Saat ini malam seakan menarik sedikit terlalu ketat selimut hitamnya yang berpola bintang-bintang kecil, menjadikan hawa sedikit gerah dan lembab oleh keringat. Hanya tersisa sedikit lubang yang melengkungkan sebuah senyuman lebar bercahaya kekuningan di atas sana. Berjuta prajurit nyamuk melayang-layang bersama tiupan hangat angin kipas angin sambil memilih kulit mana yang tepat untuk mereka menyuntikkan jarumnya lalu mengisi perutnya dengan darah segar. Dalam kegerahan yang sunyi ini waktu seakan berjalan lebih lambat. Massa udara seakan menjadi lebih padat, sehingga setiap udara yang terhirup, memenuhi dadaku seperti cairan jelly yang belum membeku. Sambil duduk, tanpa sadar setetes demi setetes keringatku meluncur berbalapan mengunakan seluruh tubuhku sebagai sirkuitnya. Lelah pun singgah lebih cepat dan hanya dengungan sayap nyamuk di telinga, sentuhan kaki-kaki halusnya dan perasaan tak rela menghidangkan darahku demi mendukung eksistensi mereka di dunia, yang membuatku kuat terus terjaga.
Tiba-tiba sekelibat pikiran menghampiri diri, apakah bumi sedang sakit, terserang flu mungkin, sehingga malam menyelimutinya sedemikian rapat. Lalu pesawat televisi di ruang tamuku menjawab dengan mengabarkan tentang melernya Lumpur dari hidung bumi tanpa terbendung terus menerus, lalu badai bersin yang memporak-porandakan rumah dan kehidupan di beberapa belahan dunia, lalu ada panas tinggi yang melumerkan es di kedua ujung dunia. Meninggalkan rintihan sedih beruang kutub yang kehilangan tempat berpijak dan bermain dengan anak-anaknya. Dan aku menjadi yakin kalau memang bumi sedang sakit, bahkan lebih parah dari apa yang sedang kubayangkan. Wabahnya menjalar, berbalik menyerang si virus itu sendiri. Namun tanpa disangka sebagian kecil dari bermilyar virus itu sadar dan berubah menjadi antibodi bumi, tapi sebagian besanya terus menikmati peran sebagai sang penghancur.
Menjadi bagian besar penghancur yang pelan-pelan pasti menghancurkan diri sendiri atau menjadi bagian kecil yang mampu membawa perbedaan besar dalam menyemaikan harapan bagi tawa lugu kehidupan yang hidup di balik kabut masa depan. Di manakah nurani anda berpijak?
No comments:
Post a Comment