"Aku
tak mengerti," katanya tiba-tiba memecah sepi, "kenapa biru itu sendu?
Kenapa sajak-sajak sering menghubungkannya dengan sesuatu yang risau? Padahal
bagiku, biru berarti kebebasan."
Aku merasa
bodoh karena tak bisa menjawab. Dan dia berhenti bertanya. Kami membatu,
menyatu dengan tanah dan rerumputan di taman rumah sakit ini, sambil memerhatikan
orang-orang sibuk berlalu lalang; dokter, suster, dan pasien di kursi roda
bersama pembesuknya (keduanya tampak lelah).
Aku
menatapnya. Wajah yang dulu pernah kukenal begitu riang, kini redup sinarnya
digerogoti sel-sel ganas yang tumbuh lepas kendali di rahimnya.
Lalu,
seperti ada yang memanggil dari langit, dia menengadah dan bibir tipisnya perlahan
melengkungkan sebuah senyum yang lemah. Langit biru tampak megah
dan magis seperti syair indah yang tak berujung. Kami terhipnotis. Padanya, sepasang burung sedang
asyik berkejaran. Begitu lekas, begitu bebas.
Kami pun
melayang bersama mimpi masing-masing. Dalam diam.
No comments:
Post a Comment