Tuesday, November 8, 2011

Sebuah catatan di penghujung senin

Senin datang dan pergi secepat Sabtu menyapa dan mengucap selamat tinggal. Betapa aneh bagaimana kita sering memperlakukan hari seperti anak tiri dan anak kandung. Padahal apapun harinya semua sama.

Mungkin karena kita terlalu sering memperkosa waktu. Terpaksa bangun pagi, bahkan kadang sebelum matahari membuka matanya dan saat bulan sedang berjuang menahan kantuk. Terpaksa mandi pagi, masak pagi, makan pagi dan berangkat pagi. Lalu menjalani hari dengan aktivitas yang HARUS dijalani.

Padahal seharusnya kita menikmati setiap lekuk tubuh waktu dengan romantis walau dipengaruhi birahi yang meledak-ledak.

Senin tak sama baiknya dengan rabu juga tak sama buruknya dengan Sabtu. Semua sama bila kita menjalani dengan hati. Bila kita dikelilingi oleh orang-orang yang kita sayangi. Bila kita melakukan pekerjaan yang kita cintai.

Mari berhenti membenci Senin karena sebetulnya kita sedang membenci hidup kita sendiri. Membenci detik demi detik yang kita lalui.

Cintai Senin seperti kamu mencintai Sabtu atau Minggu. Tapi lebih penting lagi, cintailah hidup seberat apapun. Karena hidup akan tetap keras tak perduli kamu suka atau tidak. Kalau hal itu rasanya susah setengah mati, bukan berarti kamu tak mampu menjalani, tapi mungkin kamu belum berusaha cukup keras untuk mencari.

Temukan cinta untuk seninmu.

2 comments:

Mario Diwanto said...

Simple but so real:)
Nice article.

Sedikit masukan dari KBBI,
yang baku adalah "peduli, not "perduli"...

Tiap baca notes lu, passion gw untuk bekerja di kantor terasa ambles dan pengen kembali nulis;p

Tapi sayangnya saat di rumah, passion itu raib tertelan kantuk dan malas, dsb;p

Regards,

Mario

Bibirz said...

kalau gitu baca blog gua di rumah aja mar. biar langsung bisa disalurkan semangat loe :D