Yeyet namanya. semua orang yang pernah menjadi pelanggannya tahu, kalau itu bukan nama aslinya. Namun tak ada satupun dari mereka yang tahu siapa sebenarnya perempuan yang bekerja sebagai terapis di salah satu panti pijat di Jakarta ini.
Kulitnya legam, hidungnya besar dan pesek, sekilas lihat, yeyet tampak seperti orang papua. Padahal sebetulnya dia lahir di ciamis, sebuah kota kecil di Jawa Barat. Usianya baru mencapai 23 tahun, tapi ia sudah merantau semenjak lulus SMA. Alasan klise tak ada biaya, memaksa dia untuk menghempaskan impian menjadi sarjana dan memilih bekerja di sebuah pabrik di daerah tanggerang. Dua tahun lamanya dia melakoni pekerjaan sebagai buruh lalu mengadu nasibnya sebagai seorang SPG di sebuah department store di Jakarta. Sebelum akhirnya, ia melabuhkan karirnya sebagai tukang pijat profesional.
Sudah lebih dua tahun usianya menjalani profesi yang tugasnya menekan-nekan badan orang dan meluruskan urat-urat yang berkhianat pada posisinya. Ketika aku bertanya, apa ada orang yang pernah minta servis “plus-plus”? Yeyet lantas menjawab dengan senyum masam, “ya namanya orang macem-macem mas.” Tapi yang membuatku angkat topi adalah, ia selalu bisa menolak permintaan pelanggan “nakal”. Resepnya sederhana, menolak dengan sopan dan sungguh hati. kalimat pamungkasnya adalah, “mungkin terapis yang lain bisa,” lalu sambil mengatupkan tangan membentuk sikap anjali, ia melanjutkan, “tapi kalau saya, mohon maaf, gak bisa pak”.
Yeyet sudah bersuami dan memiliki satu putri berusia 2 tahun. Suaminya bekerja sebagai security di salah satu mall besar di Jakarta. Kerasnya kenyataan hidup membuat yeyet melakoni pekerjaan di panti pijat. lucunya, sang suami tak tahu persis seperti apa resiko pekerjaan yeyet. “Kalau suami tahu gimana mbak?” tanyaku spontan. “ya…” jawabnya menggantung sambil tersenyum pahit.
Yeyet bekerja keras, 10 jam sehari, menghilangkan pegal orang lain dengan membuat diri sendiri pegal bukan main, ditambah menghadapi godaan dan permintaan ajaib pria-pria hidung belang, semua dia lakukan untuk membantu menghidupi keluarganya. terutama untuk si kecil.
Lalu, apakah aku lantas kasihan pada yeyet? Jujur aku terenyuh sekaligus bangga. Tapi tidak kasihan. Yeyet terlalu hebat untuk dikasihani. Ia adalah gambaran perempuan Indonesia yang meski sering dianggap makhluk lemah tak berdaya, tapi justru memiliki kekuatan dan kebesaran hati yang begitu besar. Yeyet punya pilihan untuk menggendong anaknya ke sebuah lampu merah, lalu menadahkan tangan, mengobral kemalangan demi uang receh, atau ia bisa menerima tawaran pria-pria nakal untuk beberapa lembar uang ekstra. Namun ia mengambil jalan lain.
Yeyet nama panggilannya, mungkin tak ada satupun orang yang akan pernah tahu nama aslinya, tapi setidaknya dari tulisan ini akan ada banyak orang yang tahu siapa wanita ini sebenarnya, dan betapa seseorang tidak pantas dinilai hanya dari apa pekerjaannya, tapi bagaimana cara dia melakukannya.