Di mana-mana di jalan padang, terdengar bising suara orang-orang tertawa, ada juga yang teriak-teriak, dan ada juga yang berbisik. Sebagian menganggap itu semua sebuah keberisikan yang menjengkelkan, tapi bagiku suara-suara itu adalah gelegak ekspresi jiwa muda. Jiwa-jiwa pemberontak yang haus akan petualangan dan misteri hidup. Jiwa-jiwa seperti jiwaku, walau sudah tak selantang itu.
Masih ingat rasanya menjadi anak-anak seumuran mereka, yang rata-rata adalah anak SMP, SMA, dan mahasiswa. Persahabatan yang lebih penting dari apapun di dunia ini. Ke mana-mana selalu bersama, tertawa lepas dan buas tanpa peduli ada orang lain di sekitar kami atau tidak. Ceroboh, tidak peka, dan tak sabar. Tidak ada gunung mimpi yang tak bisa ditaklukkan. Berani menjawab semua tantangan tanpa sedikit pun keraguan karena kita berbagai keyakinan yang sama, bersama kita bintang.
Dan bintang-bintang itu pun bermunculan dalam sebuah event akbar akhir tahun, pesta kreasi anak muda, Idefest. Lebih dari 400 anak muda dari seluruh tanah air berkumpul untuk adu mental dan keahllian. Berbagai tahapan yang tak mudah adanya, mereka arungi. Mulai dari latihan di daerah masing-masing, sampai babak penyisihan dan final di Jakarta.
Seperti layaknya sebuah kompetisi, ada yang menang dan ada yang kalah. Bagi mereka yang menang, pesta ini masih akan terus berlanjut. Sepanjang kensyu tahun baru nanti, mereka akan berjalan dengan dada busung yang dipenuhi kupu-kupu kebanggaan.
Sedangkan bagi yang kalah, langit-langit ruang besar seakan runtuh ketika nama mereka tidak disebutkan menjadi pemenang atau finalis. Bulir-bulir air mata pun tak tertahankan dan langsung terjun bebas. Pesta ini berakhir lebih cepat bagi mereka.
Suara-suara bising yang penuh semangat tadi langsung pecah menjadi dua, satu sisi terdengar bisikan-bisikan syahdu penuh nasehat dan motivasi dilatari suara sesenggukan. Di sisi lain ucapan selamat dan tawa legah kemenangan berkumandang. Suasana pun menjadi sangat kontras.
Tapi bukankah memang keduanya adalah bagian dari pesta besar kreasi anak muda ini. Kalah adalah bagian alami yang tidak bisa dipecahkan dari menang. Bagai baik dan buruk, tinggi dan pendek. Seperti teori Karl Marx tentang Tuhan yang menciptakan manusia, karena tanpa manusia Ia juga tak akan ada. Kemenangan tak akan ada tanpa ada kekalahan.
Pesta ini bukan saja merayakan kemenangan, tapi juga menjunjung kekalahan. Untuk itu pesta ini tak harus berakhir bagi sebagian orang yang kalah. Justru baru saja dimulai.
Hanya juara sejati yang berani merajah keduanya pada mental. Karena siapa yang bisa merayakan kekalahan akan memeluk kemenangan.
Tuesday, December 29, 2009
Gugup
Dadaku panas seperti ada yang menekankan plakat besi membara diatasnya. Kepalaku pening, dan aku bisa merasakan ginjal kiriku berkedut-kedut, tanda aku sedang dililit gugup. Pasalnya aku harus minta ijin cuti kantor besok, karena aku harus ke mega mendung. Padahal belum juga setahun aku bekerja, dan beratnya lagi, baru sekitar dua minggu yang lalu aku cuti selama, kurang lebih, dua minggu.
Besok pagi-pagi aku harus berangkat untuk acara tahun baru di komplek kuil megamendung. ”Jam 8 pagi ya!” Berkali-kali sudah ibu menegaskan. Oh, apa sih salahku, sampai di penghujung tahun ini, masih saja diberi cobaan.
Masalahnya bukan sekedar meminta ijin, tapi rasa sungkan kepada orang-orang satu kantor yang juga sudah sangat ingin libur, tak kalah akut dariku. Walau ini bukan sekedar masalah kebelet libur, tapi lebih urusan spiritual. Sayangnya, mana ada yang mau ambil pusing. Yang mereka mau tahu hanya aku yang paling baru masuk ke kantor ini, minta libur melulu Lupa diri siapa.
Besok aku harus berangkat. Besok aku harus berangkat. Berulang kali aku menyakinkan diri, tapi tetap saja dadaku serasa ditekan plakat besi membara, kepala pening, dan ginjal berkedutan gugup. Apalagi ketika aku bayangkan wajah-wajah orang di kantor ini, wajah bosku yang pengertian bukan main, seolah dadanya seluas samudra paling luas dan paling dalam.
Sejujurnya, aku sudah malas menginjakkan kaki di kantor ini, menghadapi orang-orang tertentu. Aku ingin awal baru. Harapan baru di tahun yang baru. Mungkinkah terwujud, dengan tinggal dua hari lagi tahun 2010 menggeliat keluar dari kepompongnya?
Doa. Jangan sekalipun kau remehkan kekuatan doa. Bukan hanya ketika tak ada lagi hal lain yang bisa kita lakukan barulah kita berdoa. Justru sementara kita sedang terseok-seok, kepala di bawah-kaki di atas, doa akan memancarkan cahanya yang paling terang untuk menunjukan jalan di depan kita.
Tapi sebelumnya aku harus percaya. Itu PR paling besar untuk seorang pembangkang seperti aku. Dan tampaknya, soal pertamanya harus segera aku kerjakan dan selesaikan. Aku harus percaya, bagaimana pun, aku bisa dan pasti dapat ijin.
Besok pagi-pagi aku harus berangkat untuk acara tahun baru di komplek kuil megamendung. ”Jam 8 pagi ya!” Berkali-kali sudah ibu menegaskan. Oh, apa sih salahku, sampai di penghujung tahun ini, masih saja diberi cobaan.
Masalahnya bukan sekedar meminta ijin, tapi rasa sungkan kepada orang-orang satu kantor yang juga sudah sangat ingin libur, tak kalah akut dariku. Walau ini bukan sekedar masalah kebelet libur, tapi lebih urusan spiritual. Sayangnya, mana ada yang mau ambil pusing. Yang mereka mau tahu hanya aku yang paling baru masuk ke kantor ini, minta libur melulu Lupa diri siapa.
Besok aku harus berangkat. Besok aku harus berangkat. Berulang kali aku menyakinkan diri, tapi tetap saja dadaku serasa ditekan plakat besi membara, kepala pening, dan ginjal berkedutan gugup. Apalagi ketika aku bayangkan wajah-wajah orang di kantor ini, wajah bosku yang pengertian bukan main, seolah dadanya seluas samudra paling luas dan paling dalam.
Sejujurnya, aku sudah malas menginjakkan kaki di kantor ini, menghadapi orang-orang tertentu. Aku ingin awal baru. Harapan baru di tahun yang baru. Mungkinkah terwujud, dengan tinggal dua hari lagi tahun 2010 menggeliat keluar dari kepompongnya?
Doa. Jangan sekalipun kau remehkan kekuatan doa. Bukan hanya ketika tak ada lagi hal lain yang bisa kita lakukan barulah kita berdoa. Justru sementara kita sedang terseok-seok, kepala di bawah-kaki di atas, doa akan memancarkan cahanya yang paling terang untuk menunjukan jalan di depan kita.
Tapi sebelumnya aku harus percaya. Itu PR paling besar untuk seorang pembangkang seperti aku. Dan tampaknya, soal pertamanya harus segera aku kerjakan dan selesaikan. Aku harus percaya, bagaimana pun, aku bisa dan pasti dapat ijin.
Drama Alam
Hujan turun malu-malu serupa jarum-jarum halus. Tapi bumi tetap saja basah, jalanan tetap saja macet, udara tetap saja sejuk, dan aku tetap saja menikmati suguhan drama alam ini. Pohon kaukasia kehujanan, tapi tidak sedikipun ia bergeming. Dedaunannya seakan berkeringat, dipenuhi bulir-bulir air. Suara burung berkicau sesekali, di antara derak halus hujan pada genting. Sebuah melodi, dalam sebuah pertunjukkan bukan pengiring sifatnya, tapi bagian dari keseluruhan. Sore ini alam memainkan pertunjukannya dengan sempurna. Lambat menghanyutkan, tapi pasti.
Malam pasti datang. Tak mungkin ia bilang, ”nanti liat deh”. Pagi, siang, dan sore juga seperti itu, mereka tidak mengenal kemungkinan. Mereka akan selalu datang silih berganti, sesuai jadwal masing-masing, selama bumi masih berputar. Pagi, siang, sore, dan malam, mereka adalah drama alam yang tak bisa diajak kompromi, saklek sekaligus paling mempesona. Itulah mereka.
Aku sendiri juga punya drama. Dramaku adalah mimpi-mimpiku. Ribuan, bahkan mungkin jutaan kali aku sudah melakoninya di panggung imajinasi di gedung seni mahakarya Tuhan paling tinggi, otak. Hingga kini aku baru sadar kalau dramaku, tidak akan membawaku ke mana-mana.
Aku berdiri, memandang sore yang mulai beranjak sambil sesekali menangkap hujan dengan tanganku. Sekelibat aku ingin melompat ke tengah jalan dan bermain bersama hujan. Merasakan anak-anaknya jatuh di kepala, membasahi sekujur tubuhku dan mengundang dingin untuk bertamu di tubuhku. Tapi aku diam saja, hanya melepas imajinasiku melakukan apa yang sebetulnya aku inginkan. Ya. Begitulah aku. Tak lebih dari sekedar seorang pemimpi.
Aku ingin belajar dari pagi, siang, sore dan malam tentang kepastian. Aku tak takut bila harus menyalahi prinsip hidup kalau tak ada yang pasti. Karena bukan kepastian akibat yang aku harapkan, tapi kepastian sebab. Karena setiap akhir lahir dari sebuah sebab.
Waktuku tak banyak, kecuali aku bisa membujuk pagi, siang, sore dan malam untuk sedikit menunda. Tuh kan! Sudah kubilang aku ini seorang pemimpi. Bukan seorang pewujud.
Mimpi itu milik mereka yang berani. Begitu bunyi sepotong kalimat dalam cerita pujaanku.
Belajarlah dari pagi, siang, sore, dan malam. Belajarlah dari drama alam. Kepastian dari dalam hati yang tak tergoyahkan sekuat apa pun badai mengamuk. Lebih kokoh dari karang, lebih keras dari baja mana pun.
Malam pasti datang. Tak mungkin ia bilang, ”nanti liat deh”. Pagi, siang, dan sore juga seperti itu, mereka tidak mengenal kemungkinan. Mereka akan selalu datang silih berganti, sesuai jadwal masing-masing, selama bumi masih berputar. Pagi, siang, sore, dan malam, mereka adalah drama alam yang tak bisa diajak kompromi, saklek sekaligus paling mempesona. Itulah mereka.
Aku sendiri juga punya drama. Dramaku adalah mimpi-mimpiku. Ribuan, bahkan mungkin jutaan kali aku sudah melakoninya di panggung imajinasi di gedung seni mahakarya Tuhan paling tinggi, otak. Hingga kini aku baru sadar kalau dramaku, tidak akan membawaku ke mana-mana.
Aku berdiri, memandang sore yang mulai beranjak sambil sesekali menangkap hujan dengan tanganku. Sekelibat aku ingin melompat ke tengah jalan dan bermain bersama hujan. Merasakan anak-anaknya jatuh di kepala, membasahi sekujur tubuhku dan mengundang dingin untuk bertamu di tubuhku. Tapi aku diam saja, hanya melepas imajinasiku melakukan apa yang sebetulnya aku inginkan. Ya. Begitulah aku. Tak lebih dari sekedar seorang pemimpi.
Aku ingin belajar dari pagi, siang, sore dan malam tentang kepastian. Aku tak takut bila harus menyalahi prinsip hidup kalau tak ada yang pasti. Karena bukan kepastian akibat yang aku harapkan, tapi kepastian sebab. Karena setiap akhir lahir dari sebuah sebab.
Waktuku tak banyak, kecuali aku bisa membujuk pagi, siang, sore dan malam untuk sedikit menunda. Tuh kan! Sudah kubilang aku ini seorang pemimpi. Bukan seorang pewujud.
Mimpi itu milik mereka yang berani. Begitu bunyi sepotong kalimat dalam cerita pujaanku.
Belajarlah dari pagi, siang, sore, dan malam. Belajarlah dari drama alam. Kepastian dari dalam hati yang tak tergoyahkan sekuat apa pun badai mengamuk. Lebih kokoh dari karang, lebih keras dari baja mana pun.
Subscribe to:
Posts (Atom)