Thursday, September 18, 2014

sepi

-->
Ada sesuatu yang menarik dari sepi. Ada suara-suara kecil yang biasanya selalu kalah oleh kebisingan. Suara-suara yang awalnya kita pikir tak pernah ada, dalam sepi terdengar lantang, mengungkapkan rahasia-rahasia tentang siapa diri kita sebenarnya. Mungkin itu kenapa sebagian orang takut sepi. Bukan sekedar takut kesepian. Mereka tidak suka diingatkan tentang dirinya sendiri. Lantas mereka pergi mencari kebisingan-kebisingan di luar sana untuk memendam sesuatu yang sudah lebih dulu terbisukan.
Ada sesuatu yang menarik dari sepi. Sesuatu yang sulit dimengerti, tapi begitu mudah dirasakan seandainya kita berani mendenga.

Sunday, September 14, 2014

Rio

-->
Namanya Rio. Aku tidak tahu nama lengkapnya. Hanya tiga huruf itu saja. Sekilas tangkap nama itu terasa jenaka, seperti film kartun soal burung biru. Padahal, kenyataannya, ada cerita segelap tinta. Si pemilik nama itu adalah seseorang dengan mental terbelakang. Perangainya sulit ditebak. Kadang iseng. Kadang Marah. Kadang Diam saja. Bicaranya sedikit gagap dan semakin parah bila ia gugup. Suara tawanya serak, lantang, dan tersentak-sentak. Setiap mulutnya terbuka jaring-jaring liur muncul di sudut bibirnya. Sebagian orang suka mempermainkannya seolah-olah orang dengan masalah mental tak punya perasaan. Dan aku membenci mereka yang begitu.
Awalnya aku juga seperti orang kebanyakan. Jengah melihat tingkah Rio. Pernah aku memarahinya. Ia memang punya kebiasaan meminjam SMS untuk menghubungi Ibunya. Tapi selain itu, di saat kita lengah, ia suka membaca isi SMS di inbox. Suatu kali aku menangkap basah saat ia sedang tersenyum-senyum membaca isi SMS aku dengan seseorang yang istimewa.
Naik pitam dalam sekejap. Aku memarahinya dan melemparnya dengan sumpah untuk tidak akan lagi membiarkan handphoneku disentuh oleh Rio. Ia minta maaf berulang kali. Tapi sambil senyum-senyum geli karena mungkin masih terbayang isi SMS yang romantis najis.
Ia juga genit. Sering kali ia mendekati perempuan untuk berkenalan lalu minta nomor telepon. Sudah pasti gayung tak bersambut. Yang diminta kadang menjawab dengan senyum pahit. Namun Rio bukanlah Rio bila langsung menyerah. Ia terus mencari jalan tanpa sadar ia sudah menabrak tembok.
Awalnya ia punya beberapa teman. Sebagian memang tulus berusaha menerimanya apa adanya, tapi sebagian lagi hanya senang punya bahan untuk dipermainkan. Namun yang tulus lambat laun menyerah dan mulai menghindar. Sedangkan yang tidak tulus, memang tak pernah ada untuknya.
Aku mulai sering melihat Rio sendirian. Sembahyang sendirian. Makan sendirian. Beli minuman di warung, sendirian, Bahkan saat ia sedang ikut pertemuan yang ramai oleh umat, ia tetap sendirian. Semakin lama tubuhnya semakin kurus. Keriaan Rio yang dulu menjadi ciri khasnya telah hilang. Wajahnya seperti seorang pesakitan. Tirus, kantung matanya hitam, dan kulitnya pucat. Ia juga jadi lebih sering merokok dan bengong.
Hingga dua minggu yang lalu aku mendapat kabar kalau Rio sudah tiada. TBC menggerogoti tubuhnya dari dalam sampai menjadi kurus dan lelah hingga nyawanya tak lagi betah tinggal di sana dan akhirnya minggat.
It’s heartbreaking to know that he has gone.
Aku tak bisa datang pada saat malam kembang. Tapi dari cerita teman yang ada di sana, kakaknya meminta maaf kalau selama hidupnya, Rio sering mengganggu. Ia sebetulnya seorang anak yang pintar, meski terlihat sebaliknya.
Setelah ini mungkin orang akan begitu saja lupa kalau di dunia ini pernah ada seorang manusia bernama Rio yang dengan kita berbagi udara berpolusi yang sama, terik matahari yang sama, kemacetan Jakarta yang sama, dan harapan yang sama untuk menjadi orang yang lebih baik. Perannya mungkin tak terlalu penting dalam kehidupan kali ini. Tapi aku percaya, di kehidupan selanjutnya, ia pasti akan menjadi manusia yang hebat.
Selamat Jalan Kawan

Wednesday, July 23, 2014

Sesekali lepaskan saja!


Lepasinn .lepasin semua. Biarkan jemari menggila di atas keyboard. Bahkan ga sambil melihat layar laptop. Semua menjadi sesuka hati aja. Salah bebenar belakangan aja. Persetan dengan semua yang ada di dunia ini. persetan dengan semua orang yang negatif. Persetan dengan diriku yang juga seperti mereka. Lepaskan semua. Biarpun nanti itulisan ini cuma jadi sampah. Tapi kadang kita harus melepoaskan. Jangan lagi memenjarakan perasaan. Baiarkan sesekali ia meliar./ lepas kendali. Tanpa tali kekang. Seperti anjing yang di bawa jalan pertam kali. tak ada aturan. Pergi ke mana insting membawanya. Pergi. Pergi dari semua norma. Pergi dari hal hal yang kamu takutkan. Pergi dari anggapan orang. Pergi dari dunia yang palsu ini. hidup adalah persepsi. Persepsi yang membuat kita dibui. Takut dianggap jelek,. Takut dibilang salah. takut sendiri. gak punya teman. Tapi teman buat apa b? yang penting sahabat. Orang yang bisa menerima dirimu meski saat kamu sedang lepas, atau kelepasan. Lebih baik punya satu sahabat daripada 1000 teman palsu.

Thursday, July 17, 2014

Pagi

-->
AC berderu lemah dan monoton. Udara dingin menyayat kulit tak berselimut. Tas hitam di lantai kamar ditangkap ekor mata seperti kepala tak berbadan. Sayup-sayup terdengar suara seorang wanita menyanyikan sebuah lagu mandarin dari radio kecil milik Papa. Nadanya mendayu-dayu. Suara penyanyinya merintih. Aku tak mengerti apa artinya, tapi aku bisa merasakan kesedihannya. Musik sember dari speaker “ember” milik tukang roti keliling mencemari pagi. Di antaranya, keponakanku menjerit menangis mencari perhatian. Pompa air berderu kasar seperti seorang tua sedang berusaha mengeluarkan dahak dari dalam tenggorokannya.
Suara-suara memang selalu memperebutkan pagi di tempat ini. Kadang terlalu. Namun aku tahu akan merindukan pagi yang bising ini ketika nanti tinggal sendiri. Namun aku akan punya pagi yang lain. Pagi yang baru. Pagi yang aku nantikan sejak setahun yang lalu. Pagi yang tidak diperebutkan. Pagi yang hanya menjadi milikku seorang.

Friday, July 11, 2014

Malam Berbahasa

Malam berbahasa. Meski tak lantang dan tak menantang seperti siang. Sayangnya sebagian besar orang tak peduli. Mereka tenggelam dalam gesa bersama langkah-langkah panjang dan wajah-wajah lelah. Padahal, seandainya mereka mau berhenti sejenak untuk mengamati dan mendengarkan derunya, gemerlap lampu-lampunya, gang-gang sepi yang menyimpan misteri, derak langkah kucing di genting, sepoi angin, dan bagaimana dedaunan berbisik seperti orang-orang sirik, maka mereka akan bisa mendengar malam menembang, tentang sebuah kisah yang lahir pada saat gelap dan berakhir dengan gelap.

Sunday, July 6, 2014

Sebuah Catatan Tentang Fanatisme


Banyak teman saya mengingatkan agar saya tidak terlalu fanatik kepada salah satu calon presiden. Hal itu membuat saya berpikir, apakah benar saya fanatik? Setelah saya rasakan, ternyata benar. Saya memang fanatik. Kalau boleh meminjam ungkapan pendukung sepak bola Italy, saya adalah Tifosi. Tapi fanatisme saya bukan ditujukan kepada salah satu calon presiden, tapi kepada sebuah negeri yang nantinya akan dipimpin oleh presiden tepilih.

Indonesia harus baru. Indonesia harus maju. Itu saja yang berputar-putar di dalam kepala saya dari masa awal kampanye dimulai sampai detik ini. Seandainya ada calon no 3 yang lebih baik dari no1 dan no 2, saya akan sepenuh hati memilihnya.

Sayangnya untuk sekarang, buat saya hanya calon no 2 yang terbaik untuk memimpin negeri ini. Orang itu sudah punya karya yang jelas, yang jelas-jelas berguna bagi banyak orang. Jadi saya tanpa ragu mengatakan saya fanatik dengan no 2.

Negeri ini butuh generasi baru bila ingin maju. Generasi baru yang bukan berasal dari yang baru di masa lalu.

Sebagai penutup saya ingin mengatakan:

Fanatisme itu perlu. Tak ada yang salah dengan Fanatisme, yang salah adalah persepsi Anda. Jadi jangan minta orang lain untuk tidak bersikap fanatik kalau Anda sendiri belum benar-benar paham artinya.

Sunday, April 27, 2014

Manusia dan Manusia

-->
Ada yang rasanya dingin di dalam sebuah mall besar di daerah Senayan, Jakarta. Bukan ice cream warna-warni yang dijual di etalase kaca, bukan juga AC yang menyembur. Melainkan sebuah mesin direktori yang baru dan mutakhir.
Mesin direktori itu menggunakan layar sentuh dengan tampilan peta lokasi 3D dan canggihnya lagi bisa mencetak petunjuk arah dan patokan jelas pada secarik kertas yang isinya seperti bertanya kepada seorang satpam (dari sini belok kiri setelah restoran A, lurus ke outlet B, belok kanan).
Sangat ringkes dan efisen. Begitu mudahnya sehingga ia seperti seorang manusia. Seperti manusia – justru sifatnya yang menyerupai tapi tak sama itulah yang menyesatkan.
Bukan fisik yang tersesat, tapi jiwa yang terletak jauh di dalam. Kemanusiaan hilang arah, kering makna. Hubungan antar manusia menjadi tak penting, remeh. Orang jadi tak perlu lagi bertanya kepada orang lain.
Karena mungkin dipikirnya manusia lebih berpotensi untuk eror ketimbang mesin. Orang bisa lupa atau sok tahu sedangkan mesin tidak memiliki ego.
Pada masa di mana orang lebih senang berdialog dengan gadget dan lebih nyaman bersosialisasi di dunia maya, mesin direktori super efisien ini menjadi sebuah personifikasi yang miris.
Seolah-olah manusia tidak butuh manusia lain untuk bisa mencapai tujuan. Kita jadi lebih percaya pada hal-hal yang mekanik daripada yang berdarah-daging. Toleransi akan kesalahan manusia melemah. Orang seringkali diharapkan menyerupai mesin. Harus cepat dan tidak boleh salah.
Padahal dari kesalahan kita baru bisa be-re-vo-lu-si dan ber-e-vo-lu-si. Kalau semua hal selalu tanpa cacat, maka tidak akan ada ruang untuk tumbuh. Kesalahan adalah luka begitu perih yang mendorong manusia untuk menjadi lebih baik.
Namun bukan berarti kita harus menutup diri dari kemajuan jaman. Suka atau tidak dunia akan terus maju. Diam tertinggal. Menutup diri terasingkan. Suka atau tidak, kita harus suka.
“There are just too many things we have to think about everyday, too many new things we have to learn. But still, no matter how much time passes, no matter what takes place in the interim, there are some things we can never assign to oblivion, memories we can never rub away.” –Haruki Murakami-
Ini adalah kutipan sebuah novel Haruki Murakami. Penulis kelahiran Jepang ini bicara tentang kenangan. Bila kenangan itu kita andaikan sebagai manusia, maka bisa dikatakan sehebat-hebatnya teknologi, kita tetap tidak bisa mengacuhkan keterikatan terhadap sesama. Teknologi meminimalisir kesulitan, tapi kepedulian manusia terhadap manusia lainlah yang mendorong terciptanya sebuah teknologi yang bisa memudahkan hidup manusia dari berbagai kesulitan.
***

Friday, March 21, 2014

I was going to drink by myself but instantly drop that idea because alone, I might open my laptop and start to work again.


Am I sick or just lonely?

Thursday, January 30, 2014

Menyembul di Kala Bengong di Jalan

Bila aku terlihat ragu mendengar jawabanmu yang ragu-ragu, jangan tersinggung. Lebih baik bilang tidak tahu daripada tahu padahal sebenarnya cuma pura-pura tahu.

--

Salahkah aku bila diam-diam mencintai hujan yang dihujat banyak orang?

--

Adakah manusia tetap manusia apabila di dalam bus yang penuh sesak seorang tua renta berdiri di depannya tapi ia tetap duduk dengan nyaman?

--

Aku bilang cinta.

"Taik kucing!" jawabnya.

"Rasa coklat." sambarku.

Dia terdiam bingung menatapku. "Gak lucu!"ketus ia menghajarku balik.

Aku terdiam. Dia terdiam. Canggung bergerak-gerak resah mencari jalan keluar.