Tuesday, December 29, 2009

Drama Alam

Hujan turun malu-malu serupa jarum-jarum halus. Tapi bumi tetap saja basah, jalanan tetap saja macet, udara tetap saja sejuk, dan aku tetap saja menikmati suguhan drama alam ini. Pohon kaukasia kehujanan, tapi tidak sedikipun ia bergeming. Dedaunannya seakan berkeringat, dipenuhi bulir-bulir air. Suara burung berkicau sesekali, di antara derak halus hujan pada genting. Sebuah melodi, dalam sebuah pertunjukkan bukan pengiring sifatnya, tapi bagian dari keseluruhan. Sore ini alam memainkan pertunjukannya dengan sempurna. Lambat menghanyutkan, tapi pasti.

Malam pasti datang. Tak mungkin ia bilang, ”nanti liat deh”. Pagi, siang, dan sore juga seperti itu, mereka tidak mengenal kemungkinan. Mereka akan selalu datang silih berganti, sesuai jadwal masing-masing, selama bumi masih berputar. Pagi, siang, sore, dan malam, mereka adalah drama alam yang tak bisa diajak kompromi, saklek sekaligus paling mempesona. Itulah mereka.

Aku sendiri juga punya drama. Dramaku adalah mimpi-mimpiku. Ribuan, bahkan mungkin jutaan kali aku sudah melakoninya di panggung imajinasi di gedung seni mahakarya Tuhan paling tinggi, otak. Hingga kini aku baru sadar kalau dramaku, tidak akan membawaku ke mana-mana.

Aku berdiri, memandang sore yang mulai beranjak sambil sesekali menangkap hujan dengan tanganku. Sekelibat aku ingin melompat ke tengah jalan dan bermain bersama hujan. Merasakan anak-anaknya jatuh di kepala, membasahi sekujur tubuhku dan mengundang dingin untuk bertamu di tubuhku. Tapi aku diam saja, hanya melepas imajinasiku melakukan apa yang sebetulnya aku inginkan. Ya. Begitulah aku. Tak lebih dari sekedar seorang pemimpi.

Aku ingin belajar dari pagi, siang, sore dan malam tentang kepastian. Aku tak takut bila harus menyalahi prinsip hidup kalau tak ada yang pasti. Karena bukan kepastian akibat yang aku harapkan, tapi kepastian sebab. Karena setiap akhir lahir dari sebuah sebab.

Waktuku tak banyak, kecuali aku bisa membujuk pagi, siang, sore dan malam untuk sedikit menunda. Tuh kan! Sudah kubilang aku ini seorang pemimpi. Bukan seorang pewujud.

Mimpi itu milik mereka yang berani. Begitu bunyi sepotong kalimat dalam cerita pujaanku.

Belajarlah dari pagi, siang, sore, dan malam. Belajarlah dari drama alam. Kepastian dari dalam hati yang tak tergoyahkan sekuat apa pun badai mengamuk. Lebih kokoh dari karang, lebih keras dari baja mana pun.

1 comment:

Faye said...

hahaha,, nice thought with excellent words :)