AC berderu lemah dan monoton. Udara dingin menyayat kulit
tak berselimut. Tas hitam di lantai kamar ditangkap ekor mata seperti kepala
tak berbadan. Sayup-sayup terdengar suara seorang wanita menyanyikan sebuah
lagu mandarin dari radio kecil milik Papa. Nadanya mendayu-dayu. Suara
penyanyinya merintih. Aku tak mengerti apa artinya, tapi aku bisa merasakan
kesedihannya. Musik sember dari speaker “ember” milik tukang roti keliling
mencemari pagi. Di antaranya, keponakanku menjerit menangis mencari perhatian.
Pompa air berderu kasar seperti seorang tua sedang berusaha mengeluarkan dahak
dari dalam tenggorokannya.
Suara-suara memang selalu memperebutkan pagi di tempat ini.
Kadang terlalu. Namun aku tahu akan merindukan pagi yang bising ini ketika
nanti tinggal sendiri. Namun aku akan punya pagi yang lain. Pagi yang baru.
Pagi yang aku nantikan sejak setahun yang lalu. Pagi yang tidak diperebutkan.
Pagi yang hanya menjadi milikku seorang.
No comments:
Post a Comment