“Namaku Matahari”, adalah novel yang menjadi sorotan pada Eve Book Club bulan ini. Berkisah tentang agen ganda perempuan bernama Matahari yang menyamar menjadi penari telanjang sekaligus pelacur profesional. Buku ini bukan seperti cerita agen rahasia biasa. Ada pesan di balik cerita ini, tentang perlawanan terhadap kemunafikan, tentang kekuatan perempuan terhadap penindasan, dan lebih dalam lagi tentang kebangsaan yang tidak lebih penting daripada kemanusiaan.
Hari Kamis sore, 11 november 2010, tepat jam empat, para pembaca setia Eve Magazine sekaligus “kutu buku” eve book club memenuhi ruangan tengah restoran Bunga Rampai. Di depan mereka duduk Remy Sylado dengan dandanan khasnya yang nyentrik. Potongan rambut ala James Brown, hanya saja berwarna putih, kemeja elvis warna putih, celana cut bray putih dan sepatu kulit putih. Ia memakai dua jam tangan putih, masing-masing di setiap tangan dan empat cincin batu putih sebesar jempol. Semua yang menempel pada tubuhnya, serba putih.
Sesi dibuka dengan pembahasan tentang asal mula novel ini dibuat. Menurut Remy Sylado penelitian dasar untuk buku ini hanya makan waktu tiga bulan. Ia pergi ke berbagai daerah dan Negara di dunia, seperti, Madrid dan Roma. Ia mengunjungi tempat di mana Matahari pernah singgah. Seperti sebuah hotel di turki yang sampai sekarang masih mempromosikan Matahari pernah tinggal di sana sebagai salah satu daya tarik.
Melalui tokoh Matahari, Remy Sylado ingin bicara tentang pemikiran modern, bahwa wanita dan pria adalah setara. Salah satu celetukannya yang mengundang tawa adalah, “kalau dalam rumah tangga wanita adalah mitra pria, kenapa wanita harus ada di belakang ketika seharusnya sejajar berdampingan.”
Selain itu, Matahari juga bicara pentingnya melihat seseorang tidak hanya dari apa profesi atau dari kebangsaannya, tapi lebih karena ia manusia yang patut dihargai. Itu terlihat dari kata-katanya pada novel,
Aku pelacur tulen
Tapi aku penari sejati
Dan aku Belanda berdarah Indonesia
Tapi aku penari sejati
Dan aku Belanda berdarah Indonesia
Pada sesi tanya jawab, tak disangka, sambutan dari peserta yang kebanyakan ibu rumah tangga, benar-benar kritis. Mulai dari yang merasa terwakili oleh pemikiran modern Matahari. Sampai yang terinspirasi oleh keberanian Matahari yang melawan penindasan lelaki.
Bahkan ada seorang peserta yang merasa bangga kepada Matahari, bahwa di jaman yang dulu sangat patriarki, ada seorang wanita yang begitu berani melawan arus. Di jaman semodern sekarang pun, tidak banyak wanita yang berani melakukan hal itu.
Tidak hanya berbagi soal novelnya, Remy Sylado juga menceritakan masa kecil yang ikut membentuk dirinya menjadi seperti sekarang. Remy kecil sudah begitu dekat dengan buku ketika sebagian besar masa kecilnya dihabiskan dengan membaca beribu buku di perpustakaan seminari dekat tempat tinggalnya. Melalui bimbingan sang Romo pun ia belajar bahasa Yunani dan Ibrani.
Para wanita-wanita eve book club ini begitu terpukau mendengar Remy Sylado bicara, terlihat dari air muka mereka yang bercahaya.
Satu fakta menarik tentang Remy Sylado adalah namanya ini bukan nama asli. Nama samaran ini diambilnya dari nada do, re, mi, si, la, do salah satu lagu milik band legendaris asal Inggris, The beatles.
Saya merasa beruntung bisa hadir sore itu di antara ibu-ibu eve book club, mendengarkan Remy Sylado berbagi tentang novelnya dan sedikit tentang kehidupannya. Eve book club kali ini berlangsung ringan tapi tetap berisi.
Salut untuk Eve Magazine yang menyelenggarakan event ini rutin setiap bulan. Acara dua jam ini juga menepiskan prasangka saya tentang ibu rumah tangga yang hanya tahu mengurus keluarga dan bergosip. Ternyata tidak. Ternyata mereka pintar, kritis, dan bergairah.
Mungkin, kalau Matahari bisa berada di sini sekarang, mungkin ia akan bangga kepada wanita-wanita eve ini, seperti mereka bangga kepadanya.