Aku pulang naik bus “derita” berwarna abu-abu dari halte di
tengah jalan Kuningan dan Setia Budi. Ini pertama kalinya aku pulang ke rumah
dari halte itu. Untuk itu aku bertanya arah ke petugas. Ramah aku bertanya,
dijawab dengan acuh. Mungkin ia buta. Aku di depannya, tapi ia menjawab sambil
menengok ke sebelah kanannya. Dadaku panas, amarah terusik seperti ular yang
terinjak, kata-kata setajam silet sudah berdesakkan minta keluar dari
dalam tenggorokkan. Tapi itu yang biasanya akan terjadi. Malam ini aku terlalu
lelah untuk tersinggung. Setidaknya oleh hal seremeh itu.
Bus “derita” penuh sesak. Aku berdiri memandang ke jalanan dari
balik jendela bus. Sebuah mobil melintas. Di dalamnya seorang cowok sedang
serius menyetir sedangkan cewek di sampingnya sedang autis dengan HP-nya.
Sekilas aku berpikir enaknya kalau punya mobil sendiri gak harus berhempitan
seperti kambing kurban yang sedang diangkut. Lalu tiba-tiba laju si mobil
tersendat. Jalan macet di depannya. Dari dalam bus “derita” aku melewati
antrian mobil yang mengular sampai ke ujung. Niat untuk beli mobil langsung
kandas, aku terlalu lelah untuk punya jadi tua di jalan.
Ada berbagai jenis manusia di dalam bus “derita”. Tapi seorang
cowok yang sedang berdiri di bagian belakang mengusik pemandanganku. Kepalanya
botak… hm.. egh… aku menengok untuk melihat pakaiannya, ia pakai jaket kulit
warna hitam. Egh… warna resletingnya putih bukan ya? Sekali lagi aku nengok.
Bukan putih tapi silver. Dia sedang menjinjing tas. Tapi tas apa ya? Aku
melihat lagi ke arahnya. Shit! Tote bag. Aku sampai menengok ke arah tasnya beberapa kali
antara tak percaya dan jijik. Aku masih belum bisa menerima melihat cowok yang memakai tas itu. Ia seperti sedang membawakan tas pacarnya. Sekali lagi aku
melihat ke arahnya, dan dia sepertinya sadar kalau aku sedang mengawasinya. Sial,
nanti dia kira aku naksir lagi. Namun sekali lagi, aku terlalu lelah untuk
peduli.
Orang-orang masuk dan keluar bus, semuanya tampak lelah dan
muak, entah pada apa. Di depanku seorang cewek langsung tertidur begitu ia
mendapat tempat duduk, di sebelahku seorang pria tertidur pulas, mulut mangap dan kepala
mendongak seperti sedang menanti sesuatu jatuh dari atas. Kesibukkan menghisap nyawa
dari diri kita masing-masing dan menjadikan kita zombie. Aku juga lelah seperti kebanyakan orang di bus “derita” ini,
tapi aku tidak tertidur. Aku lelah, tapi bukan lelah seperti mereka.
Dari halte busway aku naik ojek. Seharusnya aku bisa jalan
sedikit untuk naik angkot, tapi niatku layu dan tenagaku kering kerontang
seperti jemuran yang lupa diangkat. Jadi aku tak peduli, ojek pertama di
depanku langsung aku sambar.
Sesampainya di rumah, aku membayar ongkos Rp 7000,- rupiah.
Tarif standar yang sebelumnya sudah aku dan supir ojek sepakati bersama. Well, setidaknya begitu kesimpulanku. Dia cuma
diam waktu aku tawar. Diam itu emas, tapi diam juga bisa berarti setuju.
Ketika sampai di depan rumahku dan aku menyodorkan ongkos, si supir ojek
lagi-lagi diam. Lalu dua detik kemudian ia menyambar uang di tanganku dengan
gerakan lambat, seolah-olah gesturnya berkata, “pelit amat sih”. Tingkah si
tukang ojek seperti merangkum semua kekesalanku selama perjalanan pulang. Aku
ingin meledak, tapi lelah menelan emosi seperti monster gemuk yang lambat. Lelah yang asing
sekaligus akrab. Aku pun mengalah dan melangkah lunglai masuk ke dalam rumah.
Lelah ini tak punya nama. Bukan lelah fisik atau lelah jiwa,
dan juga bukan lelah bekerja atau lelah bertengkar. Lelah ini tak berdefinisi,
ia murni hanya rasa.