Kadang orang suka lupa kalau anjing bukan manusia dan anak kecil bukan
orang dewasa
Saya punya seekor anjing terrier berbulu emas. Sekilas lihat
ia seperti golden retriever namun dengan skala tubuh yang jauh lebih kecil.
Tingginya setengah betis orang dewasa. Anjing ini, yang kami beri nama Leo,
seperti anjing-anjing lain pada umumnya, suka poop dan pipis sembarangan. Dan
percayalah, kami sudah mengajarinya beratus kali mulai dengan memukul
pantatnya, membentaknya seperti kompeni membentak tahanannya, sampai
menasihatinya baik-baik dengan mata menatap mata seolah-olah bicara dengan
manusia. Namun tetap saja, sesekali ia tetap mengencingi kaki meja kayu, tembok
belakang rumah, atau lemari kaca.
Kekeraskepalaannya itu tidak berhenti hanya di situ. Setiap ada orang yang hendak masuk ke dalam kamar tidur, Leo, dengan jurus ninjanya, sering sekali menyelinap ke dalam demi mencari udara sejuk AC. Walau tak jarang kita sendiri yang mengijinkannya ikut masuk ke kamar. Hingga pada suatu malam, ketika sedang asyik tidur selonjoran di kolong kamar kakakku, ia diusir keluar dengan paksa. Naluri spontan seekor binatang ketika diserang adalah bertahan. Tapi karena ia tidak berani menggigit, ia hanya bisa menyalak galak. Alhasil keponakanku terbangun lantas menangis sejadi-jadinya karena kaget.
Penjahatnya sudah jelas adalah Leo. Kakakku langsung membentak dan memukul pantatnya. Sebagai seorang ayah yang baik, walau ayah dari seekor anjing, aku langsung keluar kamar dan berusaha melindungi Leo. Seperti seorang ibu yang berusaha kelihatan bertanggung jawab, ia membela anaknya. Tak lama suaminya datang dan ikut-ikutan ingin menyalahkan Leo. Spontan aku membalas serangan mereka dengan pertanyaan retoris yang menampar-nampar, “Siapa yang kasih Leo masuk ke kamar? Kenapa juga ngusirnya pakai ditendang-tendang, kenapa gak di gendong? Lupa ya kalau Leo itu cuma seekor anjing yang gak mungkin dikasih tahu langsung nurut gitu aja. Kosa kata bahasa manusianya cuma sebatas: makan, jalan-jalan, minum, ada siapa tuh, sini, yuk, sit down, shake hand, dan namanya sendiri, Leo.” Lucu, kita yang manusia yang dianugrahi akal dan pikiran mengharapkan anjing untuk mengerti kita, bukan sebaliknya.
Apa bedanya dengan orang-orang yang membunuh seekor buaya
yang telah memakan seorang anak desa. Kenapa yang salah si buaya? Bukan kah itu
murni hanya insting alam? Apakah seekor buaya bisa berpikir, oh itu anak manusia
bukan kambing, jadi jangan dimakan. Kenapa bukan orang tuanya, yang lalai
mengurus si anak yang dibelah perutnya? Manusia memang suka menghindar dari
kesalahan menggunakan jari telunjuknya. Lebih mudah daripada mengaku salah.
Jadi kalau anjing kita menggonggongi seseorang sampai orang itu ketakutan, siapa yang salah? Kalau anjing Anda sesekali pipis sembarangan, siapa yang salah? Kalau lain kali anjing Anda tidur di dalam kamar dan menolak untuk keluar, siapa yang salah?
Ada orang yang punya kebiasaan menggesek-gesekkan kakinya ke
kasur sebelum tidur, ada juga yang kebiasaannya kalau lagi mikir gak bisa
berhenti bergerak, tapi ada juga yang kebiasaanya menyalahkan orang lain.
Begitu terbiasanya seseorang menudingkan jarinya ke orang lain, lama kelamaan
menjadi reflek. Logika dilumpuhkan insting memegang kendali. Siapa yang lebih
binatang, anjing atau kita?
Tapi bisa saja ada orang yang menyalahkan si anak. Dia pasti
bandel dan susah dibilangin. Sudah sepuluh kali dikasih tahu tidak boleh main
ke dekat sungai, tapi terus saja ia kembali ke sana. Untuk Anda yang berpikir
seperti itu, saya cuma akan bilang, NAMANYA JUGA ANAK-ANAK! Mereka bukan orang
dewasa yang sudah bisa berpikir jauh. Di dunia mereka yang ada hanyalah rasa penasaran
dan bermain.
Kita harus menjadi seperti kaset rusak, mengulangi refain
yang sama, jangankan sepuluh kali, tapi mungkin bisa ratusan kali. Capek? Semua
orang juga harus mengalami proses itu. Anak bukan mie instant yang tinggal
cemplung, dua menit kemudian matang. Anak itu seperti sebuah novel. Ditulis
dengan hati dan logika. Lalu dibaca lagi, ditulis lagi. Dengarkan pendapat
orang, ambil yang benar, lalu tulis lagi. Sampai akhirnya terjahitlah sebuah
cerita yang bisa menginspirasikan orang banyak. Mengurus anak memang gak
semudah dan senikmat proses pembuatannya. But
I believe, if we raise children with compassion, dedication and love, then it’s
gonna be one magical journey.