Saturday, March 22, 2008

Sebuah pernikahan yang prematur (mungkin)

Gadis itu melangkah masuk ke ruangan sambil memegang sebuah bouquet mawar semerah darah di tangan kanannya. Berbalutkan rajutan keindahan gaun putih, cadar yang tergerai di belakang kepalanya, senyuman yang sedikit dipaksakan, wajah yang mengisyaratkan naifnya sebuah kepolosan, dan keraguan di matanya, ia melangkahkan kakinya terburu-buru.

Siang itu, seperti biasanya, ia terlihat cantik. Kulitnya putih bersih, parasnya cantik dengan polesan dandanan yang sempurna, setiap langkahnya memancarkan keanggunan dan kepolosan seorang putri. Tapi entah kenapa, di mataku saat itu, dia seperti seekor anjing kecil yang sedang tersesat di persimpangan. tak punya keyakinan, hanya naluri yang masih tumpul.

Di sampingnya seorang laki-laki berjalan dengan gagah yang pongah, seperti seorang jendral yang baru saja berhasil menaklukkan sebuah pulau tak bertuan. Di balik punggungnya, tersebar desas-desus yang tidak enak tentang dirinya dan keluarganya. laki-laki itu menjebak si wanita, merasukinya seperti roh jahat pada jiwa manusia yang lemah. Membisikinya dengan kata-kata cinta yang beracun, mengaburkan logikanya dengan puisi-pusi cinta picisan. Begitulah kira-kiraku.

Persiapan pernikahan itu hanya memakan waktu satu bulan. Dua minggu sebelum hari H, si wanita datang padaku dan bilang kalau sebenarnya dia tidak siap menikah, parahnya lagi dia belum memberikan sepenuhnya hatinya pada si laki-laki. Ketika itu dia masih merasa kalau pernikahan ini adalah pelampiasan hatinya yang baru saja patah. Sepanjang malam dia terus mengatakan kalau ia belum siap dan takut, tapi dibalik semua keluhannya, aku tahu kalau sebenarnya dia tidak perduli akan apa yang akan terjadi. Dia hanya berharap menikah akan mengusir semua resahnya. Impian masa kecil tentang indahnya pernikahan terlihat menari-nari riang di dalam mata coklatnya.

Pernikahan itu pun, melahirkan balada sakit hati baru. Cara penyebaran undangan yang terkesan asal-asalan, telah menggores harga diri mereka yang begitu rapuh dan mahal, bagai vas porselin antik dari cina. Sebagian dari mereka tidak datang siang itu, sebagian terpaksa datang karena merasa tidak enak. Tapi mungkin mereka lupa atau sekedar mati rasa, karena terlepas dari semua hal-hal yang tidak enak mengenai pernikahan ini, dua orang atau salah satu dari mereka adalah teman, sahabat, dan umat kita.

Mungkin mereka memang buta logika dan kenyataan, tapi hal itu tidak memberikan alasan bagi kita untuk mengabaikan mereka. Sekarang, pernikahan itu telah berlangsung, si gadis dan si laki-laki sudah mendapat restu dari sang pemimpin upacara, arak telah diteguk, dan cincin perkawinan pun terlanjur memeluk erat jari manis kedua pasangan itu. Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah berdoa dan membuka hati bila suatu saat nanti, apa yang diramalkan oleh orang-orang sinis itu, menjadi kenyataan. Apakah kita punya hati sebesar itu? Karena suatu saat, secara langsung atau tidak, bila kita terus mengasah kepicikan ini, mungkin kita bisa terjebak di dalam lubang yang sama.

No comments: