Tak ada keterpaksaan yang lebih menyakitkan daripada
terpaksa meninggalkan sesuatu yang masih kita cintai. Namun kadang kenyataan
berkehendak, dan kita sebagai aktornya hanya bisa nurut. Begitulah perasaanku
meninggalkan kantor yang sudah setahun lebih aku huni.
Aku masih ingat pertama kali aku interview di kantor ini.
terlambat satu setengah jam karena hujan dan macet parah. Lalu salah naik lift
dan sampai ke karaoke plus-plus (satu lift dengan pelayannya pula). Lalu
bertemu dengan dua orang bos di sebuah ruang meeting yang remang.
Banyak yang bilang, anak agency multinational, sombong.
Apalagi sama orang yang cuma berpengalaman di agency local. Tapi kedua orang
yang meng-interview gua, benar-benar memutarbalikkan gossip itu. Mereka begitu
ramah dan santai, hingga nantinya ketika aku resmi bekerja untuk mereka, hati
yang baik itu tidak berubah.
Kantor ini tidak terisi dengan cubicles yang tertutup, tapi
hanya sekat yang terbuka. Bahkan satu-satunya orang yang punya ruangan sendiri
hanyalah bos tertinggi kreatif (executive creative director). Yang lain berbagi
ruangan yang sama, menghirup udara yang sama, dan berbagi sapaan hangat yang
sama.
Hampir semua orang suka tertawa dan berbagi tawa. Bahkan
beberapa orang saling membantu walau kita berbeda tim. Celetukan di ujung
ruangan, bisa menular ke ujung yang lain. Hingga akhirnya seluruh ruangan yang
besar itu tertawa bersama, walau yang tertular tidak tahu kehebohan apa yang
terjadi di sana.
Begitu juga dengan makanan. Satu orang bawa makanan, semua
orang dari seluruh penjuru ruangan datang mengerubuti. Persis semut merubungi
gula. Dan tak pernah ada yang marah makanannya diambil oleh orang dari tim
lain.
Berbagi senyum, tawa, kekecewaan, kemarahan, makanan,
keseruan, ide, dan passion. Berbagi. Itu lah satu kebiasaan yang membedakan
kantor ini dengan kantor multinational yang lain. Kadang aku merasa kalau kami
bukanlah rekan kerja, tapi sebuah keluarga besar.
Agency global rasa local. Begitu saja hatiku tertambat di
tempat ini.
Aku tak ingin pergi. Begitu jujurku di depan ketiga petinggi
yang memegang nasibku di perusahaan itu. Walau tawaran datang dengan
iming-iming yang menyilaukan mata. Berikan aku di bawah apa yang ditawarkan
perusahaan itu. Pintaku dengan yakin. Mereka akan memikirkannya terlebih
dahulu. Okay. Aku menjawab penuh harap.
Satu minggu. Dua minggu. Sampai minggu ketiga hampir tuntas,
tidak juga ada kabar. Statusku gantung, seperti habis nembak cewek, tapi gak
ditolak, gak diterima juga. Akhirnya aku memutuskan untuk pindah kelain hati.
Aku tanda tangan kontrak dengan perusahaan baru.
Kepergianku kali ini terasa jauh lebih berat daripada yang
sudah-sudah. Butuh waktu yang panjang, usaha yang tidak mudah, dan
keberuntungan yang besar sampai aku bisa bekerja di perusahaan ini.
Tidak tanggung-tanggung, lima tahun melanglang buana di
agency rakyat. Babak belur dengan system yang berantakkan. Akhirnya aku
berhasil naik kasta ke agency para dewa. Kumpulan orang-orang berotak kreatif
sangar, diatur dengan system yang tertata rapi.
Semua anak kreatif iklan pasti bermimpi untuk bekerja di
salah satu advertising agency multinational. Selain baik buat belajar, juga
baik buat kantong, gengsi, dan tentunya CV. Namun sekarang, begitu mimpi jutaan
umat kreatif di Indonesia menjadi milikku, aku lepaskan begitu saja. Hati
pernah memaki bego, dan masih sampai sekarang, walau hanya berbisik.
Orang bilang waktu melesat cepat ketika kita bahagia. Dua
puluh empat lantai di atas permukaan tanah, di dalam ruangan besar ini, setahun
tiga bulan terasa sekilat. Dan sekarang aku sudah
berpijak kembali ke tanah, di sebuah tempat baru, siap berkarya. apa yang sudah
tidak hanya akan menjadi seepisode cerita hidup tapi juga inspirasi. Siapa tahu hidup memberi kejutan dan kita bisa bersama lagi.
Bye and I'll never forget.