Namanya Rio. Aku tidak tahu nama lengkapnya. Hanya tiga
huruf itu saja. Sekilas tangkap nama itu terasa jenaka, seperti film kartun
soal burung biru. Padahal, kenyataannya, ada cerita segelap tinta. Si pemilik
nama itu adalah seseorang dengan mental terbelakang. Perangainya sulit ditebak.
Kadang iseng. Kadang Marah. Kadang Diam saja. Bicaranya sedikit gagap dan
semakin parah bila ia gugup. Suara tawanya serak, lantang, dan
tersentak-sentak. Setiap mulutnya terbuka jaring-jaring liur muncul di sudut
bibirnya. Sebagian orang suka mempermainkannya seolah-olah orang dengan masalah
mental tak punya perasaan. Dan aku membenci mereka yang begitu.
Awalnya aku juga seperti orang kebanyakan. Jengah melihat
tingkah Rio. Pernah aku memarahinya. Ia memang punya kebiasaan meminjam SMS
untuk menghubungi Ibunya. Tapi selain itu, di saat kita lengah, ia suka membaca
isi SMS di inbox. Suatu kali aku menangkap basah saat ia sedang tersenyum-senyum
membaca isi SMS aku dengan seseorang yang istimewa.
Naik pitam dalam sekejap. Aku memarahinya dan melemparnya
dengan sumpah untuk tidak akan lagi membiarkan handphoneku disentuh oleh Rio.
Ia minta maaf berulang kali. Tapi sambil senyum-senyum geli karena mungkin masih
terbayang isi SMS yang romantis najis.
Ia juga genit. Sering kali ia mendekati perempuan untuk
berkenalan lalu minta nomor telepon. Sudah pasti gayung tak bersambut. Yang
diminta kadang menjawab dengan senyum pahit. Namun Rio bukanlah Rio bila
langsung menyerah. Ia terus mencari jalan tanpa sadar ia sudah menabrak tembok.
Awalnya ia punya beberapa teman. Sebagian memang tulus
berusaha menerimanya apa adanya, tapi sebagian lagi hanya senang punya bahan
untuk dipermainkan. Namun yang tulus lambat laun menyerah dan mulai menghindar.
Sedangkan yang tidak tulus, memang tak pernah ada untuknya.
Aku mulai sering melihat Rio sendirian. Sembahyang
sendirian. Makan sendirian. Beli minuman di warung, sendirian, Bahkan saat ia
sedang ikut pertemuan yang ramai oleh umat, ia tetap sendirian. Semakin lama
tubuhnya semakin kurus. Keriaan Rio yang dulu menjadi ciri khasnya telah
hilang. Wajahnya seperti seorang pesakitan. Tirus, kantung matanya hitam, dan
kulitnya pucat. Ia juga jadi lebih sering merokok dan bengong.
Hingga dua minggu yang lalu aku mendapat kabar kalau Rio
sudah tiada. TBC menggerogoti tubuhnya dari dalam sampai menjadi kurus dan
lelah hingga nyawanya tak lagi betah tinggal di sana dan akhirnya minggat.
It’s heartbreaking to
know that he has gone.
Aku tak bisa datang pada saat malam kembang. Tapi dari
cerita teman yang ada di sana, kakaknya meminta maaf kalau selama hidupnya, Rio
sering mengganggu. Ia sebetulnya seorang anak yang pintar, meski terlihat
sebaliknya.
Setelah ini mungkin orang akan begitu saja lupa kalau di
dunia ini pernah ada seorang manusia bernama Rio yang dengan kita berbagi udara
berpolusi yang sama, terik matahari yang sama, kemacetan Jakarta yang sama, dan
harapan yang sama untuk menjadi orang yang lebih baik. Perannya mungkin tak
terlalu penting dalam kehidupan kali ini. Tapi aku percaya, di kehidupan selanjutnya,
ia pasti akan menjadi manusia yang hebat.
Selamat Jalan Kawan
No comments:
Post a Comment