Monday, April 26, 2010
Si Penjual Strawberry
Malam datang lebih cepat sore itu ketika hujan mengguyur Kota Bandung. Semua orang berlarian mencari atap menghindari hujan. Tapi tidak bagi anak-anak jalanan yang berkeliaran di lampu merah. Mereka semakin giat menadahkan tangan pada mobil-mobil yang berhenti. Mungkin mereka sadar, hujan adalah panggung drama paling sempurna untuk berperan iba.
Ketika mobilku berhenti, seorang anak jalanan muncul di samping jendela mobil. Ia terlihat kedinginan, rambutnya lepek, bajunya basah, ekspresinya seakan mengatakan ‘tuan-selamatkan-aku-dari-kejamnya-hidup’, tapi yang mengejutkan ia tidak menadahkan tangan kosong, tapi ada sekotak besar strawberry di sana. Wah hebat juga anak ini, di saat yang lain hanya mau minta-minta, dia berjualan. Sayangnya gua tetap gak bisa beli, atau lebih tepatnya gak mampu. Karena uang di dompet tinggal 25.000.
Berbeda dengan berberapa anak jalanan yang muncul di jendela mobil bosku dengan tangan kosong menadah. “Dasar pemalas. Kalau yang jualan strawberry aja gua gak beli, apalagi yang Cuma jualan rasa kasihan.” tapi tiba-tiba bosku menurunkan kaca mobilnya dan membagi-bagi uang receh.
Reflek aku menengok ke arah anak di sebelah ku yang masih berdiri memegang strawberry dengan wajah penuh iri (bisa saja ini hanya dipikiranku). Lalu aku melihat lagi ke arah anak-anak jalanan di jendela mobil bosku yang mendapatkan uang dengan mudahnya. Lalu kembali lagi ke anak penjual strawberry, begitu terus beberapa kali.
Tiba-tiba sebuah ketakutan mengembang di dada. Bagaimana kalau anak strawberry ini berpikir, “akh ternyata lebih enak minta-minta daripada jualan”. Ingin rasanya gua buka kaca dan bilang ke dia, “dik, kamu hebat karena kamu mau berusaha, gak Cuma berharap belas kasihan. Kamu jangan nyerah yah walau belum ada yang beli strawberry kamu. Sebetulnya saya mau beli, tapi duit saya pas-pasan”
Tapi kan gak mungkin.
Waktu gua tinggal beberapa detik lagi nih, karena sebentar lagi lampu merah akan berubah hijau dan mobil akan melaju meninggalkan si anak penjual strawberry yang (mungkin) akan membuang strawberry di tangannya dengan emosi ke jalan dan langsung mengemis.
Akhirnya...
Out of panic, gua memutuskan menggunakan uang 25 000 terakhir untuk membeli strawberry yang sebetulnya, banyak di Jakarta. Harapan gua cuma, semoga si anak penjual strawberry itu akan merasa berjualan memang lebih baik daripada minta-minta. Buktinya dia dapat hasil lebih besar dari anak-anak lain yang cuma bisa minta-minta.
Semoga dia tidak menghabiskan uangnya tanpa menyisihkan untuk modal jualan lagi.
Subscribe to:
Posts (Atom)