Saat malam turun, musik-musik keras mulai berdentuman di
sepanjang jalan Legian. Bersamaan dengan itu, jiwa-jiwa yang tersesat mulai
bermunculan; perempuan dan pria dengan tatapan yang kosong dan bahasa tubuh
yang tidak lagi mengisyaratkan gairah hidup. Mereka seperti hantu gentayangan.
Seorang wanita berdiri di depan sebuah café remang yang
berisik oleh musik diskotik. Rambutnya panjang, kulitnya legam. Dandanan tebal
berusaha keras menutupi area di wajahnya yang sudah dimakan waktu. Aku taksir
umurnya sudah hampir lima puluh, kalau tidak enam puluh. Ia mengenakan atasan
blazer hitam ketat dan rok mini hitam. Ketika lewat di depannya tanpa sengaja aku
menatap matanya, tapi tak ada siapa-siapa di sana. Hanya lorong kosong yang tak
berujung. Mata yang tak bernyawa.
Ia berjoget tanpa gairah, mengikuti dentuman musik. Terlihat
ia sedang menunggu seseorang untuk berkunjung ke cafe atau seseorang untuk
membawanya pergi. Yang mana saja, mungkin ia tak lagi peduli.
Seorang pria tua Eropa berjalan sempoyongan. Bau alkohol
meruak dari nafasnya ketika aku lewat di sampingnya. Ia jelas sedang mabuk,
tapi ada yang lain pada ekspresinya. Sesuatu yang sedih pada lengkung bibirnya
dan putus asa pada pijar redup matanya. Ia seperti tersesat.
Seorang wanita yang aku kira adalah istrinya berjalan
beberapa langkah di belakangnya. Ekspresinya keras hingga membuat wajahnya
tampak seperti patung batu yang dipahat. Mungkin ia marah atau malu pada
tingkah suaminya. Seperti suaminya, ia juga tersesat, walau tidak mabuk.
Seorang wanita lagi. Yang ini jauh lebih muda dari wanita
yang pertama. Mungkin tak jauh di atas dua puluh tahun. Parasnya manis,
rambutnya tergerai panjang di belakang pundaknya. Ia duduk menghadap jalan di
dalam sebuah bar. Kakinya yang nyaris telanjang disilangkan dengan anggun.
Wajahnya beku tanpa ekspresi. Matanya menatap ke depan, tapi ia tidak melihat. Tampaknya
pikirannya sedang berkelana jauh entah ke mana. Ia seperti tidak ingin berada
di bar itu malam ini. Ia seperti tahanan.
Tepat di depan sebuah bar terdapat panggung kecil, sekitar
4x4m. Di atasnya seorang pria dengan penampilan serba putih dan metalik seperti
robot dalam film The Wizard of Oz, menari-nari dengan berantakkan yang
membuatnya seperti orang yang sedang tenggelam atau sedang menghalau lalat dari
wajahnya.
Pria serba putih dan metalik itu tidak benar-benar bisa
menari. Semua orang yang lewat tahu, dia sendiri juga tahu. Tapi tetap saja
dilakoninya pekerjaan itu. Mungkin karena mudah dan bayarannya lumayan. Mungkin
ia punya keluarga yang butuh makan dan adik-adik yang perlu sekolah. Atau
mungkin ia hanya, malas.
Ternyata di balik hingar bingar kehidupan di Bali, ada sisi
lain yang mengingatkan, kalau dalam hidup ini kita semua adalah pengembara.
Sebagian kecil langsung sampai tujuan, Sebagian besar tersesat. Sebagian yang
tersesat berjuang hingga berdarah-darah untuk menemukan satu jalan menuju
“rumah”. Sebagian lagi memilih menunggu suatu saat nasib akan berubah, hingga
akhirnya ketika mereka sadar hal itu tidak akan terjadi dengan sendirinya,
mereka sudah terlanjur tersesat terlalu jauh.