Wednesday, December 24, 2008

Belajar dari cinta lama

Pernah gak lo merasa dikhianati jauh setelah hubungan lo dengan seseorang berakhir, padahal di saat ini sama sekali sudah nggak ada lagi perasaan yang dulu pernah begitu bergelora. Beberapa hari yang lalu, di suatu malam yang lembab oleh hujan, gua baru saja merasakan perasaan itu.

Karena suatu urusan penting yang mendadak, gua harus datang ke vihara malam itu. Padahal gua ada janji mengambil celana jeans di mall (kalau gak sekarang mungkin besok sudah gak sempat dan pramuniaganya beberapa kali menekankan kalau harus diambil segera). Tapi atas nama kepentingan yang jauh lebih besar daripada sepotong celana jeans, gua memilih untuk bertemu teman gua itu.

Ketika gua sedang berdiskusi di mulut sebuah lorong, dia datang, si ex yang di tengah-tengah masa pacaran kami dulu, tiba-tiba gua merasa kalau dia gak pernah sungguh-sungguh mencintai. Sanny, sebut saja namanya begitu. Ia datang berdampingan bersama cowok barunya, salah satu teman gua juga, yang tidak terlalu dekat.

Dari ekspresinya, terbaca kalau mereka tak menyangka akan bertemu dengan gua di sana, malam itu. Sekilas terlihat mereka tersentak dan salah tingkah. Langkah mereka sekikit melambat, tapi beberapa detik kemudian mereka berhasil menguasai diri dan terus berjalan tanpa ragu melewati gua yang dengan ringan tersenyum ke arah mereka.

Ketika melihat mereka berjalan sambil dengan mesra bergandengan tangan, tiba-tiba gua seakan melayang kembali ke beberapa tahun lalu, ke masa-masa pacaran dengan Sany. Gua masih inget, kala pertamanya kita, gua dan Sany kencan ke mall. Saat itu, seperti halnya pasangan normal yang memiliki hasrat bersentuhan fisik, walau hanya berpegangan tangan, gua mencoba untuk meraih tangannya. Tapi tanpa diduga, ia menarik lepas tangannya dari genggaman gua. Lantas bingung, gua mencoba sekali lagi, lagi, lagi, dan lagi. Tapi Sany terus, terus, dan terus menarik tangannya. Pernah disekali usaha, gua menangkap tangannya dan menggenggamnya keras-keras, alhasil tangannya malah kesakitan dan terpaksa gua yang melepaskan genggaman.

Akhirnya karena kesal dan juga bingung, gua bertanya, kenapa dia gak mau pegangan tangan. Dan surprise surprise, sambil tersipu dan ragu-ragu, ia menjelaskan sambil menatap ke bawah kalau ia malu bila dilihat orang sedang berpegangan tangan di mall, walau dengan pacarnya sekalipun. Hah? Gak salah tuh? Menurut dari sejarah pacarannya dulu, keknya gak mungkin deh... Dan ternyata punya ternyata, Sany juga gak mau berpegangan tangan di bioskop. Kali ini alasannya karena ia ingin konsentrasi menonton.

Awalnya gua sempet bingung. Sudah gua coba memahami sekuat tenaga, tapi kok alesannya gak bisa masuk logika. Satu-satunya logika yang pas, hanya si Sany ternyata nggak benar-benar mencintai gua dan dia malu punya cowok kayak gua. Namun, karena rasa cinta (ini dulu loh) yang begitu dalam, akhirnya gua berhenti berusaha untuk memahami alasan dan mulai berusaha untuk memahami perasaan.



Sampai malam itu, ketika gua melihat Sany bergandengan tangan dengan cowoknya yang sekarang di depan umum, akhirnya gua ngerti. Bukan berpegangan tangan yang bikin dia malu, tapi tangan siapa yang dipegangnya.

Ternyata dugaan gua benar, kalau gua dibohongin.

Tapi apakah gua menyesal? Marah? Benci?

Jawabannya sama sekali, tidak! Kenapa? Karena gua sudah merelakannya jauh sebelum tulisan ini dibuat. And in some way, I feel lucky because all those things has made me stronger and I also learned that life is to short to be spend with the wrong person.

I’m not the person that you think I am.

No comments: