau kemalasan, mungkin. Tapi kini gua kembali atau setidaknya berusaha untuk menjadi seperti sedia kala, karena jujur, gua rindu mencandunya, mengisinya dengan sampah yang ternyata bisa didaur ulang menjadi harapan baru bagi gua dan mungkin bagi mereka yang rela meluangkan sedikit waktunya, untuk melongok ke dalamnya. Sedikit, walau hanya sekilas.


I’m back my hearty trash can. Miss u really.