Sunday, February 1, 2009

Kekuatan wanita yang mengharukan


Membaca buku ini akan membuat kita terenyuh, betapa perbedaan antara benar dan salah sangatlah tipis. Dan terkadang kita, sebagai manusia menjadi terlalu naif untuk bisa membedakannya. Walau pun setting lokasi dalam buku ini berada di suatu negara dunia ketiga, yang kehidupannya jauh dari bayangan kita dan selalu dipandang sebelah mata, tapi konflik dan fenomena yang terjadi terasa begitu mesra dengan sejarah patriarki umat manusia di mana pun.

Setting dalam buku ini terjadi sekitar tiga decade lalu di Afganistan, sebuah negara yang lebih kita kenal dengan bom bunuh diri, teroris, dan Taliban ketimbang keindahan sastranya. Cerita dibuka dengan kehidupan dua orang perempuan yang berbeda masa tapi disatukan dalam kemiskinan dan kegetiran hidup. Mariam yang baru berusia lima belas tahun hidup bersama ibunya yang menderita epilepsy yang biasa dipanggil nana (panggilan ibu dalam bahasa afganistan). Setiap hari Mariam harus melewati waktunya dengan berbagai cercaan dan pelecehan dari nana. Harami (sebutan untuk anak haram) begitu Nana biasa memaki Mariam yang terlalu kecil untuk mengerti arti kata itu, tapi cukup peka untuk merasakan kebencian di baliknya. Dalam satu bagian khaled Hosseini menggambarkan ketakutan Mariam yang begitu dalam ketika secara tidak sengaja, ia memecahkan cangkir porselin kesayangan nana. Selain memiliki seorang ibu, Mariyam juga memiliki Jalil, ayahnya yang begitu mempesona dan tinggal jauh di kota. Berbeda dengan Nana, jalil merupakan orang yang hangat dan sangat menyayangi Mariyam.

Cerita akan menjadi semakin menarik ketika Mariam memutuskan kabur dari rumah untuk mengunjungi Jalil, karena tak lama kemudian Nana meninggal akibat bunuh diri. Semenjak itu berbagai kejadian mulai menimpa Mariyam, salah satunya ketika Jalil memutuskan untuk menikahkan Mariam dengan seorang saudagar sepatu dari Kabul yang umurnya jauh lebih tua, Rasheed.

Dari sana, dengan jelas dan emosional, Khaled Hosseini menggambarkan bagaimana wanita pada masa itu, hanya dihargai akan kemampuaanya melahirkan keturunan. Dan ketika si Mariyam tidak bisa memenuhi kebutuhan itu, maka ia menjadi tak lebih dari sekedar budak. Berbagai penyiksaan fisik dan mental dialami Mariam dari suaminya.

Ketika pembaca sudah tenggelam dalam kisah kemalangan Mariam, tiba-tiba khaled Hosseini berpindah alur dan menceritakan tetangga Mariam, Lyla. Tidak seperti Mariam, kehidupan Lyla berbanding terbalik. Lyla hidup di keluarga yang hangat dan lebih bebas bersama kedua orang tuanya. Ayahnya selalu mengutamakan pendidikan terbaik bagi lyla, walaupun ia adalah seorang perempuan. Meski begitu, Lyla juga mempunyai kisah gelapnya sendiri. yaitu ibunya. Semenjak kepergian kedua kakak laki-lakinya untuk bertempur, ibunya menjadi dingin dan sendiri. hal ini semakin menguatkan lemahnya posisi perempuan dibandingkan laki-laki.

Namun pembaca tidak kehilangan kisah tentang Mariam, hanya saja kita melihatnya dari mata Lyla. Lyla sering melihat rasheed, suami Mariam berjalan berdampingan dengan Mariam yang memakai burqa. Sekilas Hosseini berusaha menujukkan kepada pembaca, betapa di balik setiap burqa tersembunyi cerita yang tak bisa diungkapkan.

Selain memiliki keluarga yang lengkap dan kesempatan untuk menempuh pendidikan yang tinggi, Lyla juga memiliki kisah cinta yang indah. Bersama tariq, seorang remaja laki-laki berkaki pincang yang pintar dan pemberani, Lyla melalui hari-harinya dengan indah. Tariq sering mengajak Lyla ke bioskop dan pergi melihat patung Buddha terbesar di afganistan.

Kehadiran Lyla tampaknya membuat kita agak sedikit bingung, apa hubungannya antara Mariam dengan Lyla. Tapi bila kita terus membaca dari satu halaman ke halaman berikutnya, kita akan diajak melihat sisi lain dari kehidupan wanita di afganistan pada masa itu. Bahwa ada juga golongan oang yang tidak melihat wanita hanya sebagai objek. Hal ini juga menggambarkan kemajemukan masyarakat afganistan.

Khaled Hosseini memang merupakan seorang penulis yang pandai mengaduk-aduk perasaan pembacanya, hal ini ditunjukkan ketika ia menuliskan bagaimana kehidupan keluarga Lyla yang begitu sempurna di masa itu, menjadi hancur berantakan. Hal itu terjadi ketika sebuah roket meluncur nyasar menghantam rumah mereka. Dalam hitungan detik, kejadian itu merengut semua yang ia miliki, merubuhkan rumahnya, membunuh kedua orang tuanya, dan menghancurkan harapannya.

Kepedihan Lyla diperdalam ketika ia kehilangan jejak Tariq yang sebelumnya sudah terlebih dahulu pergi. Setelah kehilangan kedua orang tuanya dan juga Tariq, Lyla yang merasa sendirian jatuh dalam pelukan rasheed, suami Mariam. Melalui kejadian demi kejadian, akhirnya Lyla menjadi istri kedua Rasheed.

Kebencian menjadi pertemanan

Kemalangan yang terjadi pada Lyla tidak serta merta menghilang ketika ia menikahi Rasheed. Rasa cemburu yang mengontrol Mariam membuat cerita menjadi semakin tegang. Seperti wajarnya istri kedua, di mata Mariam Lyla harusnya melayani dia dan posisinya berada setingkat lebih rendah. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Lyla mendapatkan perhatian yang dulu pernah dimiliki Mariam dan ia diperintah Rasheed untuk selalu siap melayani Lyla. Hal ini karena Lyla bisa memberikan keturunan bagi Rasheed. Padahal bayi yang dikandung Lyla bukanlah milik rasheed melainkan milik Tariq.

Kesirikan demi kesirikan ditunjukkan Mariam kepada Lyla melalui berbagai cara. Hingga akhirnya kelahiran anak Lyla lah yang berhasil melunturkan kebencian Mariam kepada Lyla. Mereka pun perlahan mulai berteman dan saling melindungi satu sama lain.

Pelajaran sejarah

Membaca novel ini juga seperti membaca sejarah. Pada beberapa bagian Hosseini menceritakan bagaimana arogannya kehidupan orang-orang barat di afganistan. Lalu juga diceritakan pergantian kekuasaan dari jajahan uni soviet yang diambil alih oleh pejuang mujahidin setelah delapan tahun pertempuran yang melelahkan. Setelah masa-masa transisi itu, Hosseini juga menceritakan bagaimana perang saudara terjadi di afganistan. Perang yang membawa penderitaan kepada rakyat biasa, semua demi ambisi semata. Kemenangan Taliban yang menghembuskan angin kebebasan justru malah membuat rakyat menderita. Berbagai peraturan dan jam malam justru memenjarakan kebebasan itu sendiri.

Kekuatan wanita yang mengharukan

Layaknya seorang feminist sejati, dalam buku ini Hosseini juga menggambarkan dengan jelas bagaimana kekuatan sesungguhnya wanita. Hal ini semakin terasa kuat karena ia muncul di tengah-tengah masyarakat yang percaya kalau kedudukan wanita itu berada di bawah pria. Wanita hanya sebagai alat untuk reproduksi dan mengurus keluarga. Terlihat ketika rezim Taliban datang dan melarang kaum wanita untuk menempuh pendidikan dan harus tidak boleh keluar rumah tanpa suaminya. Selain itu bagaimana rasheed mempelakukan Mariam dan Lyla,, dengan memaki dan memukuli mereka merupakan perwakilan dari apa yang terjadi.

Kekuatan wanita yang mengharukan hadir ketika dengan hebatnya Lyla dan Mariam berjuang membebaskan diri dari cengkaraman Rasheed. Berbagai siksaan fisik dan teror jiwa mereka hadapi berdua untuk pergi dari Kabul menuju ke tempat yang lebih baik, lebih damai. Walau di tengah perjuangan itu, salah satu dari mereka harus berjuang sendiri sampai ke tempat tujuan. Namun bukannya memang seperti itulah kehidupan, untuk bisa sampai ke tujuan, dan bisa menikmati kebahagiaan, harus ada pengorbanan yang tidak sedikit. Di sini lah salah satu letak kepiawaiaan Hosseini dalam bercerita, ia bercerita sesuai dengan realitas yang sangat terasa hingga bisa membuat pembaca lupa kalau mereka sedang membaca sebuah karya fiksi.

Akhir novel ini memang terasa seperti yang biasa kita tonton di film-film Hollywood, yaitu Happy Ending. Tapi pada akhir juga ada sebuah kejutan yang mungkin bisa membuat para pembaca menjadi dilemma. Yaitu setelah perjuangan yang mengorbankan begitu banyak, kenapa Lyla harus kembali ke tempat di mana semua memori hitam hidupnya ditorehkan. Namun, setelah membaca dari awal sampai akhir, dan meresapinya dengan baik, kita akan mengerti keputusan yang diambil Lyla merupakan keputusan yang riskan, namun sekaligus suatu kebenaran yang lahir dari rasa cintanya kepada tanah airnya.

***

Inspirasi yang didapatkan:

1. Rasa cinta tanah air yang begitu besar hingga meniadakan aku. Di akhir cerita, Lyla yang telah berhasil hidup damai dan bahagia, memilih untuk kembali ke kabul. Padahal di saat itu, keadaan di sana masih tak menentu. Tapi rasa kecintaan dan impian yang besar untuk membangun negeri, membuat Lyla memutuskan untuk kembali.

2. Kita tak bisa memiliki semua yang kita inginkan dalam hidup. Terkadang ada hal-hal yang memang tidak bisa menjadi milik kita walau pun sudah berjuang sampai berdarah dan berair mata setengah mati.

3. Tentang harapan. Perjuangan yang dijalani Lyla dan Mariam menginspirasikan harapan selalu ada selama kita tidak berhenti berharap dan berjuang.

4. Lebih menghargai wanita. Wanita bukan sekedar alat reproduksi dan pelayan keluarga. Bila mereka diberikan kesempatan dan kepercayaan, maka tak ada yang tak mungkin bisa mereka lakukan.

No comments: