Kisah ini mungkin bukan pengalaman hidup gua yang paling buruk, tapi pastinya yang paling BAU. Selamat menikmati dan gua sarankan, tutup hidung selagi membaca.
Malam tadi, setelah selesai rapat, gua dan ketiga teman memutuskan untuk mencari makan. Mengisi kembali energi yang tadi terbuang untuk memeras otak. Tepat di saat kita akan berangkat, kami bertemu dengan seorang teman (pria) yang kebetulan juga sedang kelaparan. Alhasil, kami mengajaknya. Dan ini ternyata menjadi momen pembuktian kalau kebaikan hati tidak selalu berbanding lurus dengan berkah yang baik.
Tepat ketika si teman ini masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku sebelah gua, bau tidak sedap langsung masuk menusuk ke dalam hidung. Baunya ya Tuhan, perpaduan sempurna dari asin keringat dengan bau matahari dan bau celana jeans yang lembab. Sepertinya tak ada kata dalam Bahasa Indonesia yang bisa menggambarkan betapa kejam baunya. Dalam sekejap alarm hidung gua langsung meraung-raung tanda bahaya. Namun apa daya. Tidak mungkin kan gua suruh si teman ini keluar.
Akhirnya gua mencoba satu-satunya cara, yaitu berusaha sekuat tenaga menahan napas dan hanya menariknya sedikit-sedikit bila dada sudah sesak. Tapi gua kan bukan onta yang bisa menyimpan udara di dalam punduknya. Eh tunggu, onta kan menyimpan air. Akkh loe ngerti kan maksud gua.
Namun drama bau tidak sedap ini belum sampai klimaksnya. Teman gua ini adalah seseorang yang suka sekali ngobrol dan bercanda. sedangkan gua, adalah orang yang sungkan. Jadi bila ada orang yang melucu, segaring apapun, gua pasti berusaha untuk tertawa. Seperti yang saudara-saudara sekalian pastinya sadar, kalau orang bicara secara tidak langsung ia juga mengeluarkan udara mulut. Sedangkan bila orang tertawa, dia pasti akan lebih dulu menarik udara masuk ke paru-paruya. Di sinilah puncak segala macam bau menemukan kesempurnaannya.
Pada satu momen, teman gua ini melontarkan sebuah lelucon sambil menghadapkan wajahnya ke arah wajahku. Saudara-saudaraku, andai hanya lelucon yang terlempar dari mulutnya tidak ditambah hawa jigong, pasti gua akan tertawa terbahak-bahak. Bau mulutnya dibonceng hembusan angin AC mobil seperti tentara Belanda kembali ke Indonesia dibonceng tentara NICA, mampir ke dalam hidung gua untuk menjajah. Aromanya yang “sedap” berhasil membawa bau busuk ke level yang lebih tinggi. Seolah-olah orang ini baru saja makan bangkai seekor tikus yang baru saja makan bangkai tikus lain yang baru saja makan bangkai kecoa yang baru saja makan bangkai bakteri dari got. Rasanya tidak perduli sekuat apa gua berusaha menahan napas, baunya tetap saja tercium. Kepala gua langsung pusing dan perut gua mulas. Rasanya kalau di saat itu gua kentut, baunya bakal minder.
Secara tidak sadar gua jadi menyetir mobil sedikit ngebut. Begitu sampai di tempat tujuan, gua langsung menghirup wangi aroma malam yang baru saja dirumpahi hujan. Segarnya, amboi bukan kepalang.
Setelah menetralkan bau mengerikan tadi, gua langsung mendekati salah satu teman semobil yang duduk di belakang. Gua minta dia untuk duduk di depan menggantikan si pria itu nanti waktu pulang. Dengan kejamnya, teman gua ini hanya tertawa meledek lalu dengan teganya bilang, “untung dia gak duduk di belakang.” Lalu melengos pergi.
Akhh kejam. Itu tandanya dia menolak permintaan gua. Akibatnya sepanjang makan, syaraf penciuman gua stress membayangkan perjalanan pulang. Gua gak sanggung melewati penderitaan yang sama sekali lagi. Apalagi kita makan di restoran out-door dalam malam panas yang lembab. Langsung gua membayangkan bagaimana keringat mengalir dari sejuta pori-pori di tubuhnya bersama dengan uap tubuh. Lalu keduanya akan menyerap ke pakaiannya yang entah sudah berapa lama tidak dicuci.
Hilang napsu makan gua.
Setelah satu jam makan, tiba saatnya pulang. Pasrah hanya satu-satunya pilihan yang gua punya. Sedangkan teman (baca: pengkhianat) yang tadi menolak permintaan gua, hanya bisa tersenyum iseng dan berlagak bego.
Anehnya! Di dalam mobil bau itu tidak tercium. Hanya tercium sisa-sisa aroma khas mobil baru. Apa jangan-jangan indra penciuman gua sangat trauma sampai jadi kebal? Apapun alasannya, gua bersyukur kalau selama perjalanan pulang gua gak harus tersiksa lagi. Dan kita semua selamat sampai di rumah masing-masing.
Entah hikmah apa yang bisa gua ambil dari teman gua sang penyiksa hidung itu, tapi yang pasti gua berterima kasih sudah mengalami kejadian yang tidak menyedapkan tadi. Karena kadang memang dari sana hidup kita jadi punya warna-warni yang unik.
No comments:
Post a Comment