Ada yang rasanya dingin di dalam
sebuah mall besar di daerah Senayan, Jakarta. Bukan ice cream warna-warni yang
dijual di etalase kaca, bukan juga AC yang menyembur. Melainkan sebuah mesin
direktori yang baru dan mutakhir.
Mesin direktori itu menggunakan layar
sentuh dengan tampilan peta lokasi 3D dan canggihnya lagi bisa mencetak
petunjuk arah dan patokan jelas pada secarik kertas yang isinya seperti bertanya
kepada seorang satpam (dari sini belok kiri setelah restoran A, lurus ke outlet
B, belok kanan).
Sangat ringkes dan efisen. Begitu
mudahnya sehingga ia seperti seorang manusia. Seperti manusia – justru sifatnya
yang menyerupai tapi tak sama itulah yang menyesatkan.
Bukan fisik yang tersesat,
tapi jiwa yang terletak jauh di dalam. Kemanusiaan hilang arah, kering makna. Hubungan antar
manusia menjadi tak penting, remeh. Orang jadi tak perlu lagi bertanya kepada
orang lain.
Karena mungkin dipikirnya manusia
lebih berpotensi untuk eror ketimbang mesin. Orang bisa lupa atau sok tahu
sedangkan mesin tidak memiliki ego.
Pada masa di mana orang lebih
senang berdialog dengan gadget dan lebih nyaman bersosialisasi di dunia maya,
mesin direktori super efisien ini menjadi sebuah personifikasi yang miris.
Seolah-olah manusia tidak butuh
manusia lain untuk bisa mencapai tujuan. Kita jadi lebih percaya pada hal-hal
yang mekanik daripada yang berdarah-daging. Toleransi akan kesalahan manusia
melemah. Orang seringkali diharapkan menyerupai mesin. Harus cepat dan tidak
boleh salah.
Padahal dari kesalahan kita baru
bisa be-re-vo-lu-si dan ber-e-vo-lu-si. Kalau semua hal selalu tanpa cacat,
maka tidak akan ada ruang untuk tumbuh. Kesalahan adalah luka begitu perih yang
mendorong manusia untuk menjadi lebih baik.
Namun bukan berarti kita harus
menutup diri dari kemajuan jaman. Suka atau tidak dunia akan terus maju. Diam
tertinggal. Menutup diri terasingkan. Suka atau tidak, kita harus suka.
“There
are just too many things we have to think about everyday, too many new things
we have to learn. But still, no matter how much time passes, no matter what
takes place in the interim, there are some things we can never assign to
oblivion, memories we can never rub away.” –Haruki Murakami-
Ini adalah kutipan sebuah novel Haruki
Murakami. Penulis kelahiran Jepang ini bicara tentang kenangan. Bila kenangan itu
kita andaikan sebagai manusia, maka bisa dikatakan sehebat-hebatnya teknologi,
kita tetap tidak bisa mengacuhkan keterikatan terhadap sesama. Teknologi
meminimalisir kesulitan, tapi kepedulian manusia terhadap manusia lainlah yang
mendorong terciptanya sebuah teknologi yang bisa memudahkan hidup manusia dari berbagai
kesulitan.
***