
Mungkin aku hanya panik, karena ketika di hadapan selembar kertas kosong, tiba-tiba otakku jadi ikut kosong. Seperti ada kabut tebal yang menyelimuti pikiranku. Aku jadi tidak lagi mengenal diriku sendiri. Siapa aku tanpa kata-kataku. Siapa aku?
“Life is hard. We need to find meaning, something to believe in. and this is it.”
Sepenggal kalimat itu adalah testimonial dari salah satu penari latar MJ untuk konsernya yang tak akan pernah terwujud. Seminggu sebelum konser yang terakhir dalam karirnya, The King of Pop harus meninggalkan keluarga dan fansnya untuk selamanya. Tapi ia pergi tidak hanya meninggalkan duka, tapi juga cerita tentang kesungguhan yang menjadi harapan.
Siang kemarin, gua dan Faye nonton “This it”. Walau sebetulnya film ini pilihan kedua kami (setelah “9”) tapi setelah selesai nonton, film itu langsung meninggalkan kesan nomor satu di hati gua. Sepanjang film, gua gak bisa tahan untuk gak goyang dan gak ikutan nyanyi. Rasanya tubuh dan mulut gua bereaksi otomatis begitu musik dan suara MJ masuk ke telinga. Sepertinya tubuh gua menterjemahkan setiap nada, lirik dan gerak sebagai bujukan untuk ikut menari. Like a magician hypnotizing his audience, MJ every move is a complete magic.
Hal lain yang berhasil menyentuh gua adalah totalitas sang Raja Pop. Umurnya yang sudah mencapai 50 tahun, dan rehat yang cukup lama semenjak penampilannya yang terakhir, tidak menghalangi pria yang terkenal dengan
Banyak banget quotes dan adegan menarik di film ini. Rasanya dengan menonton “This is it”, gua seperti berada di tengah-tengah suasana latihannya. Seakan-akan gua berada di
Tragis bila kita mengingat bagaimana sebelum meninggal, MJ sering didera gossip-gosip miring. Bahkan tak jarang ia menjadi bahan lelucon di berbagai acara. Mungkin gossip-gosip itu ada benarnya, mungkin juga tidak. Tapi satu hal yang pasti, ada banyak orang yang lebih buruk dari dia di dunia ini, tapi hanya ada sedikit orang seistimewa dia. Dan ia adalah sang legenda, yang melalui karya-karyanya, akan terus hidup di hati para penggemarnya.
Film ini juga membangkitkan sebuah perenunan tentang betapa singkatnya waktu untuk dihabiskan dengan takut menjadi diri sendiri dan terlalu mendengarkan apa yang orang lain ngomong soal kita. Betapa sering kita menunda apa yang kita mau, hingga akhirnya semua tinggal menjadi ”gua-sebetulnya-bisa-gak-ya?”, yang akan mendengung selamanya di kepala. Jangan takut menjadi sesuatu yang kita yakini, ”That’s why we have practice”, begitu MJ selalu bilang ketika dia atau rekan kerjanya melakukan kesalahan. Hidup sebagai kita hanya sekali. Kalau gak saat ini kapan lagi. This is it!
The 10 finalists of Daun Muda award have been announced. Guess what. My bad unconscious wish for not entering to the final round has come true (one of my friends told me). To my surprise, I feel something cracked inside. Is it my hope or my pride? I’m not sure. Maybe both. “I don’t really want it anyway.” I keep conveying myself over and over. However, as I skim through the name list, somewhere inside me, foolishly hoping to find my name and my partner’s name among the finalists.
And when I couldn’t find it, I felt even more despair.
Somehow I feel like a big bad loser. I feel like it was entirely my fault. I’m the one who wasn’t doing it right. I belittle the competition. I have disappointed my partner. I feel like a murderer for killing his hope. I’m sure everything would turn out totally different if he, my partner, had not picked me as a teammate. I’m sorry.
People say losing is a common thing. Somewhere along the road, you will have to meet with it face to face. Like it or not. But still I can’t bare the guilt of losing. Losing makes me feel like an outsider.
I will get myself back on the run. I know I will. But first thing first, I'll have to make sure to where my passion belongs. So i can hush my bad unconscious wish away.
Hidup itu seperti olah raga. Sebut saja basket. olah raga yang baru aja gua lakonin tadi malam. Kadang kita menang, kadang kita kalah. Tapi bukan hasilnya yang mau gua bagi lewat tulisan ini, melainkan kegigihan, fokus, nyeri dan memarnya.
Udah cukup lama gua absen dari dunia perbasketan (
Akibatnya, muncul masalah ke dua, yaitu… fokus melayang. Kepala terasa berat, sedikit muter, karena asupan oksigen di kepala kurang. Alhasil, lemparan gua gak masuk-masuk, lihat temen kayak lawan, lawan kayak temen (salah oper deh). Karena ke-eror-an gua, lawan jadi dapat kesempatan untuk nambah skor dan teman-teman satu tim gua hanya bisa menunduk kecewa, mau negur gua gak enak, tapi kayaknya ketololan gua bakal membuahkan kekalahan. Lihat muka-muka kecewa itu, perasaan bersalah tumbuh subur di dada gua (Shit. Makin sesak nih!), dan gua langsung bertekad, kalau gua harus bisa lebih konsentrasi, demi teman-teman satu tim (sedaaaap!). Langsung aja gua bentak otak gua untuk berkerja lebih keras walau dengan honor oksigen seadanya. Untung otak gua cukup pengertian, jadi gua bisa mengurangi erorisme gua. Dari momen ini gua belajar, mikirin orang bisa membantu kita untuk lebih fokus.
Nah! Pas gua lagi istirahat, dengan tubuh yang udah payah dan basah oleh keringat, gua duduk terkulai seperti daun layu. Terus gua minum air sebanyak banyaknya dengan rakus, seolah-olah gua bisa minum sampai mengeringkan sebuah sungai. Setelah beberapa saat, capek pelan-pelan pergi, dan datanglah… nyeri otot atau keram. Waktu gua mau berdiri, otot paha kanan gua kayak dicubit. Ngiluuuu… terus punggung kaki kanan gua ikutan sakit ditambah jari-jari kaki yang ketusuk kuku kaki yang lupa digunting. Damn! Lengkap sudah nyeri di badan gua. Habis gelap datang lah badai. Tiba-tiba sebuah pencerahan muncul, sakit ini pasti karena seluruh otot kendur di badan gua lagi belajar untuk menjadi kencang. Kalau otot gua sukses jadi kencang, gua juga
Ketiga poin di atas menyisakan beberapa oleh-oleh untuk di bawa pulang dan dinikmati di rumah. Memar. Sumpah, badan gua serasa habis diinjak-injak 100 orang. Yang buat gua menderita, memarnya seolah-olah ada di dalam kulit. Eh, ada satu yang di luar. Di punggung tangan kanan ada memar merah seperti tanda lahir sebesar kacang kedelai. Anehnya, gua mulai menikmati memar itu dan menganggapnya seperti pengingat; kalau tadi, gua gak nyerah dan berjuang sampe habis. Dari momen ini gua belajar, kalau kadang kita butuh sesuatu untuk mengingatkan, sudah sampai sejauh mana kita berusaha.
Selesai sudah pengalaman yang gua dapat dari setelah sekian lama gak main basket. Seperti udah gua bilang di atas, hidup itu seperti olah raga. tepatnya, seperti udah lama gak olah raga terus dipaksa abis-abisan. No pain no gain.
Tapi bagaimana pun olah raga itu bikin addict. Seperti hidup.