Friday, November 30, 2007
Memacu Nyali
Gua suka semuanya? Cuma guanya aja yang nggak yakin bisa. Padahal banyak orang yang merasa kalau gua bisa, tapi kenapa guanya sendiri suka ragu ya. Kurang nyali nih! Orang-orang sering bilang, "Jangan takut gagal! coba aja dulu. kalau gagal ya tinggal coba lagi. gampang kan, gitu aja kok repooot..." Kedengarannya emang enteng ya, ngomongnya apalagi, tapi ketika kita harus berhadapan rasanya ada bongkahan besi 100000 ton yang menekan nyali.
Tapi mau gimana pun, pilihannya hanya ada dua; 1. Mundur, 2. Maju terus pantang mundur! Dan... gua ambil pilihan no 2, jadi yaaa... serbuuuu! walau di dalam dada resah mengebu-gebu. But, No Pain No Gain. Ya kan?
Thursday, November 29, 2007
Wednesday, November 28, 2007
Tiga Hitam dan Satu Abu-abu
Which Black Are You? Itu sekarang pertanyaan yang sedang gua cari jawabnya.
Monday, November 26, 2007
Suatu Senja Di Suatu Hari
Tukang bakso, bakwan, dan somay langganan pun mulai berkeliaran, memukul ketokannya sedikit lebih nyaring ketika lewat tepat di depan kantor berbentuk rumah warna putih ini, berharap penghuninya tergoda untuk semangkok atau sepiring kenikmatan.
Ada sesuatu dengan senja yang selalu menebar romantisme setiap kali aku ada di dalamnya. Entah warnanya yang kemerahan, atau suara anak-anak bermain, atau ketokan si abang somay yang bersliweran. Pokoknya hati jadi damai walau banyak kerjaan menumpuk dan gaji belum dibayar. Sebuah keyakinan muncul seiring dengan terbitnya malam, sebuah keyakinan yang mengatakan kalau semuanya pasti punya jalannya masing-masing. Layaknya senja yang hadir untuk mengantarkan malam ke singasananya.
Monday, November 19, 2007
Ketika Si Pungguk Memiliki Bulan
Apa yang kau coret di punggung kertas itu?
Adakah aku mengganggu
Dengan tatapan tak rela lepas
Menatap seorang bidadari bersosok dirimu
melukis biru langit di kanvas jiwa
yang kotor oleh dosa juga dusta
Ataukah mungkin
kau torehkan kisah
Tentang seorang pungguk
yang berhasil miliki bulannya
Setelah sekian lama kisahnya
diceritakan di beratus generasi
akhirnya si pungguk memutuskan
cukup sudah dunia dipenuhi cerita tragis
sekarang saatnya
untuk mengubah cerita hidupnya
lelah dia terus bermimpi
pikirnya di suatu malam
yang lembab oleh hujan
Maka didakinya gunung tertinggi
yang pernah ada di muka bumi
berhari-hari perjuangan
lalui tebing terjal
juga salju tebal
udara dingin tipis terus menusuk
seakan berusaha merobek kulitnya
agar bisa merasuk ke dalam
untuk sedikit kehangatan
Malam sepekat tinta
dingin semakin ganas mencabik
ketika akhirnya
dia tiba di puncak tertinggi dari segala puncak
berdiri sejajar di hadapnya
keindahan yang mampu terangi semesta malam
Tapi setelah dia ada begitu dekat
kejujuran hatinya
yang terpendam beribu tahun
yang selalu dia latih ucap berkali-kali
di setiap detik dalam hidupnya
di atas muka danau,
bersama pantulan bayang rembulan
yang dia anggap senyata aslinya,
menjadi beku seketika
sekeras balok es sebesar pungguknya
yang tak muat keluar dari mulutnya
Dan dia hanya terdiam
memandang
menikmati
merasakan
gemuruh rindu
yang tertahan
dalam dadanya
Begitu banyak yang ingin
dikatakan namun,
tetap saja beku
hingga akhirnya
setetes kejujuran
meluncur pelan
dari jendela hatinya
melewati pipinya
dan tiba di ujung bibirnya
lalu, stop
hanya itu
hanya setetes itu yang mampu dikatakannya
dari berjuta-juta rasa
yang selama ini menggantung
mengganggu tidurnya
hidupnya
tapi sedikit itu telah mengatakan semuanya
Lalu dia membuka lebar tangannya
seperti ingin memeluk sesuatu
membetuk siluet yang melengkung oleh pungguk
bersatu dengan hangatnya cahaya
dalam sebuah pendar besar
yang selama ini hanya bisa dimilikinya
lewat pantulan air di muka danau
di bawah sana
ketika dia masih
menjadi seorang pemimpi
yang kisahnya diceritakan
turun temurun
untuk mengatakan "tidak mungkin"
kepada mereka sesama kaum pemimpi
Wednesday, November 14, 2007
Topeng Kayu
Siapa dia di balik topeng kayu itu?
Yang indah menarikan rindu di panggung hati
Siapa dia di balik topeng kayu itu?
Yang meninggalkan selendang sutranya
Terhampar di batas jiwaku
Siapa dia di balik topeng kayu itu?
Yang keindahannya menjadikan setiap kedip mataku
Mimpi bersamanya
Siapa dia di balik topeng kayu itu?
Yang berlenggok mesra
Mencuri setiap kedip
Dari mereka yang diam-diam bertanya
Siapa dia di balik topeng kayu itu?
Dingin Itu
Ketika dingin itu cairkan sepi
Yang beku di sudut hati
Menghembuskan kabut merah lembut
Dari bibir manisnya
Mencuri nafasku di setiap hirupku
Siapa bilang dingin itu sendirian
Siapa bilang dingin itu menyakitkan
Dingin itu mencandukan seutuhnya
Dingin itu menyesatkan sesungguhnya
Ke ruang terhangat dalam hidup
Yang sering jadi bangkai
Tergilas roda-roda masa
Ketika dingin itu menghanyutkan
Aku biarkan
Biar aku tenggelam
Dalam jendela hatinya
Yang sering dibuangnya
Setiap kali aku coba mengetuknya
Thursday, November 1, 2007
Kancing Pertama
Hari ini keponakan cewek gua, pertama kalinya merayakan ulang tahunnya. Memakai celana pendek krem dan kaos biru bertuliskan billabong di bagian belakang, rambut kipas ala punk yang terbentuk tak sengaja saat ia sedang tidur serta tawa lugunya ia pindah dari satu pelukan ke yang lainnya. Mengingat-ingat “Khan” (panggilan akrabnya) malam ini di atas kasur di dalam kamar kecil ini, memancing sebuah pikiran tentang betapa cepat waktu berlalu. Dulu, 20 tahun, 25 tahun, 40 tahun, atau mungkin 99 tahun yang lalu kita pernah menjadi polos seperti Khan. Sekiranya apa harapan yang ada di benak orang tua kita tentang siapa kita di masa depan? Dokter kah? Pengusaha, agamawan, ilmuwan, guru, copywriter, arsitek, celebrities, pelukis, sastrawan, accounting, gubernur, presiden atau apapun itu yang pasti hawanya positif. Tapi sekarang ini, siapa kita? Boro-boro positif, hobinya ngomongin kejelekan orang lain di belakangnya, mengeluh dari hari ke hari, malas, benci sana benci sini, salahin si itu dan si anu akan masalah yang menimpa kita, dan masih banyak borok-borok yang lain.
Mengingat-ingat si Khan membawa imajinasi gua berputar, seandainya sekarang gua bisa kembali ke ulang tahun pertama gua, tapi dengan memori yang sekarang (ih serem!) sekiranya apa yang akan gua lakukan, kesalahan dan penyesalan apa yang akan gua tebus? Akankah gua belajar lebih sungguh-sungguh agar tidak tinggal kelas, akankah gua berani menyatakan perasaan ke cewek yang diam-diam gua suka, akankah gua bilang ke kakek gua kalau gua sayang, akankah gua memilih sendiri potongan rambut yang nggak mirip cewek, akankah gua ikut marching band waktu pertama kali diajak, akankah gua ambil jurusan sastra Indonesia saat sedang pusing memilih junturungan? Seandainya gua benar-benar bisa kembali ke masa-masa itu, dan mengubahnya, akankah sekarang, semua hal akan menjadi lebih baik? Atau bahkan lebih buruk?
Sekarang si kecil Khan pasti sedang nyenyak terlelap, mungkin dipelukan orang tuanya yang sangat mencintainya. Dari jauh, di atas kasur, di dalam ruangan yang kecil ini, gua mengatupkan tangan dan berdoa, semoga dia bisa memiliki keberanian yang sebagian dari kita tidak mampu miliki, sehingga ia bisa hadapi kenyataan di depan yang akan semakin keras menggigit. Jadikan dia, suatu saat nanti, seseorang yang tidak melihat kesalahan dan penyesalannya di masa lalu sebagai alasan untuk mengeluh, tapi alasan untuk menjadikan ia sebagai seseorang yang lebih baik dan berguna buat orang lain (apapun itu), seperti yang pernah diharapkan ketika ia masih seorang makhluk polos dan lugu yang sedang merayakan ulang tahunnya yang pertama.
Happy 1st B’day Michael Khan Yolody