Hidup terbentuk dari jutaan partikel DNA yang benama
pilihan. Seperti ketika malam itu kita memilih bercinta tanpa kondom. Dan
saat kita memillih, ketika si kecil masih di dalam janinmu, untuk mempertemukannya
dengan dunia, bukan dengan akhirat. Ketika kita memilih untuk lari dari rumah
dan tinggal di kos-kosan kecil di pinggir rel kereta api tanpa AC dan banyak
nyamuk. Lalu berhenti kuliah. Tidak menyerah dan kembali ke rumah orang
tua. Dan ketika pada suatu malam yang gerah, saat si kecil akhirnya tertidur
setelah menangis hampir sepanjang malam, dan aku juga kalap terlelap, kamu
meletakkan sebuah surat di atas bantalmu, di sebelah kepalaku, lalu diam-diam
pergi. Dan ketika kamu memilih untuk tidak menjelaskan lebih selain pesan
pendek di sobekkan kertas putih polos,
“Maafkan aku. Tolong
jaga anak kita.”
Love
Sofie
Tapi aku tak marah. Karena lagi-lagi, hidup itu pilihan dan
aku menghargai pilihanmu. Walau aku merasa kamu egois, tapi setiap orang punya alasan.
Mungkin kau pergi karena takut tidak bisa menjadi ibu yang baik. Jadi kamu
melakukan ini demi si kecil. Kalau begitu pilihanmu bisa jadi benar, walau aku
merasa lari bukan lah jawaban.
Ataukah kamu pergi karena aku tidak cukup untukmu. Maafkan
aku, tapi aku sudah berusaha. Hanya saja hidup belum mengijinkanku untuk
memberimu lebih daripada separuh nafasku. Kita tak bisa hidup hanya dengan
cinta, begitu bentakmu pada salah satu dari ribuan pertengkaran kita. Dan kini
kamu pergi. Begitu saja. Seperti angin yang berlalu. Kamu benar, karena kamu
tidak tahu kalau Taj Mahal dibangun dengan cinta.
Apakah kamu berpikir bisa begitu saja terhapus dari hidup
kami? Si kecil semakin sering menangis rindu pada tetek ibunya. Aku masih suka
terbangun dengan dada sesak di tengah malam ketika melihat ranjang tempatmu
biasa terlelap kini kosong. Kadang aku terjaga sampai pagi sambil berharap
kalau kamu hanya pergi ke WC atau ambil minum dan akan segera kembali tidur di
sebelahku. Kamu boleh pergi ke ujung dunia, tapi kamu akan selalu menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari kami.
Pada suatu sore, saat senja pertama di musim hujan. Di bawah langit yang
sedang bergemuruh dan di antara angin yang sedang berhembus sejuk, aku menatap
mata coklatmu pertama kalinya. Detik itu aku memilih untuk mencintaimu,
selamanya. Sepuluh tahun berlalu, aku masih memegang erat pilihan itu tanpa
sedikit pun niat untuk melepasnya.
Andai suatu hari nanti kamu bisa membaca catatan pendek ini,
aku ingin kamu tahu kalau si kecil punya mata coklat seindah milikmu. Pada
dirinya lah aku menemukan kembali kamu.
Aku bisa benci atau marah padamu. Tapi tidak. Aku memilih
untuk mengingatmu sebagai seorang wanita yang aku kagumi. Aku memilih untuk
tidak menceritakan hal-hal buruk tentang kamu ketika nanti si kecil sudah cukup
besar untuk bertanya tentang ibunya. Aku memilih untuk terus berdoa agar kamu
bisa menemukan kebahagiaan yang tidak bisa kamu temukan bersamaku. Aku memilih
untuk tidak menyimpan dendam walau banyak orang mencap aku bodoh. Tapi aku
bukan kebanyakan orang.
Seorang penulis Inggris pernah menulis, “Obat sakit cinta
adalah lebih mencintai”. Aku memilih untuk percaya padanya. Aku memilih untuk
lebih mencintaimu, dimanapun kamu berada, apapun yang sedang kamu lakukan
sekarang, dengan siapa kamu melewati malammu. Aku merasa bebas ketika aku
memilih untuk tidak membencimu.