Sunday, March 21, 2010
the preasure taker
His team is one goal up, but they one man down. It was Thomas Varmelan who committed the sin.
Fifteen minutes left on the clock, but a lot can happen in those quarters of hour, especially when you are limping. He knows it. The rival team knows it. But now, he is the one behind the gun. Right before the eleven meters white spot he stands. One bullet. One chance only. Can he kill it, or will he give the enemy a chance to avenge? His team destiny lies on his foot. The pressure is on. This is the ultimate answer to the question… Is he worth the ban of the captain?
Gently he puts the ball on the white spot. Sweats come running through his face, yet he is showing no weariness. For you who think scoring from penalty spot is an easy matter, think again. This young man, this 22th year old Spanish, the golden boy from Catalan, has the weight of the whole team and the whole fans on his shoulder. The fierce of confidence slashing through his eyes as he pulls a deep breathe and run toward the ball. At this moment the atmosphere in the stadium becomes suddenly quiet. The cheering have stop as everyone holding their breath.
But a moment later, the emirates stadium exploded with cheers. The keeper has completely missed judged way of the ball, as Cecs Fabregas struck it into the middle-left of the goalpost.
2-0. it’s pretty much a game over. The young boy has done it again. He wasn’t just scoring the penalty; he was also set his team spirit on fire.
There are so many great players in the world. But only few who can really take the pressure of eleven meters spot.
Thursday, March 11, 2010
emergency bike to home
Okay. Welcome to another episode of “my life is a mix of bad luck and stupidity”.
Masih ingat frase yang bilang. “Be careful of what you wish for”? Ternyata frase itu benar-benar mengandung kutukan. Pasalnya kemarin malam gua berpikir, gua harus olah raga. Mengingat dalam dua malam berturut-turut gua makan berat di atas jam 12.
Apalagi perut gua makin hari semakin doer. Jadi sambil meremas-remas perut buncit (yang lagi makan jangan ngebayangin:p), malam itu gua berjanji akan melakukan tindakan nyata, kondusif dan efektif, demi menyelamatkan kehormatan yang nyaris gak gua punya.
Masalahnya, gak harus secepat besok pagi dong janji gua jadi kenyataan. Lo kira gua nganggur apa pagi-pagi olah raga (alesaaaan... :p). Apalagi ini bukan olah raga “beneran”, tapi, hm, you may call it,hm... accidentally excercise.
Kenapa begitu...
Karena ketika gua baru keluar rumah naik motor, kok tiba-tiba gua merasa ban belakang lari-lari. Mengsong kiri, mengsong kanan. Seperti orang habis skot jam 100 kali terus langsung lari sprint.
Ternyata benar, ban gua kempes pes pes pes. Alhasil gua terpaksa turun dan dorong motor sampai tempat tambal ban terdekat. Masalahnya yang terdekat, letaknya masih jauh. Dan kebetulan hari itu gua lagi bawa laptop. Jadi sambil gendong laptop, dorong motor. Sempurna sudah olah raga pertama gua hari itu.
Ketika akhirnya sampai ke tukang tambal ban, keringat sudah banjir, nafas ngos-ngosan, dan perut buncit gua megap-megap seperti ikan kehabisan nafas. Pake antri segala lagi, kenapa sih nih tukang ban laku bener? Dasar serakah! (mulai emosi gak jelas karena kurang oksigen).
Selagi ngantri, gua bermaksud mengabari kantor kalau gua pasti telat karena insiden naas ini. Tapi, jeng... jeng... jeng... handphone gua low batt. Dan hari itu gua lagi nunggu telepon penting lagi. Akhhh... masa gua harus dorong motor gua kembali ke rumah untuk ambil charger. Terus dorong balik lagi buat nambel.
Di tengah keputusasaan yang mendera-dera, gua melihat sesosok pria berbaju biru lagi nongkrong di pos hansip. Siapa dia? Dia adalah...HANSIP lah! Siapa lagi yang berhak ada di pos hansip?
Langsung aja gua deketin tuh hansip yang gak pernah ngira hidup damainya bakal diganggu sama cowok keringatan dari antah berantah.
Gue: permisi pak...
Hansip: iya.
Gua: saya lagi tambal ban di situ, tapi saya mau balik ke rumah ambil barang. Nitip motor saya ya pak.
Dengan ramahnya si hansip meng-iyakan. Tapi... gua belom selesai sip. Masih ada satu permohonan lagi.
Gue: pak, (cengengesan) hehehe, saya boleh pinjem sepeda ga? (cengegesan lagi) hehehe.
Sekilas si hansip melirik sepedanya seakan melirik belahan jiwanya. Soul mate-nya. Sepertinya dia gak rela gua dengan perut buncit membebani sepedanya. Tapi sekali lagi, dengan ramahnya, dia meng-iyakan.
Wooots! Langsung dengan sigap gua lompat ke atas sepeda. Pas gua mau ambil goesan pertama si hansip memberikan petuah,
Hansip: jangan cepet-cepet ya dek. Nanti rantenya putus.
Yaaaaaaaah! Baru aja gua mau ngebut 100 kilometer / jam :p. Tapi kalau dilihat sih, keadaan sepeda itu memang sedikit mengenaskan. Injakan pedal yang sebelah kiri sudah patah dan keluar suara rintihan pedih sepeda kurang minyak, “ngit. Ngiiit. Ngit” setiap menggoes.
Sepanjang perjalanan ke rumah, terus terngiang nasihat si hansip, “jangan cepet-cepet ya dek. Nanti rantenya putus. jangan cepet-cepet ya dek. jangan cepet-cepet ya dek. jangan cepet-cepet ya dek. Nanti rantainya putus” alhasil, gua berusaha menggoes sepeda itu pelan-pelan. Dan ternyata itu lebih capai daripada naik sepeda kecepatan normal.
lama-lama, mengendarai sepeda itu gua seperti digendong di punggung seorang kakek berumur 70 tahun yang kurus dan mengidap osteoporosis akut. Gua jadi gak lagi terlalu khawatir rantai sepeda putus. Gua lebih takut sepeda itu ambruk. Patah hancur berantakan. Sepanjang perjalanan ke rumah hati jadi was-was. Ini sih bukan sekedar olah raga fisik, tapi juga mental.
Belum lagi, joknya yang keras, dan dudukannya yang tinggi, membuat bagian kelaki-lakian gua tertekan berat badan gua sendiri. Setiap goes kaki kiri, berat badan menekan bagian kiri, begitu juga sebaliknya. Ouuuch…
Gua juga merasa orang-orang menatap gua dengan aneh. Bukannya GR, tapi kalau gua jadi mereka, gua pasti juga akan menatap aneh. Karena gua naik sepeda dengan pakaian rapih sambil gendong laptop. Ditambah gua mengendarai dengan amat sangat pelan dan sedikit oleng sana oleng sini. Seperti orang yang baru belajar naik sepeda.
Akhirnya dengan susah payah gua sampai ke rumah, dan syukur sepedanya masih utuh. Langsung gua lari masuk ke dalam rumah dan ambil charger. Setelah itu, gua harus naik sepeda lagi kembali ke tempat tambal ban, mengalami semua pengalaman memalukan sekaligus melelahkan, sekali lagi.
Setelah akhirnya sampai di kantor, gua merasa lelah bukan buatan. Tapi karena gua selalu berusaha berpikir positif, gua menganggap yaa… setidaknya hari ini gua berhasil buang kalori. Tiba-tiba gua merasa lebih sehat.
Lalu dengan penuh harap, gua buka buka baju bagian perut, dan… ternyataaaaa… perut gua masih tetap buncit tuh. Gak kempes sedikit pun. Wew!
Lewat accidentally exercise hari ini gua belajar, hidup itu perjuangan, seorang hansip bisa punya hubungan spesial dengan sepedanya, dan dorong motor plus naik sepeda dalam satu pagi gak akan membuat perut buncit jadi six pack.
Sekian. Terima kasih.
Masih ingat frase yang bilang. “Be careful of what you wish for”? Ternyata frase itu benar-benar mengandung kutukan. Pasalnya kemarin malam gua berpikir, gua harus olah raga. Mengingat dalam dua malam berturut-turut gua makan berat di atas jam 12.
Apalagi perut gua makin hari semakin doer. Jadi sambil meremas-remas perut buncit (yang lagi makan jangan ngebayangin:p), malam itu gua berjanji akan melakukan tindakan nyata, kondusif dan efektif, demi menyelamatkan kehormatan yang nyaris gak gua punya.
Masalahnya, gak harus secepat besok pagi dong janji gua jadi kenyataan. Lo kira gua nganggur apa pagi-pagi olah raga (alesaaaan... :p). Apalagi ini bukan olah raga “beneran”, tapi, hm, you may call it,hm... accidentally excercise.
Kenapa begitu...
Karena ketika gua baru keluar rumah naik motor, kok tiba-tiba gua merasa ban belakang lari-lari. Mengsong kiri, mengsong kanan. Seperti orang habis skot jam 100 kali terus langsung lari sprint.
Ternyata benar, ban gua kempes pes pes pes. Alhasil gua terpaksa turun dan dorong motor sampai tempat tambal ban terdekat. Masalahnya yang terdekat, letaknya masih jauh. Dan kebetulan hari itu gua lagi bawa laptop. Jadi sambil gendong laptop, dorong motor. Sempurna sudah olah raga pertama gua hari itu.
Ketika akhirnya sampai ke tukang tambal ban, keringat sudah banjir, nafas ngos-ngosan, dan perut buncit gua megap-megap seperti ikan kehabisan nafas. Pake antri segala lagi, kenapa sih nih tukang ban laku bener? Dasar serakah! (mulai emosi gak jelas karena kurang oksigen).
Selagi ngantri, gua bermaksud mengabari kantor kalau gua pasti telat karena insiden naas ini. Tapi, jeng... jeng... jeng... handphone gua low batt. Dan hari itu gua lagi nunggu telepon penting lagi. Akhhh... masa gua harus dorong motor gua kembali ke rumah untuk ambil charger. Terus dorong balik lagi buat nambel.
Di tengah keputusasaan yang mendera-dera, gua melihat sesosok pria berbaju biru lagi nongkrong di pos hansip. Siapa dia? Dia adalah...HANSIP lah! Siapa lagi yang berhak ada di pos hansip?
Langsung aja gua deketin tuh hansip yang gak pernah ngira hidup damainya bakal diganggu sama cowok keringatan dari antah berantah.
Gue: permisi pak...
Hansip: iya.
Gua: saya lagi tambal ban di situ, tapi saya mau balik ke rumah ambil barang. Nitip motor saya ya pak.
Dengan ramahnya si hansip meng-iyakan. Tapi... gua belom selesai sip. Masih ada satu permohonan lagi.
Gue: pak, (cengengesan) hehehe, saya boleh pinjem sepeda ga? (cengegesan lagi) hehehe.
Sekilas si hansip melirik sepedanya seakan melirik belahan jiwanya. Soul mate-nya. Sepertinya dia gak rela gua dengan perut buncit membebani sepedanya. Tapi sekali lagi, dengan ramahnya, dia meng-iyakan.
Wooots! Langsung dengan sigap gua lompat ke atas sepeda. Pas gua mau ambil goesan pertama si hansip memberikan petuah,
Hansip: jangan cepet-cepet ya dek. Nanti rantenya putus.
Yaaaaaaaah! Baru aja gua mau ngebut 100 kilometer / jam :p. Tapi kalau dilihat sih, keadaan sepeda itu memang sedikit mengenaskan. Injakan pedal yang sebelah kiri sudah patah dan keluar suara rintihan pedih sepeda kurang minyak, “ngit. Ngiiit. Ngit” setiap menggoes.
Sepanjang perjalanan ke rumah, terus terngiang nasihat si hansip, “jangan cepet-cepet ya dek. Nanti rantenya putus. jangan cepet-cepet ya dek. jangan cepet-cepet ya dek. jangan cepet-cepet ya dek. Nanti rantainya putus” alhasil, gua berusaha menggoes sepeda itu pelan-pelan. Dan ternyata itu lebih capai daripada naik sepeda kecepatan normal.
lama-lama, mengendarai sepeda itu gua seperti digendong di punggung seorang kakek berumur 70 tahun yang kurus dan mengidap osteoporosis akut. Gua jadi gak lagi terlalu khawatir rantai sepeda putus. Gua lebih takut sepeda itu ambruk. Patah hancur berantakan. Sepanjang perjalanan ke rumah hati jadi was-was. Ini sih bukan sekedar olah raga fisik, tapi juga mental.
Belum lagi, joknya yang keras, dan dudukannya yang tinggi, membuat bagian kelaki-lakian gua tertekan berat badan gua sendiri. Setiap goes kaki kiri, berat badan menekan bagian kiri, begitu juga sebaliknya. Ouuuch…
Gua juga merasa orang-orang menatap gua dengan aneh. Bukannya GR, tapi kalau gua jadi mereka, gua pasti juga akan menatap aneh. Karena gua naik sepeda dengan pakaian rapih sambil gendong laptop. Ditambah gua mengendarai dengan amat sangat pelan dan sedikit oleng sana oleng sini. Seperti orang yang baru belajar naik sepeda.
Akhirnya dengan susah payah gua sampai ke rumah, dan syukur sepedanya masih utuh. Langsung gua lari masuk ke dalam rumah dan ambil charger. Setelah itu, gua harus naik sepeda lagi kembali ke tempat tambal ban, mengalami semua pengalaman memalukan sekaligus melelahkan, sekali lagi.
Setelah akhirnya sampai di kantor, gua merasa lelah bukan buatan. Tapi karena gua selalu berusaha berpikir positif, gua menganggap yaa… setidaknya hari ini gua berhasil buang kalori. Tiba-tiba gua merasa lebih sehat.
Lalu dengan penuh harap, gua buka buka baju bagian perut, dan… ternyataaaaa… perut gua masih tetap buncit tuh. Gak kempes sedikit pun. Wew!
Lewat accidentally exercise hari ini gua belajar, hidup itu perjuangan, seorang hansip bisa punya hubungan spesial dengan sepedanya, dan dorong motor plus naik sepeda dalam satu pagi gak akan membuat perut buncit jadi six pack.
Sekian. Terima kasih.
Subscribe to:
Posts (Atom)