Thursday, May 17, 2012

mengisi lembar putih


Lembar putih ini aku buka dan tutup beberapa kali. Aku menatapnya dan berusaha berpikir, menulis beberapa kata, lalu menghapusnya, menulis satu kata lalu menghapusnya lagi. Terus begitu sampai akhirnya lembaran itu tetap kosong, seperti isi kepalaku. 

Aku harus pergi, entah ke tempat di mana tak ada seorang pun aku kenal. Pergi sendiri untuk mencari diriku sendiri. Agar aku bisa mengisi lembar putih di kepalaku.

Thinking how not to think too much


I think too much. I think that’s how I became a sensitive person. I think if I stop thinking too much, somehow my life would be easier, lighter. But where should I start, I wonder.

Should I begin with not thinking too much when I’m going to make a decision. But how could I know that I will take the right path? Or I’m not supposed to know it before I gone through it. You can always predict what will happen, can’t you? Of course it’s not going to be 100% right. Hello, I think that’s why it called prediction. Am I doing it again? Thinking too much. Urgghh!!! What should I do?

Should I stop questioning my ability, my heart, and myself? Yeah, I think that is a good start. Remembering what Gandhi once said, that if you want to change the world, starts from yourself. But, how in the world should I stop doubting myself?

Should I stop thinking about what other people think about me? Should I be oblivious about other people feeling? Should I build my own nest and live there, away from everyone.

Think! C’mon think how can I be a happier person. I’m a dark person and I tend to push away all the people around me. People who actually, care and nice to me.

Think!!! Think!! Think! Think? I think that’s the problem. Stop thinking and take action. Go out there, get my hand dirty and my T-shirt full of sweats. Yap! That’s it. That’s the freakin answer, I think.

Saturday, May 5, 2012

Habis "ngobrol”, jangan malas keringatan


Berdoalah. Maka kamu akan bisa melihat petunjukNya. Karena semua itu sebenarnya sudah ada di sekitar kita. Petunjuk buruk dan petunjuk baik. Tinggal jodoh mana yang akan datang kepadamu.

Doa adalah cara kita “ngobrol” denganNya. Seperti ketika mencurahkan perasaan kepada seorang sahabat, atau guru, atau seorang majikan yang baik. Sehingga ia tahu petunjuk mana yang harus ia siapkan untukmu. Bila kau diam saja, bukan berarti Dia tidak tahu, tapi Dia akan berpikir kalau kamu bisa menyelesaikan masalahmu sendiri.

Dia punya seluruh manusia di bumi ini dan entah makhluk apalagi di seluruh alam semesta, yang harus ia pikirkan. Kalau kamu sendiri saja tidak perduli dengan dirimu, buat apa Dia perduli. Jadi berdoalah.

Hanya saja, jangan kamu selalu berdoa untuk dirimu sendiri. Tak ada orang yang suka mendengarkan seseorang yang terus menerus bicara tentang dirinya sendiri. Begitu juga Dia. Berikan ruang, bukan sepetak, tapi seluas lapangan sepak bola untuk mendoakan orang lain. Barulah ambil sepetak di tepi lapangan untuk dirimu sendiri.

Berdoalah dan sertai dengan berusaha. Kalau hanya mengatupkan tangan dan memohon, lalu duduk nonton TV atau nongkrong-nongkong manis, sambil berharap keajaiban datang sendiri seperti seekor anak kucing nyasar, sama saja dengan mimpi siang bolong, omong kosong, gigi ompong, otak melompong. Lebih baik main odong-odong.

Berdoa dan berusaha tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Mereka seperti sepasang kaki. Limpung bilang salah satunya tidak digunakan.

Berdoalah, karena hal itu akan membuatmu lebih peka akan petunjukNya. Lalu singsingkan lengan bajumu, angkat pantatmu, berjuanglah untuk mimpimu dan mimpi orang banyak.

Selamat “ngobrol” dan jangan malas keringatan.

Wednesday, May 2, 2012

Memilih


Hidup terbentuk dari jutaan partikel DNA yang benama pilihan. Seperti ketika malam itu kita memilih bercinta tanpa kondom. Dan saat kita memillih, ketika si kecil masih di dalam janinmu, untuk mempertemukannya dengan dunia, bukan dengan akhirat. Ketika kita memilih untuk lari dari rumah dan tinggal di kos-kosan kecil di pinggir rel kereta api tanpa AC dan banyak nyamuk. Lalu berhenti kuliah. Tidak menyerah dan kembali ke rumah orang tua. Dan ketika pada suatu malam yang gerah, saat si kecil akhirnya tertidur setelah menangis hampir sepanjang malam, dan aku juga kalap terlelap, kamu meletakkan sebuah surat di atas bantalmu, di sebelah kepalaku, lalu diam-diam pergi. Dan ketika kamu memilih untuk tidak menjelaskan lebih selain pesan pendek di sobekkan kertas putih polos,

“Maafkan aku. Tolong jaga anak kita.”

Love
Sofie

Tapi aku tak marah. Karena lagi-lagi, hidup itu pilihan dan aku menghargai pilihanmu. Walau aku merasa kamu egois, tapi setiap orang punya alasan. Mungkin kau pergi karena takut tidak bisa menjadi ibu yang baik. Jadi kamu melakukan ini demi si kecil. Kalau begitu pilihanmu bisa jadi benar, walau aku merasa lari bukan lah jawaban.

Ataukah kamu pergi karena aku tidak cukup untukmu. Maafkan aku, tapi aku sudah berusaha. Hanya saja hidup belum mengijinkanku untuk memberimu lebih daripada separuh nafasku. Kita tak bisa hidup hanya dengan cinta, begitu bentakmu pada salah satu dari ribuan pertengkaran kita. Dan kini kamu pergi. Begitu saja. Seperti angin yang berlalu. Kamu benar, karena kamu tidak tahu kalau Taj Mahal dibangun dengan cinta.

Apakah kamu berpikir bisa begitu saja terhapus dari hidup kami? Si kecil semakin sering menangis rindu pada tetek ibunya. Aku masih suka terbangun dengan dada sesak di tengah malam ketika melihat ranjang tempatmu biasa terlelap kini kosong. Kadang aku terjaga sampai pagi sambil berharap kalau kamu hanya pergi ke WC atau ambil minum dan akan segera kembali tidur di sebelahku. Kamu boleh pergi ke ujung dunia, tapi kamu akan selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kami.

Pada suatu sore, saat senja pertama di musim hujan. Di bawah langit yang sedang bergemuruh dan di antara angin yang sedang berhembus sejuk, aku menatap mata coklatmu pertama kalinya. Detik itu aku memilih untuk mencintaimu, selamanya. Sepuluh tahun berlalu, aku masih memegang erat pilihan itu tanpa sedikit pun niat untuk melepasnya.

Andai suatu hari nanti kamu bisa membaca catatan pendek ini, aku ingin kamu tahu kalau si kecil punya mata coklat seindah milikmu. Pada dirinya lah aku menemukan kembali kamu.

Aku bisa benci atau marah padamu. Tapi tidak. Aku memilih untuk mengingatmu sebagai seorang wanita yang aku kagumi. Aku memilih untuk tidak menceritakan hal-hal buruk tentang kamu ketika nanti si kecil sudah cukup besar untuk bertanya tentang ibunya. Aku memilih untuk terus berdoa agar kamu bisa menemukan kebahagiaan yang tidak bisa kamu temukan bersamaku. Aku memilih untuk tidak menyimpan dendam walau banyak orang mencap aku bodoh. Tapi aku bukan kebanyakan orang.

Seorang penulis Inggris pernah menulis, “Obat sakit cinta adalah lebih mencintai”. Aku memilih untuk percaya padanya. Aku memilih untuk lebih mencintaimu, dimanapun kamu berada, apapun yang sedang kamu lakukan sekarang, dengan siapa kamu melewati malammu. Aku merasa bebas ketika aku memilih untuk tidak membencimu.