Tepat jam 12 siang, lebih dari 100 orang berkumpul di sebuah ruangan bernuansa putih beraksen hijau. Mereka tampak resah walau disembunyikan dalam canda dan tawa. Di depan mereka sebuah meja panjang bertaplak putih digelar, di atasnya ada sebuah mangkuk kaca besar yang berisi kertas-kertas bernomor yang akan menentukan nasib mereka.
Will they get out of the room as a winner or a loser?
Hari itu adalah ulang tahun kantor yang ke 76, dan setelah perayaan sederhana yang meriah, selanjutnya adalah acara yang ditunggu-tunggu, DOOR PRIZE. Berbagai hadiah seperti blackberry, mixer, sampai Ipad 2, siap dibawa pulang mereka yang beruntung. Bagi yang kurang beruntung, voucher belanja 50 ribu adalah kompensasinya.
Semua orang menunggu namanya dipanggil dengan cemas. Semua orang tampak berharap-tapi-tidak-berharap, seakan-akan dengan begitu bisa mengelabui nasib. Seolah-olah dengan menjadi pesimis, mereka tidak akan kecewa bila nanti tidak beruntung.
Semua orang pasrah di tangan sang juru panggil. Seorang wanita bertubuh gembil dan berwajah ramah itu menjadi kaki tangan Tuhan, sedangkan Tuhannya adalah mangkuk kaca berisi kertas. Kita hanya bisa menunggu tanpa tahu kapan. Menunggu tanpa pasti dapat. Tapi toh tetap kita jalani.
Setiap ada nama orang yang dipanggil, resah langsung menyesaki seluruh ruangan. Orang pertama mendapatkan… Voucher. Orang kedua, ketiga sampai orang ke dua puluh juga voucher. Lalu orang pertama yang beruntung di hari itu mendapatkan sebuah Blackberry. Semua orang bersorak dan bertepuk tangan dengan meriah, tapi di balik euphoria itu, sebenarnya semua orang memendam iri. Tak lama kemudian dua orang beruntung muncul lagi. masing-masing mendapat kamera dan blackberry. Namun kebanyakan orang kembali dari meja putih seperti prajurit yang kalah, dengan selembar voucher Rp 50 ribu di tangan dan segumpal dongkol di dada yang di samarkan dalam senyum, tapi masam.
Perlahan ruangan mulai kosong dan nama saya belum juga dipanggil. Menyadari hal ini dalam hati saya bersorak gembira. Semakin banyak yang tidak beruntung, semakin besar kesempatan saya mendapatkan hadiah utama. Sekejap saya membayangkan orang-orang menatap iri melihat saya menenteng ipad 2. Namun setiap melihat orang-orang yang hanya mendapat voucher, saya mengingatkan diri untuk jangan jadi terlalu berharap.
Dua perasaan itu terbit tenggelam secepat mata berkedip. Alhasil saya jadi merasa lelah. Menunggui ketidakpastian memang menghisap tenaga. Apalagi saya sadar tidak bisa melakukan apapun untuk memastikan saya dapat atau tidak sebelum saya merogoh ke dalam mangkuk kaca.
Menunggu seperti ini beda dengan menunggu bus di halte, atau menunggu malam datang. Rasanya seperti menunggu telepon dari pacar setelah bertengkar hebat atau menunggu seseorang yang sedang dioperasi. Tak ada kepastian dan tak ada ketidakpastian. Mengambang di tengah. Menggantung di ujung.
Bayangkan bila hidup kita ditentukan oleh door-prize. Mau laptop baru, tunggu kita beruntung atau tidak. Mau pacar baru juga menunggu. Mau pindah kerja, hidup yang beda, pakai baju yang mana, pergi kemana, pokoknya semua tergantung kita beruntung atau tidak.
Untungnya hidup bukan ditentukan oleh door-prize, tapi oleh seberapa keras kita mau berusaha, seberapa kuat kita untuk tidak mengeluh, dan seberapa berani kita menghadapi kegagalan. Lebih baik saya diberi cangkul dan menyangkul sawah di tengah siang bolong dan membuat tanah gersang jadi subur daripada menunggu tanah itu jadi gembur sendiri dan tahu-tahu ada orang yang iseng melempar bibit di atasnya.
Sometimes life needs luck, but most of the time it’s us that have to scratch our knees and hurt our back to get what we want.
Pada akhirnya saya mendapatkan giliran merogoh kertas di dalam mangkuk kaca lalu saya juga mendapatkan giliran untuk berjalan kembali dengan senyum riang yang menyembunyikan kecewa sambil memegang sebuah voucher.
Mungkin bukan dengan keberuntungan saya akan mendapatkan ipad 2, tapi dengan cara yang lebih susah tapi setidaknya saya berusaha daripada hanya menunggu.