Sunday, September 14, 2014

Rio

-->
Namanya Rio. Aku tidak tahu nama lengkapnya. Hanya tiga huruf itu saja. Sekilas tangkap nama itu terasa jenaka, seperti film kartun soal burung biru. Padahal, kenyataannya, ada cerita segelap tinta. Si pemilik nama itu adalah seseorang dengan mental terbelakang. Perangainya sulit ditebak. Kadang iseng. Kadang Marah. Kadang Diam saja. Bicaranya sedikit gagap dan semakin parah bila ia gugup. Suara tawanya serak, lantang, dan tersentak-sentak. Setiap mulutnya terbuka jaring-jaring liur muncul di sudut bibirnya. Sebagian orang suka mempermainkannya seolah-olah orang dengan masalah mental tak punya perasaan. Dan aku membenci mereka yang begitu.
Awalnya aku juga seperti orang kebanyakan. Jengah melihat tingkah Rio. Pernah aku memarahinya. Ia memang punya kebiasaan meminjam SMS untuk menghubungi Ibunya. Tapi selain itu, di saat kita lengah, ia suka membaca isi SMS di inbox. Suatu kali aku menangkap basah saat ia sedang tersenyum-senyum membaca isi SMS aku dengan seseorang yang istimewa.
Naik pitam dalam sekejap. Aku memarahinya dan melemparnya dengan sumpah untuk tidak akan lagi membiarkan handphoneku disentuh oleh Rio. Ia minta maaf berulang kali. Tapi sambil senyum-senyum geli karena mungkin masih terbayang isi SMS yang romantis najis.
Ia juga genit. Sering kali ia mendekati perempuan untuk berkenalan lalu minta nomor telepon. Sudah pasti gayung tak bersambut. Yang diminta kadang menjawab dengan senyum pahit. Namun Rio bukanlah Rio bila langsung menyerah. Ia terus mencari jalan tanpa sadar ia sudah menabrak tembok.
Awalnya ia punya beberapa teman. Sebagian memang tulus berusaha menerimanya apa adanya, tapi sebagian lagi hanya senang punya bahan untuk dipermainkan. Namun yang tulus lambat laun menyerah dan mulai menghindar. Sedangkan yang tidak tulus, memang tak pernah ada untuknya.
Aku mulai sering melihat Rio sendirian. Sembahyang sendirian. Makan sendirian. Beli minuman di warung, sendirian, Bahkan saat ia sedang ikut pertemuan yang ramai oleh umat, ia tetap sendirian. Semakin lama tubuhnya semakin kurus. Keriaan Rio yang dulu menjadi ciri khasnya telah hilang. Wajahnya seperti seorang pesakitan. Tirus, kantung matanya hitam, dan kulitnya pucat. Ia juga jadi lebih sering merokok dan bengong.
Hingga dua minggu yang lalu aku mendapat kabar kalau Rio sudah tiada. TBC menggerogoti tubuhnya dari dalam sampai menjadi kurus dan lelah hingga nyawanya tak lagi betah tinggal di sana dan akhirnya minggat.
It’s heartbreaking to know that he has gone.
Aku tak bisa datang pada saat malam kembang. Tapi dari cerita teman yang ada di sana, kakaknya meminta maaf kalau selama hidupnya, Rio sering mengganggu. Ia sebetulnya seorang anak yang pintar, meski terlihat sebaliknya.
Setelah ini mungkin orang akan begitu saja lupa kalau di dunia ini pernah ada seorang manusia bernama Rio yang dengan kita berbagi udara berpolusi yang sama, terik matahari yang sama, kemacetan Jakarta yang sama, dan harapan yang sama untuk menjadi orang yang lebih baik. Perannya mungkin tak terlalu penting dalam kehidupan kali ini. Tapi aku percaya, di kehidupan selanjutnya, ia pasti akan menjadi manusia yang hebat.
Selamat Jalan Kawan

No comments: