Kemana perginya kemanusiaan di kota ini? Kota yang menjadi
bagian sebuah bangsa besar, yang konon sangat dikenal dengan keramahan dan
ketulusan hatinya, dengan semangat membantu orang lain dan dengan senyum yang
hangat. Kalau dulu memang pernah seindah itu, sekarang negara ini sudah bukan
seperti itu. Negara ini sudah berevolusi menjadi monster pemarah yang berdarah
dingin. Kota ini buktinya.
Suasana jalan yang carut marut dan kurangnya peradaban dalam
sistem transportasi maupun kebersihan membuat Jakarta menjadi lebih seperti
tempat sampah besar daripada kota megapolitan.
Pembangunan memang terjadi di beberapa tempat, tapi sebagian
besar adalah pembangunan yang bersifat konsumtif seperti mall. Entah sudah ada
berapa banyak pusat belanja kecil dan besar di kota ini. Bagaimana dengan
pembangunan sarana lain? Jalur hijau terpangkas sedikit demi sedikit untuk
kepentingan perusahaan atau bahkan untuk membangun transportasi umum yang
gagal, Transjakarta.
Jalur pejalan kaki yang hanya sedikit dijajah oleh penjaja
makanan atau warung-warung rokok, bahkan kadang untuk tempat parkir.
Transportasi umum seperti kereta dan bus sudah seperti kendaraan untuk
mengangkut kita ke neraka. Belum lagi masalah polusi dan sampah yang setiap
tahunnya memberikan sumbang sih besar pada jumlah jenis penyakit dan angka
kematian.
Terletak dekat dengan garis khatulistiwa membuat Jakarta
sebagai salah satu kota dengan iklim tropis yang ekstrim. Pada musim kemarau,
hawa panas dan udara lembab membangkitkan milyaran pasukan nyamuk berbirahi
tinggi (karena nyamuk mengisap darah bukan untuk makan tapi beranak). Hal ini
salah satunya disebabkan oleh kotornya kali dan got di Jakarta.
Udara panas juga mempengaruhi suhu hati manusia-manusia Jakarta.
Aku sering berpikir, kalau sebetulnya, kota ini diisi dengan orang-orang yang
marah. Tidak seharipun pernah kita luput untuk mengeluh, menghujat, atau memaki
keadaan di kota terkutuk ini. Belum lagi angka tawuran warga dan pelajar yang
terus bertambah.
Di kota ini tak aneh bila kita mendengar seseorang dibunuh
karena ia menyerempet motor, padahal yang diserempet tidak jatuh apalagi
terluka sama sekali.
Hidup di kota ini kita tidak bisa lepas dari rasa stress.
Bahkan saat kita masih di dalam rumah, suara sepeda motor yang lewat dengan
bunyi knalpot seperti teriakan setan, sudah berhasil menggores kesabaran kita.
Lalu saat kita keluar rumah, suasana lalu lintas dan polusi kembali melukai
kesabaran kita.
Semua itu ditamah ulah para wakil rakyat yang selalu
membelah macet dengan menyingkarkan rakyatnya menggunakan bunyi sirene dan
otoritas para orang-orang yang disebut pembela rakyat.
Setelah kalah sikut dengan para tirani, sesama rakyat
biasapun juga saling sikut-sikutan. Orang yang berusaha melakukan hal benar
menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Bila kita berhenti tertib di
belakang garis putih sebuah lampu lalu lintas, orang di belakang akan memaki
lewat klakson kendaraan bila tidak dengan mulut mereka. Itu kenapa di kota ini,
orang yang berusaha untuk menjadi benar adalah alien.
Kalau keadaannya seperti ini, apa pantas kota ini disebut
sebagai kota manusia? Rasanya lebih pantas ia menyandang sebutan kandang
binatang.
Sebagian orang berusaha untuk menjadi benar, tapi jumlahnya terlalu
sedikit. Dan mereka hanya rakyat biasa yang sering terjepit di antara mereka
yang ada di atas dan mereka yang ada di bawah.
No comments:
Post a Comment